Salin Artikel

Ma'nene Suku Toraja, Ritual Bersihkan Jenazah untuk Hormati Leluhur, Tetap Digelar Walau di Perantauan

Salah satunya adalah Ma'nene, salah satu ritual yang dilakukan untuk menghormati para leluhurnya.

Ritual tersebut dilakukan untuk membersihkan jasad para leluhur yang sudah meninggal dunia beberap tahun lalu hingga ratusan tahun silam.

Tak hanya masyarakat yang tinggal di Toraja. Ritual Ma'nene juga dijalankan etnis Toraja di perantauan.

Seperti yang dilaksanakan warga Toraja yang tinggal di Jalan Persemaian, Kelurahan Nunukan Barat, Kabupaten Nunukan.

Hari itu, Kamis (1/4/2021) keluarga menggelar ritual Ma'nene untuk pasangan M Timbang dan istinya, Maria Maku'.

Timbang meninggal pada tahun 1988 sedangkan Maria Maku' meninggal pada 2017 lalu.

"Kalau di Toraja bilang Ma'Nene tapi di perantauan kami sebut Paskah. Syarat mengangkut mayat itu harus ada potong kerbau dan babi. Itu sudah jadi tradisi turun-temurun nenek moyang kami," kata Titus Takke (60), menantu pasutri dikutip dari TribunKaltara.com.

Untuk pelaksanaannya, tergantung pada kesiapan dari pihak keluarga termasuk jumlah kerbau dan babi yang akan disembelih.

"Ini satu kali saja dilakukan. Istilah orang Toraja itu bilang diika. Besok kami potong 1 kerbau dan 1 babi. Sebenarnya setahun setelah meninggal langsung dilakukan ritualnya."

"Tapi karena baru tahun ini ada rezeki keluarga, jadi baru kami lakukan. Biar puluhan tahun, kalau belum ada rezeki ya makamnya tidak dibuka," ucapnya.

Dari pantuan TribunKaltara.com, prosesi ritual adat itu diawali dengan berkunjungnya anggota keluarga ke pemakaman leluhur yang dinamakan Patane.

Patane sendiri adalah sebuah kuburan berbentuk seperti rumah yang khusus untuk menyimpan jenazah.

Sebelum membuka pintu kuburan, pihak keluarga yang dituakan terlebih dahulu membaca doa yang dipanjatkan dalam bahasa Toraja kuno.

Doa tersebut dipanjatkan untuk meminta izin serta berkah dari para leluhur.

Kemudian pihak keluarga mengambil jasad kakek dan nenek itu yang tersimpan di dalam liang lahat.

Setelah dikeluarkan dari dalam kubur, jasad tersebut dibersihkan menggunakan air.

Jasad kakek M Timbang tinggal tulang belulang. Namun, pakaian yang dikenakan termasuk sendal kulit berwarna cokelat masih terlihat utuh.

Sedangkan, jasad sang nenek Maria Maku' masih sedikit lebih utuh karena sang nenek baru meninggal sekira 3 tahun yang lalu.

Seperti kakek, sendal berwarna cokelat milik nenek masih tampak utuh termasuk baju kebaya yang dikenakannya.

"Jadi kalau sudah dibersihkan, lalu dikeringkan jasadnya termasuk barang yang ada di dalam peti itu. Setelah itu dipakaikan baju baru dan dikasi masuk ke dalam peti yang baru," ujarnya.

Titus Takke menjelaskan, setelah dimasukkan ke dalam peti, jasad belum boleh diturunkan ke dalam liang lahat atau dimasukkan ke dalam Patane karena harus menunggu selesai diibadatkan.

"Jadi malam ini pihak keluarga wajib menjaga mayat di kaki lima kuburan ini. Besok setelah potong kerbau dan babi, baru dilanjutkan dengan ibadat dan makan bersama."

"Setelah itu baru peti diturunkan ke dalam liang lahat. Dan tidak boleh dibuka lagi. Kalau mau bakar lilin, hanya sebatas di kaki lima tidak boleh masuk sembarang di dalam kuburan," tuturnya.

Biasanya di kampung, untuk jasad pria akan dikenakan pakaian yang rapi, lengkap mulai dari jas sampai kacamata.

Kemudian prosesi adat ditutup dengan Sisemba. Sisemba merupakan momen silaturahmi antar keluarga, yang dilakukan dengan makan bersama.

"Makanan yang dihidangkan besok tidak boleh sembarangan disajikan, karena harus berasal dari sumbangan setiap keluarga leluhur. Dan ibadat nanti di lakukan di tanah kosong atau lapangan terbuka."

"Karena pada umumnya orang tidak mau makan kalau makanan disajikan di rumah keluarga jenazah itu," ungkapnya.

Jasad kakek nenek itu ditempatkan dalam sebuah bangunan rumah yang berukuran, panjang 7 meter dan lebar 5 meter termasuk kaki lima.

"Jadi petinya ditempatkan beda liang lahat. Hanya saja satu bangunan rumah. Untuk membuat bangunan rumah itu biayanya hampir Rp 80 juta."

"Anak yang ditinggalkan, kalau dari kakek ada 5 orang, sedangkan dari nenek 6 orang. Karene nenek dua kali menikah. Kalau cucu 17 orang, sementara cicit 10 orang," jelas dia.

Dikisahkan ada seorang pemburu bernama Pong Rumasek yang menemukan sesosok mayat tergeletak di tengah jalan dengan kondisi memprihatinkan.

Hal ini membuat hati Pong Rumasek tergerak.

Akhirnya, ia melepaskan bajunya untuk dikenakan kepada jasad yang tinggal menyisakan tulang-belulang itu.

Ia juga memindahkan jasad yang tinggal tulang itu ke tempat yang lebih layak.

Ketika pulang ke rumahnya, Pong Rumasek terkejut karena mendapati lahan pertaniannya sudah siap panen, padahal seharusnya belum waktunya.

Tak hanya itu, keberuntungan demi keberuntungan senantiasa menyertai hidup Pong Rumasek.

Nah, berangkat dari cerita rakyat itulah tradisi Ma'nene kemudian dilestarikan.

Ritual Ma'nene ini biasanya diadakan setiap tiga tahun sekali setelah masa panen. Atau bisa juga dilaksanakan sesuai dengan petunjuk dari sesepuh.

Ritual Ma'Nene bukan hanya soal membersihkan jasad dan memakaikannya baju baru.

Lebih dari itu, ritual ini memiliki makna mendalam yaitu mencerminkan betapa pentingnya hubungan antar anggota keluarga.

Terlebih bagi sanak saudara yang telah terlebih dahulu meninggal dunia.

Dengan ritual ini, masyarakat Toraja menunjukkan bahwa hubungan antar keluarga tak terputus meskipun telah dipisahkan oleh kematian.

Tak hanya itu, ritual ini juga digunakan untuk memperkenalkan anggota-anggota keluarga yang muda dengan para leluhurnya.

Artikel ini telah tayang di tribunkaltim.co dengan judul Tradisi Ma'nene Suku Toraja, 33 Tahun Setelah Meninggal, Mayat Pasutri Diangkat dari Liang Lahat

https://regional.kompas.com/read/2021/04/17/053000278/ma-nene-suku-toraja-ritual-bersihkan-jenazah-untuk-hormati-leluhur-tetap

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke