Salin Artikel

Kisah Samiyem Penyapu "Bong Cina", Tidak Menyerah Berapa Pun Rezeki Imlek yang Diterima

Secara umum, "Bong Cina", sebutan warga pada pekuburan yang isinya ratusan makam warga keturunan Tionghoa, memang terlihat tidak terawat.

Geliat warga Tionghoa sangat sedikit di pekuburan ini, bahkan di Tahun Baru Imlek seperti sekarang.

“Dulu ada yang dari Semarang, Yogyakarta, Surabaya. Tahun lalu hanya satu keluarga karena Corona. Tiap Imlek tidak banyak yang datang, hanya 3-4 keluarga,” kata Samiyem, warga yang tinggal di depan komplek makam.

Jadi juru kunci sejak 2017, gantikan mertua

Warga menganggap Samiyem sebagai juru kunci.

Imlek salah satu yang ditunggu Samiyem. Lansia dengan rambut kepalanya yang sudah memutih ini kelahiran Kapanewon Pengasih 58 tahun silam ini.

Ia mengaku senang bertemu kembali dengan beberapa keluarga Tionghoa yang yang mempercayakan dirinya membersihkan beberapa makam keluarga mereka.

Nenek enam cucu ini seorang diri membersihkan bong sejak Atmo Suwarno, juru kunci terdahulu, meninggal dunia di usia 93 tahun pada 2017 lalu. Mbah Atmo adalah mertuanya.

Ia belajar dari Atmo soal membersihkan bong. “Saya menyapu, mencabut rumput besar, bisa juga setiap hari, dari jam 7-9. Biasanya di lima bong,” kata Samiyem.

Momen Imlek, momen rejeki

Biasanya, menjelang hari Imlek pada bulan Februari ataulah hari Cheng Beng di awal April, mereka makin giat membersihkan bong lantaran di hari itu ada saja yang datang untuk ziarah. Mulai dari sana terjalin hubungan baik.

“Biasanya mereka datang langsung ke bong. Ketika saya lihat mereka datang, saya datangi mereka ke sana. Biasanya pihak keluarga ngomong ‘terima kasih sudah membersihkan'. Terus dikasih uang,” kata Samiyem.

Tidak banyak, kata Samiyem. Ia diupah rata-rata Rp 30.000 satu makam yang dibersihkan. Tapi suatu waktu pernah hanya Rp 5.000 untuk sebuah makam, ataulah paling banyak Rp 50.000.

“(Karena) sudah kenal, jadi tidak enak (hati bila menolak),” kata Samiyem.

Hubungan ini sejatinya tidak hanya dinilai dari pemberian saat Imlek semata. Samiyem mengingat bagaimana salah satu keluarga Tionghoa memberi uang untuk Atmo membeli kambing pada perayaan Hari Qurban.

Belum lagi, ada kala di mana keluarga ahli waris membiayai penyaluran air PDAM ke rumahnya di masa lalu, ada juga keluarga Tionghoa mengirim undangan untuk hadir di hajatan pernikahan. Mereka mengirim undangan itu sekaligus ongkos pulang pergi. Ia merasa bersyukur tidak dilupakan.

Tidak cuma itu, keluarga ahli waris mempercayakan seutuhnya kondisi bong yang dirawat sampai sekarang. Misal, suatu waktu ada yang meminta dinding bong yang terbuat dari batu itu dibersihkan dengan cara yang rumit. Hasil yang didapat juga lumayan besar.

“Misal membersihkan lantai dan dinding batu makam dengan bahan kimia. Mereka telepon dulu. Mereka beri Rp 1.000.000 untuk bersihkan satu dinding makam ini, disikat pakai. Tidak mungkin mengerjakan sendiri, saya pasti minta tolong orang lain. Jadi dikerjakan bersama dan uang dibagi,” kata Samiyem.

Pekerjaan dilakoni meski upah kecil memang bukan penghasilan rutin. Selebihnya, Samiyem mengisi waktu dengan jualan sosis bakar dan minuman es. Sementara suaminya bekerja sebagai buruh bangunan. “Saya di sini sambil momong cucu,” kata Samiyem.

Bong Cina dibangun masa kolonial Belanda

Bong Cina Giripeni gambar eksistensi etnis Tionghoa pada masa silam di Kulon Progo. Makam dibangun pada masa kolonial Belanda di lahan milik kakek dari Atmo. Turun temurun keluarga ini menjadi juru kunci makam. Pekerjaan ini tak diikuti oleh anak kandung Atmo, justru mengalir ke Samiyem.

Komplek berisi sekitar seratusan bong. Lokasinya sekitar 2 kilometer dari pusat Kota Wates. Makam orang Tionghoa dapat dengan mudah diketahui dari bentuk kubur, nisan, dan mausoleum (bangunan pelindung makam), karena memiliki ciri khas dan gaya arsitektur tersendiri.

Secara umum, kondisi keseluruhan komplek memang tidak lagi terawat. Samiyem menceritakan, banyak ahli waris yang tidak lagi mengunjungi lokasi ini. Dampaknya, sejumlah bong rusak bahkan hilang.

Berbeda dengan bong yang dititipi ke juru kunci untuk dirawat.

“Dulu itu banyak sekali nisan sampai ke sana-sana. Karena tidak dirawat sama ahli waris, nisan rusak, ada juga hilang. Ini lapangan tempat anak-anak main bola,” kata Samiyem.

https://regional.kompas.com/read/2021/02/12/14074311/kisah-samiyem-penyapu-bong-cina-tidak-menyerah-berapa-pun-rezeki-imlek-yang

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke