Salin Artikel

Nestapa Hidup Guru Honorer di Perbatasan RI-Malaysia, Pernah Digaji Rp 1 Juta Setahun

Mengabdi sebagai pahlawan tanpa tanda jasa apalagi berstatus guru honorer di wilayah ini membuat hidupnya masih jauh dari kata mapan.

Tidak ada kemudahan akses transportasi dengan biaya murah atau jaminan kehidupan layak.

"Saya diminta mengajar setelah lulus SMA tahun 2005, Kepala sekolah yang buat SK tugas untuk saya, saya ingat gaji pertama saya Rp 150.000," ujar Kornalius mengawali kisahnya melalui sambungan telepon, Kamis (26/11/2020).

Terbatasnya tenaga pendidik di perbatasan RI membuatnya harus mengajar semua mata pelajaran yang ada.

Tentu saja daya nalar dan kemampuan pikir anak-anak di perbatasan tidak sebanding dengan yang ada di perkotaan apalagi daerah Jawa.

Untuk mengajar satu mata pelajaran di SDN Panas, Kornalius harus pakai tiga bahasa.

Pertama, ia menjelaskan pelajaran dengan bahasa Indonesia dengan mencampurnya dengan dialek Melayu. 

Pasalnya, masyarakat perbatasan di Lumbis Pansiangan lebih sering berinteraksi dengan warga Malaysia dalam keseharian mereka.

"Saya harus selalu menjelaskan dengan bahasa daerah, bahasa Dayak Okolod dan Agabag, keduanya mirip. Kebetulan saya orang pribumi, dan anak-anak di sini belum terlalu lancar menerima penjelasan pelajaran menggunakan bahasa Indonesia," katanya.

Kesulitan dalam mengajar kembali diuji saat Pemerintah Indonesia mengeluarkan kebijakan belajar daring untuk meminimalisasi sebaran wabah virus corona.

Kebijakan tersebut membuat Kornalius gusar, karena hanya segelintir murid saja yang memiliki ponsel apalagi yang berbasis Android.

Warga Lumbis Pansiangan hanya para pekebun dan pencari ikan di sungai. Ponsel masih menjadi barang mewah di wilayah ini.

"Anak-anak perbatasan meski sekolah normal, mereka tetap tertinggal dari segi pelajaran, apalagi kondisi wabah. Jadi saya datangi rumah mereka dan akhir-akhir ini anak-anak yang ke rumah, belajar pakai HP saya," katanya.


Pernah digaji Rp 1 juta selama setahun

Pengabdian dan kontribusi Kornalius sebagai guru selama 15 tahun belum berimbang dengan penghasilannya.

Kornalius tidak pernah tahu berapa gajinya dalam sebulan. Pasalnya, gaji dibayar dalam waktu tak pasti, kadang lima bulan baru terima gaji, kadang enam bulan.

Malahan pernah, setelah bekerja selama setahun, baru Kornalius menerima gaji.

"Dulu pernah satu tahun dibayar Rp 1 juta. Bisa saya katakan jadi guru honor itu makan hati karena berapa pun gaji ya tetap kita terima tanpa komplain, namanya honorer. Terakhir saya terima gaji Rp 1,5 juta untuk sekitar 6 bulanan. Saya juga belum tahu berapa gaji saya sebulannya, karena tidak pernah diberi tahu," tuturnya.

Gaji tersebut sudah barang pasti tidak cukup untuk menghidupi 5 anaknya, anak pertama yang sudah SMA butuh lebih banyak biaya untuk kos dan biaya makan.

Anak sulung Kornalius harus merantau untuk belajar ke tingkat SMA, karena di Lumbis Pansiangan tidak ada SMA.

Apalagi sejak Malaysia lockdown, segala kebutuhan primer harus dibeli di ibu kota Kecamatan Mansalong yang ditempuh seharian menggunakan ketinting dengan ongkos sangat mahal.

Padahal sebelum lockdown, mereka hanya butuh waktu dua jam untuk menuju pangkalan mobil Malaysia di Desa Salung dan berbelanja kebutuhan dengan mata uang ringgit.

"Beginilah adanya, kalau mengandalkan gaji mana cukup, karena itulah saya berkebun. Tanam singkong, sayuran, selain untuk konsumsi keluarga, bisa juga dijual ke kota menambah sedikit penghasilan," imbuhnya.


Sering kehabisan beras

Di luar sekolah, Kornalius tetap sebagai kepala keluarga yang harus menghidupi lima orang anak.

Anak bungsunya masih berusia 1 tahun, masih butuh susu, pampers dan makanan bernutrisi demi menunjang gizinya.

Namun apa daya, besaran gajinya bahkan tidak cukup mengganti uang bensin saat ia harus menuju kecamatan Mansalong untuk berbelanja kebutuhan pokok.

"Untuk ke Mansalong itu satu hari, harus carter kapal ketinting Rp 7 juta pulang balik, seringnya sekalian jual ubi dan sayur, jadi ada juga didapat, kalau beli 1 karung beras biasa untuk 3 bulan, kami lebih banyak makan ubi kayu, lauknya cari di sungai," katanya.

Beras diutamakan untuk makan anak anaknya terutama si bayi yang kadang untuk bahan membuat bubur.

Pernah suatu ketika anaknya menangis lapar, sedangkan beras habis.

Pontang-panting Kornalius berutang bensin untuk isi bahan bakar mesin ketinting yang ia pinjam dari tetangga.

Untuk pulang pergi ke Mansalong butuh 50 liter bensin dengan harga per liternya Rp 20.000.

Warga yang mau menjual bensinnya bisa dihitung jari, karena kebanyakan, mereka menyimpan bensin untuk kebutuhan darurat misalnya untuk mengantar orang sakit atau hal urgent lain.

"Saya beli beras saja di Mansalong, perjalanan kan sehari, besoknya pas saya pulang, tidak ada sudah uang, saya bayar bensin pakai tempayan, karena itu masih berlaku di adat kami, tempayan salah satu barang berharga karena kadang menjadi sarat upacara adat," kenangnya.


"Pak Mendikbud tolong beri jalan guru honor di perbatasan RI untuk masuk K2"

Kornalius mengaku, menjadi guru honor adalah pilihannya. Ia bertekad memiliki andil dalam mencerdaskan generasi di wilayah adat tempat ia dibesarkan.

Ia juga tidak menyesal memilih jalan tersebut meski kadang keluarganya menuntut lebih.

Menurutnya, masih sangat sedikit guru yang mau ditempatkan di perbatasan RI,

Ia berpendapat, mencerdaskan anak bangsa di beranda negeri adalah simbol perjuangan.

"Saya sudah juga mengambil kuliah jarak jauh, saya ingin terus menjadi guru, tapi guru yang diakui, saya sudah lebih 10 tahun mengabdi, saya tidak lulus waktu tes K2 kemarin, saya berharap banyak untuk lulus," harapnya.

Kornalius berharap mendapat jalan untuk masuk dalam program K2.

Ia mengakui akan kalah ketika bersaing dengan tenaga SDM dari wilayah perkotaan dari sisi wawasan dan ilmu pengetahuan kontemporer.

Pasalnya, wilayah perbatasan memiliki kendala jaringan telekomunikasi sehingga sinyal tidak stabil.

Selain itu alasan dana membuatnya berpikir ulang untuk membeli paket data seluler. 

Terlebih hari-harinya di pedesaan hanya berkutat dengan murid-murid dan mengurus kebun demi mempertahankan dapur keluarga tetap mengepul.

"Kalau bisa Pak Menteri Pendidikan bisa mencarikan jalan bagi tenaga guru honor di perbatasan, kalau bersaing dengan SDM kota kami kalah, setidaknya ada kebijakan bagaimana yang mengabdi lebih 10 tahun bisa masuk K2 tanpa tes," harapnya.

https://regional.kompas.com/read/2020/11/26/20171491/nestapa-hidup-guru-honorer-di-perbatasan-ri-malaysia-pernah-digaji-rp-1-juta

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke