Salin Artikel

Revisi UU Konservasi SDA Tertunda 17 Tahun, Komisi IV Minta Tuntaskan Tahun Ini

Hal itu disampaikan Wakil Ketua Komisi IV DPR, Dedi Mulyadi kepada Kompas.com via sambungan telepon, Kamis (10/12/2020).

Dedi mengatakan, Komisi IV juga meminta Kementerian Lingkungan Hidup untuk sama-sama membahas perubahaan UU No 5/1990 dalam setahun ini. Tidak menundanya tahun depan.

Menurutnya, revisi UU ini sudah diajukan pada 2003 namun tidak masuk pada Prolegnas. Kemudian revisi serupa kembali diajukan pada 2018, namun lagi-lagi belum masuk pada Prolegnas.

Akibat penundaan yang terlalu lama atas revisi UU ini, banyak penyesuaian yang harus dilakukan.

Dedi mengatakan, revisi aturan ini diperlukan demi menjaga dan melindungi sumber daya alam hayati dan ekosistem.

"Sudah jadi tugas Kementerian Lingkungan Hidup untuk memiliki konsistensi dalam menjaga sumber daya alam hayati dan eksositem. Harus mau sama-sama membahas ini," tandas Dedi.

Urgensi revisi UU No 5/1990

Dedi menjelaskan, ada beberapa hal yang menjadi alasan pentingnya revisi UU No 5/1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistem. Pertama, isi UU tersebut saat diekspose kepada Komisi IV tidak sesuai harapan dan banyak sekali pasal genetik dan menimbulkan banya pertanyaan.

"Pada saat bersamaan Menteri LHK mengirimkan surat kepada Komisi IV dengan alasan yang tidak jelas," kata Dedi.

Selanjutnya, dalam UU No.5 Tahun 1990, ada beberapa amanah untuk membuat peraturan pemerintah. Namun, selama 30 tahun, baru 5 peraturan pemerintah yang dibuat. Sedangkan 3 peraturan pemerintah lagi belum.

Selain itu, berdasarkan umur, undang-undang dan peraturan pemerintah itu terbilang "tua", sehingga banyak pakar mengusulkan untuk revisi.

Kemudian peraturan pemerintah yang belum terbit dan dievaluasi sebaiknya dimasukkan kepada revisi Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 yang baru dengan usulan satu undang-undang satu peraturan pemerintah seperti UU Cipta Kerja.

Alasan lainnya adalah bahwa Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tumpang tindih dengan UU perikanan mengenai konservasi laut. Akibatnya, selama ini terjadi tarik menarik kewenangan.

Maka aturan perundangan ini perlu disempurnakan dengan pembagian kewenangan, yaitu hasil laut yang tidak dilindungi diberikan kepada Kementerian Kelautan dan Perikanan RI, sedangkan yang ditangani International Union For Conservation Of Nature (IUCN) dan Conservation On International Trade In Endangered Spesies Of Wild Fauna and Flora (CITES) tetap dipegang oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan RI.

"Dengan pertimbangan bahwa sarana dan prasarana, SDM, ahli, dan lainnya tersedia," kata Dedi.

Alasan lain soal pentingnya revisi UU No 5 Tahun 1990 adalah bahwa ketika aturan itu diundangkan, daerah penyangga kawasan konservasi merupakan kawasan hutan yang didiami hewan-hewan besar seperti gajah, tapir, badak dan lainnya. Namun saat ini daerah penyangga kawasan konservasi sudah berubah menjadi kebun, hutan tanaman industri (HTI) dan lainnya.

Sehingga satwa yang dilindungi terancam dan menimbulkan konflik satwa dengan masyarakat. Oleh karena itu perlu dibangun koridor satwa lebar 200 meter.

"Akhir-akhir ini banyak terjadi konflik satwa yang keluar dari habitatnya karena makanan dan habitatnya terancam dan berkurang. Maka, untuk itu di Taman Nasional perlu ditanam jenis-jenis buah-buahan dan tanaman biji-bijian," katanya.

Alasan lain perlunya revisi aturan itu adalah soal sanksi. Ketentuan pidana pada UU No 5/1990 masih sangat ringan, sehingga perlu dkaji ulang sanksi kepada pelaku perburan satwa yang dilindungi.

https://regional.kompas.com/read/2020/12/10/12361051/revisi-uu-konservasi-sda-tertunda-17-tahun-komisi-iv-minta-tuntaskan-tahun

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke