Salin Artikel

Mengapa Kita Asyik Ngobrol di Angkringan? Begini Asal-usulnya...

KOMPAS.com - Bagi masyarakat yang tinggal di Kota Solo, Yogyakarta dan Klaten, tak akan asing dengan angkringan.

Apabila anda bepergian di Kota Solo, angkringan juga sering disebut hik.

Tak jauh berbeda, angkringan atau hik adalah tempat kita bisa meluangkan waktu senggang dengan menikmati makanan ringan tradisional khas Yogyakarta, Solo dan Klaten.

Menurut Profesor Warto, sejarawan di Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta, angkringan adalah simbol dari kebersamaan dalam keragaman masyarakat.

Suasana egaliter atau kesetaraan sangat terasa di dalam angkringan.

"Angkringan tidak hanya sebagai institusi ekonomi saja, tetapi menggambarkan masyarakat komunal tanpa memandang posisi status sosial seseorang," katanya saat dihubungi Kompas.com, Sabtu (20/2/2021).

"Ketika seseorang masuk dan jajan di situ, ya kedudukannya sama, egaliter, inilah ciri masyarakat yang menjunjung tinggi komunalitas," tambahnya.

Sejarah awal munculnya pedagang angkringan sejatinya sulit untuk dilacak.

Namun, menurut salah satu Guru Besar UNS tersebut, pedagang sejenis angkringan sudah ada jauh sebelum Indonesia merdeka.

Hal itu, menurutnya, berdasar dari keterangan dalam buku "History of Java" karya Raflles (1817).

"Kalau kita baca, Raffles menggambarkan, kebiasaan orang Solo atau masyarakat Jawa waktu itu adalah makan dua kali, siang dan sore. Lalu pada pagi hari saat berangkat ke sawah atau bekerja, mereka akan mampir ke warung atau penjual di pinggir jalan untuk sarapan atau ngopi," katanya.

"Lalu, secara sekilas sudah disebutkan bagaimana tumbuhnya pedagang sejenis angkringan yang menyediakan makanan ringan di waktu-waktu tertentu," katanya.

Namun demikian, menurutnya, untuk menjawab cikal bakal angkringan hingga masih sulit karena belum ditemukan sumber sejarahnya yang menjelaskan secara detail.

Secara garis besar, pedagang angkringan muncul di wilayah perkotaan didorong salah satunya faktor ekonomi.

Berjualan angkringan, saat itu, menjadi salah satu pilihan pekerjaan bagi warga pedesaan untuk mengais rezeki di kota.

"Perkotaan menjadi daya tarik warga desa. Saat itu, di Kota Yogya dan Solo, sebagai pusat kerajaan, juga mendorong migrasi tersebut," katanya.

Di saat negara mengalami krisis sosial atau ekonomi, semisal pada tahun 1997-1998, angkringan tetap bertahan.

"Mungkin sudah beberapa kali negara ini mengalami krisis. Namun, angkringan hingga saat ini masih bisa bertahan," katanya.

Salah satu ciri angkringan, menurut Warto, yang membuatnya bisa menghadapi zaman kekinian adalah dengan filosofi cara bisnis masyarakat Jawa, yaitu "tuno sathak bathi sanak".

Artinya, untung sedikit tak menjadi masalah, yang penting bisa menjalin persaudaraan dengan sesama adalah keuntungan tak ternilai. 

"Fenomena angkringan atau HIK tidak semata semata-mata merepresentasikan aktivitas ekonomi yg hnya mengejar keuntungan ekonomi, tetapi sekaligus juga mencerminkan aspek-aspek sosial budaya, yaitu nilai kebersamaan dan harmoni sosial. Nilai semacam ini telah mewarnai dinamika sejarah menjadi masyarakat Kota Solo dan Yogya khususnya, dan bangsa Indonesia pada umumnya".

https://regional.kompas.com/read/2021/02/21/11350011/mengapa-kita-asyik-ngobrol-di-angkringan-begini-asal-usulnya--

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke