Salin Artikel

Mengepakkan Kembali Sayap Putih Jalak Bali...

Perburuan liar dan perdagangan ilegal di pasar gelap sempat membuat burung dengan nama latin Leucopsar rothschildi ini terancam punah.

Kepala Balai TNBB Agus Ngurah Krisna Kepakisan mengatakan, penemuan jalak bali pertama kali dilaporkan oleh ahli burung berkebangsaan Inggris bernama Dr Baron Stressman pada 1911.

Lalu pada 1925, seorang peneliti lain bernama Dr Baron Victor Von Plessenn mengadakan penelitian lanjutan.

Dari peneliatannya, penyebaran jalak bali diketahui dari Bubunan, Buleleng, hingga Melaya, Jembrana atau dengan luas penyebaran 320 Kilometer persegi.

Pada waktu itu populasinya diperkirakan mencapai 900 ekor di alam liar. Namun, dari tahun ke tahun populasi jalak bali terus menurun.

Menyusutnya habitat alami memengaruhi populasi burung ini.

Pada 1990-an, burung ini hanya menempati wilayah seluas 3 km persegi di Teluk Kelor dan Berumbun, wilayah TNBB.

Populasi jalak bali  

Catatan TNBB, pada 1974 hanya ada sekitar 125 ekor di alam liar. Jumlahnya terus menurun dan tahun 2001 sempat hanya ada enam ekor di alam.

Kemudian pada 2006, disebutkan tak ada lagi atau nol jalak bali di alam liar.

Di habitat alaminya, jalak bali juga berebut sarang dengan pesaingnya seperti jalak putih dan lebah madu dalam perebutan sarang di lobang pohon.

Burung ini juga menjadi incaran hewan pemangsa seperti elang, alap-alap, kucing hutan, hingga biawak.

"Jadi populasinya di alam kritis sekali," katanya saat dihubungi, Rabu (28/10/2020).

Selain habitat yang menyusut, penurunan drastis populasi burun ini karena maraknya perburuan liar dan perdagangan ilegal di pasar gelap mulai 1960-an.

Perdagangan ilegal ini diduga karena tingkat kemiskinan warga sekitar habitat dan tingginya permintaan.

Pada medio 2000-an awal, harga satu pasang jalak bali bisa mencapai Rp 30 juta.

Strategi di 2015

Kerja keras pemerintah, warga, komunitas pecinta jalak bali dalam 10 tahun terakhir sedikit demi sedikit membuahkan hasil.

Pada 2020, 355 ekor jalak bali kini tercatat terbang bebas di alam liar tepatnya di Taman Nasional Bali Barat.

Titik balik kembali meningkatnya populasi burung ini saat TNBB menggunakan strategi baru pada 2015.

Strategi tersebut yakni pemilihan tempat pelepasliaran dan pelibatan masyarakat dalam penangkaran Jalak Bali.

Semula, pelepasliaran jalak bali hanya dilakukan di Teluk Berumbun.

Rupanya tempat ini kurang mendukung daya dukung jalak bali di alam liar karena lokasinya minim air dan hutan musim yang sangat kering.


Sehingga lolasi pelepasliaran ditambah yakni di Labuan Lalang dan Cekik.

Di tempat tersebut, jalak bali berusia delapan bulan dilatih untuk proses adaptasi ke alam liar.

Di tempat ini merupakan tipe hutan hutan hijau di dataran rendah dan selalui hijau sepanjang tahun atau evergreen.

Air juga tersedia cukup yang ternyata membuat Jalak Bali berkembang dengan baik.

Kemudian masyarakat di sekitar TNBB mukai dilibatkan dalam penangkaran burung Curik Bali.

Didorong Kementerian Kehutanan bersama asosiasi pelestari Curik Bali, Desa Sumber Klampok yang pertama membentuk kelompok penangkar manuk jegeg.

Hingga berkembang dan ada 17 penangkar masyarakat di desa tersebut.

Jumlah penangkat terus bertambah seperti di Tabanan, Gianyar, Badung, Denpasar, hingga di Pulau Jawa.

"Sehingga pehobi burung mendapat indukan atau bibit yang ditangkar resmi tak lagi dari pasar gelap yang diambil dari alam liar," katanya.

Strategi ini rupanya dianggap berhasil dengan jumlah populasi yang terus mengalami peningkatan.

Pada 2017, populasi jalak bali di alam liar naik 109 dan mencapai 355 ekor pada 2020.

"2020 tertinggi dari catatan populasi di alam sejak 1974," katanya.

Dengan adanya penangkaran ini, harga jalak bali bisa dikendalikan, dari yang dulunya satu pasang bisa menyampai Rp 30 juta, kini di angka Rp 7 juta.

Peran penangkar burung

Agus mengatakan, mempertahankan populasi jalak bali di alam liar merupakan hasil sinergi antara ex situ dan in situ.

Ex situ yakni di luar kawasan habitat asli taman nasional, seperti masyarakat penangkar Curik Bali, otoritas penjaga peredaran burung seperti KSDA, Pemda, hingga LSM.

Lalu in situ yakni di dalam kawasan taman nasional. Pengelolaan dilakukan dengan perlindungan polisi hutan hingga menjaga kelestarian habitat kemudian monitoring rutin.

"Melepasliarkan hasil penangkaran ke alam, memasang sarang buatan, monitoring, menghitung secara teratur jumlahnya di alam," katanya.

Dengan upaya-upaya ini diharapkan populasi jalak bali di alam liar terus stabil dan critical endanger turun menjadi endanger.

Ia juga berharap masyarakat di desa penyangga yang sudah sadar semakin aktif meningkat kerjasamanya dengan TNBB.

Burung ini saat ini sudah sampai ke desa-desa penyangga bahkan sudah ada yg bersarang di pohon atau kebun warga.

Selanjutnya bisa memberikan manfaat ekonomi seperti atraksi wisata seperti menawarkan adopsi Curik Bali yang ditangkar untuk dilepas wisatawan ke alam.

Penangkaran

Di sebuah lokasi di Subak Sembung, Desa Adat Peguyangan, Denpasar, terdapat sebuah penangkaran jalak bali.


Ada lima orang yang di penangkaran ini, salah satunya Wayan Sukadana (40).

Kelompok penangkar jalak bali ini baru terbentuk pada 30 September 2020. 

Mereka merupakan replikasi dari program Konservasi Jalak Bali yang sebelumnya dilakukan di Desa Sibangkaja, Kabupaten Badung.

Tujuannya sama, yakni meningkatkan populasi jalak bali serta edukasi kepada masyarakat untuk melestarikan satwa endemik yang dilindungi ini.

"Harapan kita bisa memperbanyak dan kembangbiakan jalak bali dan ikut mengedukasi masyarakat dan warga di sini ikut melestarikan," kata Sukadana ditemui di lokasi penangkaran.

Program yang diinisiasi Pertamina ini memanfaatkan potensi lahan hijau di tengah Kota Denpasar.

Program ini juga didukung tingginya antusias kelompok petani yang aktif untuk mengelola konservasi.

Dalam kandang koloni berukuran enma meter persegi dan tinggienam 6 meter, empat pasang Jalak Bali ditangkarkan.

Burung dengan usia satu tahun tersebut diharapkan bisa bertelur dan berkembangbiak hingga akhirnya bisa dilepasliarkan ke alam liar.

Program ini melibatkan petani sekitar anggota Subak, Desa Adat, dan warga sekitar.

Bahkan dibuatkan juga awig-awig atau perarem yang melarang perburuan burung liar di lokasi.

Masyarakat yang terlibat tidak terbatas pada masyarakat yang tergabung dalam kelompok pengelola konservasi (Kelompok Uma Palak Lestari) saja.

Namun, masyarakat Desa Adat Peguyangan secara umum. Mereka nantinya bisa berperan sebagai bapak burung, yang bertugas untuk melakukan konservasi secara mandiri terhadap burung jalak bali.

Ketua Kelompok Ekowisata Subak Sembung, Wayan Suwirya berharap program ini berkelanjutan dan ada kesinambungan antara desa, pengurus subak, dan pengelola.

Menurutnya, Subak Sembung merupakan satu-satunya lahan pertanian terluas di Denpasar.

Di tengah pembangunan yang masif, subak dengan luas 115 hektar ini diharapkan tetap lestari dan hijau

Dengan adanya penangkaran, wilayah ekowisata ini diharapkan berkembang dan menjadi tempat wisata di tengah padatnya Denpasar.

"Artinya orang yang berkunjung ke sini bisa berwisata dan belajar," katanya.

Ketua Kelompok Penangkar Jalak Bali Sibangkaja Tri Edi Mursabda mengatakan, burung jalak siap berproduksi di usia satu tahun lebih.

Burung-burung yang siap produksi dilepaskan di kandang koloni perjodohan hingga bertelur. Telur yang sudah menetas dibiarkan diasuh induknya selama 10 hari.

Kemudiam penangkar mengambilnya dan membesarkannya dengan cara manual.

Kini kelompok tersebut beranggotakan 18 anggota dengan masing-masing mempunyai sepasang jalak bali.


"Kami menyebut anggota kelompok ini bapak burung. Itu nanti dengan pembagian 50-50. Jika anak dua, satu dikembalikan ke kandang koloni dan satu untuk dipelihara sendiri," katanya.

Unit Manager Communication, Relation & CSR MOR V Rustam Aji mengatakan, konservasi di Peguyangan diharapkan bisa sesukses yang di Sibangkaja.

“Kami berharap dapat mengulang kesuksesan yang dimiliki oleh Program CSR Konservasi Jalak Bali di Desa Sibangkaja pada 2017 silam, di mana berhasil mengembangbiakkan 18 ekor burung jalak bali menjadi 43 ekor burung sampai dengan sekarang,” katanya dalam keterangan tertulis.

Menurutnya, program CSR DPPU Ngurah Rai di Desa Sibangkaja berkontribusi meningkatkan populasi Jalak Bali di dunia sebesar 10 persen.

Ia berharap program konservasi itu dapat berkontribusi lebih tinggi terhadap populasi Jalak Bali di dunia.

Maka harapannya yakni anak cucu negeri ini bisa mendengarkan kicauan merdu dan melihat kepakan sayap putih burung tersebut di udara.

https://regional.kompas.com/read/2020/10/29/14301721/mengepakkan-kembali-sayap-putih-jalak-bali

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke