Salin Artikel

Seniman Yogyakarta Coba Mengungkap Sisi Lain dari Klitih

Namun, predikat kota pelajar memiliki sisi kelam. Salah satunya adalah permasalahan kejahatan jalanan atau sering disebut dengan klitih.

Klitih tidak hanya baru-baru ini mencuat ke tengah-tengah warga Yogyakarta, tapi sudah sejak tahun 1990-an telah ada di Yogyakarta.

Pameran seni bertajuk Museum Lost Space coba menunjukkan bukti-bukti Klitih sejak 1990-an hingga sekarang ini.

Digelar di Galeri Lorong, Dusun Jeblok, Tirtonirmolo, Kasihan, Bantul, pameran ini menunjukkan nama-nama geng, sketsa peta di mana geng berada, hingga senjata yang digunakan untuk melancarkan aksi klitih di jalanan Yogyakarta.

Berbagai macam senjata dipamerkan pada pameran ini seperti, pedang, gir, buntut ikan pari, knuckle, hingga korek api.

Bahkan beberapa senjata memiliki nama di kalangan geng klitih seperti pedang pencabut nyawa.

Yahya Dwi Kurniawan, salah satu seniman dalam pameran ini, menjelaskan tujuan dari dibuatnya pameran ini adalah untuk memberikan edukasi kepada pelaku klitih, dan juga masyarakat.

Menurut dia, klitih tidak begitu saja terjadi tetapi banyak hal yang menyebabkannya terjadi.

"Klitih tidak terjadi begitu saja, tetapi saat saya melakukan observasi selama 8 bulan ternyata banyak variabelnya. Seperti yang sering ditemui mereka anak-anak muda kehilangan ruang untuk berekspresi," kata Yahya ditemui di Galeri Lorong, Kamis (11/3/2021).


Lebih lanjut dia menjelaskan, kebanyakan pelaku klitih berasal dari Yogyakarta.

Mereka melihat perkembangan Kota Yogyakarta, tapi tidak bisa menikmati kemajuan kota sebagai warga asli Yogyakarta.

Lebih lanjut, Yahya menjelaskan ada perbedaan klitih dari zaman ke zaman.

Misalnya pada era 1990-an klitih lebih didominasi dengan alasan ekonomi dan wilayah, sedangkan era sekarang adalah eksistensi.

"Pemicunya banyak salah satunya kecemburuan sosial. Misalnya saat mereka mau nongkrong di coffee shop yang saat ini merebak mereka tidak mampu mengingat UMR Yogyakarta kecil. Satu dua kali oke lah, kalau tiap hari uang jajan mereka gak cukup, sedangkan yang membeli malah para pendatang," sebut Yahya.

Lalu saat para pelaku klitih ingin bermain di kampungnya, sudah banyak kos-kosan dibangun di kampungnya sehingga tidak ada ruang mereka untuk berekspresi dan bermain.

"Dulu ada ruang publik yaitu di alun-alun utara tetapi sekarang dipasang pagar, sehingga mereka kembali ke jalanan. Oleh sebab itu pameran ini dinamakan Museum Lost Space, " kata Yahya.

Yahya menilai pelaku klitih dapat keluar dari lingkaran kekerasan itu ketika mereka masuk kuliah atau mendapatkan teman-teman baru.

"Ketika masuk kuliah mendapat teman baru dan teman-teman barunya tidak membicarakan kejahatan jalanan lagi, mereka otomatis akan keluar dari lingkaran klitih," ujar dia.

Dia pun coba mengajak beberapa orang pelaku klitih untuk ikut serta dalam pameran ini, para pelaku diizinkan untuk mencoret-coret kanvas dengan cat semprot.

Seperti saat mencoret-coret tembok dengan geng klitih mereka.

"Sebenarnya mereka ini banyak yang bisa melukis, bermain musik, mereka butuh tempat untuk eksistensi. Selain itu mereka juga butuh untuk diajak berdialog berkomunikasi," kata dia.

https://regional.kompas.com/read/2021/03/12/072109878/seniman-yogyakarta-coba-mengungkap-sisi-lain-dari-klitih

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke