Salin Artikel

Polemik Lahan di Balik Pembangunan Makogabwilhan II Mabes TNI di Kutai Kartanegara

SAMARINDA, KOMPAS.com – Pembebasan lahan untuk pembangunan Markas Komando Gabungan Wilayah Pertahanan (Makogamwilhan) II Mabes TNI dan Pusat Latihan Tempur (Puslatpur) Kodam VI Mulawarman di Ambarawang Darat, Samboja, Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, belum menemui titik terang.

Sebagian warga di Desa Margomulyo, Kecamatan Samboja, yang terdampak pembangunan, belum melepas lahannya karena nilai ganti rugi Rp 15.000 per meter yang ditawarkan TNI dianggap tak sesuai.

“Total ada 18 KK (kepala keluarga)  yang masih mempertahankan lahannya. Sementara puluhan KK lain sudah melepas,” ungkap Alkadafi (47) salah satu warga terdampak kepada Kompas.com, Minggu (14/3/2021).

Pembangunan Puslatpur dan Makogamwilhan II Mabes TNI ini membutuhkan lahan sekitar 50 hektar.

Letaknya tak jauh dari lokasi ibu kota negara baru di Penajam Paser Utara (PPU).

Kawasan ini merupakan perbatasan antara Kutai Kertanegara dan PPU sebelah utara.

Karena itu, pembangunan kawasan pertahanan ini disebut sebagai penopang ibu kota negara baru.

Warga yang menolak melepas lahan dengan harga Rp 15.000 menawarkan opsi tukar guling.

“Kalau bisa diganti lahan dan bangunan kami sesuai dengan yang sekarang,” tutur Alkadafi.

Luas lahan yang dikuasai Alkadafi dua hektar dengan bukti surat segel dari kelurahan.

Di atas lahan itu, ada tiga bangunan yang ditempati empat kepala keluarga (KK), anggota keluarga Alkadafi.

Alkadafi berharap, TNI mengganti sesuai ukuran lahan dan bangunan.

Selain bangunan, Alkadafi juga punya kebun sebagai sumber penghasilan, dengan seluruh isinya seperti sukun, buah-buahan dan lain-lain.

“Kami ingin tetap dihitung (ganti rugi) tanam tumbuh, seperti sukun, buah dan lain-lain,” katanya.

Warga lain, Winda Kurniawati yang mewakili kedua orangtuanya, juga meminta hal sama.

Letak rumah Winda di tepi jalan utama, direncanakan jadi pintu masuk menuju wilayah pertahanan ini, karenannya mendapat prioritas.

Tim Satgas TNI sudah menyediakan rumah pengganti untuk Winda dan kedua orangtuanya di atas lahan seluas 600 meter persegi sebagai tukar guling. Tawaran itu diterima Winda.

Hanya, dirinya meminta agar sisa lahan dari setengah hektar yang dimiliki orangtuanya juga diganti karena akan dijadikan tempat usaha.

“Lahan rumah yang diganti itu luas 600 meter persegi. Sementara kami punya lahan setengah hektar dengan bukti surat segel. Sisanya kami ingin diganti," ungkap Winda.

TNI menawarkan opsi ganti uang sisa lahan itu dengan harga Rp 15.000 per meter, namun ia tolak.

Winda dan orangtuanya menginginkan diganti lahan untuk melanjutkan usaha ayam.

Selain rumah, TNI sudah mengganti kandang ayam milik orangtua Winda senilai Rp 100 juta.

Winda bersama orangtuanya dan TNI saat ini masih bernegosiasi perihal pergantian sisa tanah itu.

Opsi tukar guling lahan dan bangunan warga oleh TNI sudah disepakati sejak diadakan pertemuan bersama di kantor Kelurahan Samboja pekan lalu.

Hanya, sampai saat ini baru satu rumah yang disiapkan TNI untuk Winda dan kedua orangtuanya.

Sementara warga lain masih bertahan di lokasi sebelum diberi lahan dan rumah baru.

Komandan Satuan Tugas (Dansatgas) pembangunan Makogabwilhan II Kol Inf Helmi Tachejadi Soerjono mengatakan, pihaknya tak mungkin mengabaikan hak masyarakat.

“Kita sudah ada hal-hal yang positif bagi masyarakat. Masyarakat sudah mengerti, bahwa lahan ini adalah lahan untuk latihan militer,” kata dia. 

Helmi menegaskan, surat segel yang dipegang masyarakat hanya hak garap, bukan kepemilikan.

Karena itu, lahan yang ditempati itu, klaim Helmi sebagai lahan negara.

“Jadi bahasanya bukan ganti rugi ya. Tapi kami beri dana kerohiman dengan batas yang sudah ditentukan. Kita beri masukan sehingga masyarakat biar mengerti. Kami enggak bakal bohongi masyarakat. Bagaimana pun TNI adalah unsur terdepan bagi masyarakat,” terang dia.

“Kalau untuk dana kerohiman Rp 10.000 sampai Rp 15.000 itu kami tidak membeli. Tapi kami menggantikan sesuai klasifikasi surat (tanah). Rata-rata warga punya segel, bukan sertifikat,” sambung Helmi.

Perihal besaran dana Rp 15.000, klaim Helmi sudah di atas nilai jual objek pajak (NJOP) yang hanya berkisar Rp 6.000 untuk wilayah itu. 

Meski demikian, Helmi memastikan saat ini pihaknya terus koordinasi dengan masyarakat untuk pergantian lahan dan bangunan.

“Kami tetap mediasi dengan masyarakat, kita diskusi. Tapi tentu ada orang yang tidak suka sama kami, mereka bilang kami intimidasi, padahal tidak. Dan ini bisa dibuktikan pada masyarakat yang sudah serahkan lahan kepada kami,” kata dia. 

Sebagai informasi, polemik pembebasan lahan warga dan TNI ini dimulai sejak akhir September 2020.

Kala itu lewat pertemuan bersama warga, TNI menawarkan uang Rp 10.000 sampai Rp 15.000 per meter untuk melepas lahan. Tanpa menghitung bangunan dan tanam tumbuh.

Merasa tak wajar, warga menggelar pertemuan ulang tanpa melibatkan TNI dan menyepakati nilai ganti rugi per meter Rp 1 juta.

Mendengar ada pertemuan itu TNI kembali ajak warga bermusyawarah dalam markas tempur. Namun tak dihadiri warga, diduga karena takut.

Memasuki akhir tahun 2020, kasus sempat meredam.

Awal 2021, tepat 8 Maret aparat TNI mendatangi warga dan meminta lahannya dilepas karena menurut TNI itu tanah negara.

Banyak warga lepas lahan dengan harga Rp 15.000 per meter. Namun, 18 KK yang bermukim di tepi jalan utama menolak.

Rabu pekan lalu, warga ramai-ramai meminta perlindungan ke Polsek Samboja karena mendengar informasi adanya penggusuran paksa.

Belakangan, TNI mengklarifikasi tidak ada penggusuran. Hari yang sama warga bersama TNI kembali merunding di fasilitasi pihak kelurahan.

Hasil kesepakatan TNI akan mencarikan lahan dan rumah pengganti untuk warga sebelum direlokasi.

https://regional.kompas.com/read/2021/03/16/181241478/polemik-lahan-di-balik-pembangunan-makogabwilhan-ii-mabes-tni-di-kutai

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke