Salin Artikel

Jengah dengan Pandemi, Emak-emak Petani Ciptakan Batik Tulis Bermotif Corona

Kondisi perekonomian yang tak menentu menggugah inisiatif sejumlah ibu kreatif ini untuk mencari tambahan penghasilan dengan memproduksi kain batik tulis secara mandiri.

Menariknya, sebagian besar batik yang diciptakan oleh tangan-tangan lentik mereka bermotifkan penampakan virus corona jenis baru.

Semula mereka cukup ragu apakah batik bercorak virus yang menggemparkan masyarakat dunia tersebut akan diminati oleh konsumen.

Namun ternyata di luar perkiraan, batik virus Corona kreasinya itu justru perlahan laris di pasaran.

"Kami awalnya enggan, karena virus Corona itu kan penyakit, namun Alhamdulilah laku dan banyak yang pesan. Awalnya kami buat hanya tiga helai dan langsung ludes. Akhirnya kami produksi sesuai kebutuhan," terang Kartini (38), penggagas kreasi batik tulis di Dusun Cangkring saat ditemui Kompas.com, Kamis (26/11/2020).

Dijelaskan Kartini, dua tahun lalu, ibu-ibu di Dusun Cangkring sempat diberikan pelatihan membatik oleh Pemerintah Kabupaten Grobogan.

Keterampilan yang mereka dapatkan tersebut kemudian disepakati untuk diasah secara rutin di rumah Kartini dengan modal patungan.

Saat itu mereka hanya fokus untuk berlatih serta belajar bagaimana caranya menciptakan produk batik tulis berkualitas.

Kain batik hasil coretan tangan mereka saat itu juga belum berani untuk dikomersilkan.

"Dan kebetulan karena kondisi ekonomi yang buruk saat pandemi virus Corona, kami kemudian berniat untuk memproduksi batik tulis. Hanya tujuh orang ibu-ibu yang minta dan semuanya petani," ungkap Kartini.

Pada masa-masa awal Pandemi virus Corona atau pada Juni lalu, sekumpulan ibu-ibu petani Dusun Cangkring yang berjumlah tujuh orang kemudian membentuk Kelompok Usaha Bersama (KUB) yang dinamai "Elrika".

Nama Elrika sendiri diambil dari penggabungan nama-nama inisial mereka.

Usaha kecil yang mereka rintis itu bergerak di bidang penggarapan kain batik tulis dan bermarkas di rumah Kartini.

Mereka lebih memilih menciptakan batik tulis karena merupakan warisan budaya tradisional Indonesia yang mendunia.

Batik tulis tidak hanya digemari oleh masyarakat Indonesia tetapi juga populer di Negara lain.

Terlebih, kata Kartini, batik tulis memiliki nilai serta harga yang tinggi ketimbang batik print atau cap lantaran proses pengerjaannya membutuhkan waktu yang panjang serta keterampilan yang mumpuni.

"Kain batik sangat indah karena tidak hanya dibuat oleh seorang pembatik yang duduk di bangku yang melukisi kain kosong dengan lilin malam dan canting. Semua berproses dengan kesabaran dan keahlian," terang Kartini.

Dalam proses pembuatan batik tulis, tujuh wanita tangguh tersebut memegang peranan masing-masing, mulai dari bagian pembuatan pola pertama di kain hingga pewarnaan terakhir.

"Prosesnya sama dengan pembuatan batik tulis asli. Mulai dari nyungging, njaplak, nglowong, ngiseni, nyolet, mopok, nembok, ngelir, nglorod, ngrentesi dan nyumri," terang Kartini.

Siang itu, selain Kartini yang terlihat piawai mengaplikasikan malam dengan canting ke selembar kain, Tuminah (37) dan Nurhayati (33) juga tak kalah cekatan. 

Di rumah sederhana hunian Kartini yang beralaskan batubata serta berdinding kayu itu mengungkap sosok wanita-wanita hebat yang jengah dengan dampak pandemi virus corona.

Setiap hari sepulang bertani, mereka sempatkan diri untuk menuntaskan pembuatan batik tulis di rumah Kartini.

Meski proses pembuatan batik tulis Elrika menggunakan fasilitas seadanya, hasil karya yang mereka ciptakan patut untuk diperhitungkan.

Selain halus, corak serta pewarnaannya sedap di pandang mata.

Selain menggarap batik tulis dengan corak virus corona, mereka juga mendesain batik tulis yang mengangkat tema ciri khas Kabupaten Grobogan.

Sebut saja obyek wisata Mrapen, Bledug Kuwu, serta pertanian dan kuliner setempat.

"Yang paling laris batik virus corona, tapi motif lain juga diminati. Sebulan kami bisa menjual 30 hingga 40 batik tulis. Harga bervariasi tergantung tingkat kesukaran, mulai dari Rp 160 ribu hingga Rp 190 ribu per potong atau sehelai ukuran 1 meter x 2 meter. Khusus batik virus corona harganya Rp 190 ribu per potong," jelas Tuminah.


Kurang Promosi

Sementara itu Nurhayati mengatakan, dalam beberapa bulan ini usaha batik tulis yang digeluti berkelompok ini sedikit bisa membantu meringankan beban keluarga akibat pandemi Covid-19.

Mereka pun berharap batik tulis karya wanita-wanita petani ini bisa dikenal luas serta berkembang baik.

"Sementara ini promosi masih sangat kurang, hanya dari mulut ke mulut serta media sosial yang masih baru," kata Nurhayati.

Apresiasi

Kepala Desa Grabagan, Eko Setyawan, menyampaikan, Desa Grabagan tercatat sebagai desa wisata dengan obyek wisata unggulan fenomena alam mud volcano yaitu Bledug Cangkring yang sejarahnya masih berhubungan dengan Bledug Kuwu.

Karenanya, ia sangat mengapresiasi terealisasinya usaha kecil batik tulis gagasan ibu-ibu petani di Dusun Cangkring yang secara tak langsung ikut menunjang keberadaan Desa Wisata.

"Harapannya bisa dikerjasamakan dengan BumDes dan dibantu untuk pemasaran. Bantuan dari pemerintah pusat untuk usaha kecil sudah mereka dapatkan dan pihak desa akan diupayakan bantuan juga. Ini sangat menginspirasi, perjuangan dan upaya positifnya untuk bertahan di tengah Pandemi Covid-19," kata Eko.

Menurut Eko, di tengah Pandemi Covid-19, pemerintah Desa Grabagan memang berupaya memotivasi warga untuk mewujudkan gagasan kreatif yang bisa menghasilkan pendapatan.

"Usaha kecil di Desa Grabagan kami dorong seperti pembuatan kripik tempe, jajanan serta batik tulis ini. Selain bisa membantu perekonomian di saat pandemi Covid-19, juga bisa mengangkat nama desa dengan mengenalkan kearifan lokal," pungkas Eko.

https://regional.kompas.com/read/2020/11/26/22335821/jengah-dengan-pandemi-emak-emak-petani-ciptakan-batik-tulis-bermotif-corona

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke