Salin Artikel

Kisah Anak-anak TKI Malaysia Penerima Beasiswa Repatriasi, Sering Lari ke Hutan Menghindari Kejaran Aparat

NUNUKAN, KOMPAS.com – Senyuman dan harapan menyongsong masa depan cerah, terukir jelas di senyum ratusan anak anak Tenaga Kerja Indonesia (TKI) Malaysia yang menjadi penerima beasiswa repatriasi.

Mereka yang mayoritas kelahiran Tawau, Negara bagian Sabah Malaysia ini mengaku terharu bisa menginjakkan kaki di negara asal. Mereka memiliki tekad dan cita-cita untuk mengubah nasib dengan memiliki pendidikan tinggi.

Di balik senyuman mereka, terselip kisah kisah haru betapa ekonomi menjadikan mereka jauh dari tanah air.

Kendati belasan tahun ikut orangtua yang hidup di perkebunan kelapa sawit Malaysia, tidak sekalipun hal itu membuat nasionalisme mereka hilang.

‘’Saya baru dua kali ke Indonesia, yang pertama pulang saat masih SD dan ini yang kedua. Pembimbing kami meminta kami adaptasi, tapi kami sudah 3 tahun mempelajari negara kami dari CLC (Community Learning Center). Ini negara kami, kami tidak harus khawatir seperti berada di Malaysia,’’ujar salah satu penerima beasiswa repatriasi Juspiana (17), Kamis (15/4/2021).

CLC atau disebut juga Sekolah Menengah Pertama Terbuka (SMPT) merupakan sekolah lanjutan untuk anak anak TKI yang menyelesaikan sekolahnya di Humana, sebuah pusat belajar komunitas level pra sekolah dan SD yang didirikan LSM Malaysia dengan kurikulum Malaysia.

Ada 45 CLC yang tersebar di seluruh Sabah, dan semuanya berpusat di Sekolah Indonesia Kota Kinabalu (SIKK) Malaysia.

Keterbatasan dan kondisi kehidupan di ladang ladang sawit tidak menutup prestasi anak anak TKI ini. Sejumlah prestasi mulai dari olah raga, seni budaya dan keterampilan, selalu diperlombakan saban tahunnya.

Tak jarang para pelajar CLC diminta tampil sebagai pembuka ataupun mengisi acara acara penting di Malaysia.

‘’Tahun 2018 saya juara 1 lomba tari kreasi seluruh Sabah, kemudian saya diminta tampil di Kuala Lumpur,’’ujar putri Bulukumba, Sulawesi Selatan ini.

Banyak anak anak TKI yang mendapat beasiswa repatriasi dari jalur prestasi, selain Juspiana, ada Milka (17) asal Tana Toraja, ia merupakan jagoan bulu tangkis tunggal putri yang juga langganan juara mengalahkan 45 CLC yang ada.

Ada juga Mariana (17) putri Kalimantan Tengah, ia tercatat sebagai juara 2 kontes menjahit. Baju pramugari rancangannya dinilai cukup memenuhi kriteria untuk anak usia SMP. Masih banyak lagi anak anak TKI berprestasi lain.

‘’Setiap tahunnya seluruh pelajar di CLC diperlombakan di APKRES (Apresiasi Kreasi Seni dan olahraga). Persaingan tiap materi pelajaran dan ekskul cukup ketat, dan itu menjadi bekal kita bersekolah di Indonesia,’’kata Milka.

Ada 242 anak anak TKI penerima program repatriasi ke IV segera dikirim ke sejumlah SMA/SMK di tanah air.

Pemberangkatan dilakukan melalui Pelabuhan Tunon Taka Nunukan pada Senin (12/4/2021).

Mereka terlebih dulu harus menjalani karantina selama 5 hari sebelum dikirim ke sejumlah sekolah yang ada di Pulau Jawa, Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi.


Arti Indonesia untuk anak anak TKI


Bisa bersekolah di Indonesia, dikatakan sebuah anugerah yang menurut anak anak TKI patut disyukuri. Mereka yang sejak kecil belajar kurikulum Malaysia dan segala hal tentang Malaysia, kini bisa lebih mengenal tanah airnya.

Alumni CLC generasi pertama Supardi (21) menuturkan, kebanyakan anak anak TKI hanya tahu tentang kultur dan budaya Indonesia melalui TV dan HP Android. Tidak semua memiliki dua fasilitas yang masih tergolong mewah bagi anak-anak TKI ini.

‘’Kita sering melihat tayangan alam Indonesia dan berita berita Indonesia lewat TV yang ada di camp. Tapi itu harus menggunakan parabola, sementara di sana salurannya Astro dan mendaftar harus pakai IC (Identity Card). Kalau ada razia, harus disembunyi itu antena,’’tutur mahasiswa semester VI Politeknik Negeri Sriwijaya Palembang ini.

Semua anak anak TKI memiliki perasaan haru ketika menginjak negeri nenek moyangnya.

Selama 3 tahun, CLC melalui para relawan pengajar Indonesia terus menanamkan jiwa nasionalisme dan patriotisme. Rasa haru itu menyeruak dan menjelma menjadi kebanggaan sebagai anak Indonesia.

‘’Kami memang besar di Malaysia, tapi orangtua kami, nenek moyang kami Indonesia. Kami bertekad menempuh pendidikan tinggi, mengangkat derajat orang tua dan berbuat semampu kita untuk Indonesia,’’tegas pria yang bercita cita sebagai dosen ini.

Sering dikejar aparat, ciptakan trauma masa kecil


Hidup menjadi anak TKI bukan perkara mudah. Sudah tak terhitung berapa kali Supardi harus berlari kencang menembus gelapnya malam demi terhindar dari razia dan kejaran aparat Malaysia.

Puluhan anak TKI yang belum memiliki paspor akan berlarian masuk hutan, mendaki bukit dan harus bermalam di tengah belantara.

‘’Seringkali ada operasi pendatang haram mendadak, kami yang belum berpaspor saat itu harus segera lari kencang menjauh. Sampai sekarang saya takut sekali dengan polisi, tatapan mereka menurut saya menyeramkan,’’katanya.

Saking seringnya mereka lari ke hutan di atas bukit, sejumlah tenda dan gubuk sederhana terbangun di lokasi pelarian. Di tempat itulah puluhan anak TKI tidur berdesak-desakan dan biasanya akan pulang setelah hari menjelang siang.

Supardi mengaku tidak menyesal harus menjalani itu semua. Orangtuanya mengajarkan betapa kehidupan tidak selamanya seperti yang dimau.

Diri kita sendirilah yang harus mengubah dan berusaha untuk menjadi berarti.

‘’Bapak saya tidak pernah mengizinkan saya membantunya bekerja, dia hanya mau saya tak bernasib macam beliau. Bapak kata sudahlah pikirkan saja sekolahmu, masalah biaya selagi bapak mampu jangan khawatir,’’kata Supardi sambil meneteskan air mata.

https://regional.kompas.com/read/2021/04/15/173544778/kisah-anak-anak-tki-malaysia-penerima-beasiswa-repatriasi-sering-lari-ke

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke