Salin Artikel

IPB: Dana Riset Dasar Minim hingga Kurang Diminati, Indonesia Terancam Impor Riset Negara Lain

Dosen Institut Pertanian Bogor (IPB), Berry Juliandi mengatakan ada dua jenis riset. Pertama, riset dasar yang akan menjawab keinginan tahuan. Hasilnya, bisa mengatasai masalah di masa depan.

Kedua, riset terapan yang hasilnya bisa menyelesaikan masalah saat itu juga. Namun riset terapan belum tentu bisa dipakai di masa depan.

Baca sebelumnya: Karut-marut Hilirisasi Riset di Indonesia

Persoalannya, beberapa tahun terakhir, kebijakan pemerintah Indonesia lebih berpihak pada hilirisasi atau aplikasi riset. Budget yang dianggarkan untuk penelitian dasar lebih kecil dibanding riset terapan dan hilirisasi.

Hal itu kebalikan dengan negara-negara maju. Di negara maju, 80 persen riset dasar dibiayai negara. Ketika hilirisasi, dibiayai industri, lembaga yang lebih tahu mana yang lebih prospektif.

“Kalau ini tetap dilakukan, kemandirian bangsa akan hilang karena kita tidak punya stok riset dasar,” tutur Berry saat dihubungi Kompas.com, belum lama ini.

Dampak riset dasar rendah

Berry mengungkapkan, jika riset dasar Indonesia rendah, Indonesia akan menghilirisasi riset dasar yang dilakukan negara lain dengan cara membeli.

Jika negara lain menolak, maka Indonesia tidak akan mandiri. Contohnya dalam hal obat. Hampir semua bahan obat di Indonesia impor.

Berry mengakui, salah satu alasan rendahnya keberpihakan pemerintah terhadap riset dasar adalah besarnya investasi dan lamanya waktu yang dibutuhkan.

Namun bila ingin seperti negara maju, pemerintah harus mengubah kebijakannya dengan memerhatikan riset dasar.

“Sebuah penelitian menunjukkan, anggaran Litbang terhadap PDB berkorelasi dengan kemajuan,” tutur dia.

Tiga prioritas riset dasar di Indonesia

Berry mengungkapkan, di tengah kecilnya dana riset di Indonesia, ada tiga riset dasar yang baiknya diprioritaskan.

Pertama, riset dasar di laut terutama laut dalam. Selain karena belum banyak yang meneliti, Indonesia akan menemukan hal bagus yang bisa dikembangkan menjadi berbagai macam produk dari obat hingga makanan.

Kedua, eksplorasi hipofarmaka yaitu mencari bahan di tanaman untuk obat, anti peluru, baju ringan, kesehatan pangan, dan lainnya.

Ketiga, ecotourism. Selain memanjakan wisatawan dengan keindahan alam ada upaya konservasi untuk menjaga habitat alam tetap terjaga.


Dibanjiri bahan baku obat impor

Pharma R&D Group and External Relation Director PT Kalbe Farma Tbk, Pre Agusta Siswantoro mengatakan, pada 2013, sebanyak 95 persen bahan baku obat di Indonesia atau senilai Rp 21 triliun masih impor.

Dengan rincian, 30 persen bahan baku berasal dari India, 60 persen dari China, dan 10 persen dari Eropa. Jumlah itu tidak jauh beda dengan saat ini.

“Itulah mengapa, pada saat China lockdown, kita kelimpungan. Terjadi ancaman keterbatasan obat saat itu, karena 60 persen bahan baku obat berasal dari China,” tutur dia.

Augusta menjelaskan, semampu apapun Indonesia membuat obat, jika bahan bakunya tidak ada, produksi tidak akan jalan.

Untuk membuat bahan baku membutuhkan teknologi tinggi dengan biaya yang besar, sedangkan marginnya kecil. Itulah mengapa banyak perusahaan tidak tertarik dan bahan baku dijalankan melalui B to B.

Berbeda dengan produksi obat seperti Indonesia yang tidak membutuhkan teknologi tinggi namun marginnya lumayan. Apalagi pasar Indonesia kecil, sehingga bahan baku harus ekspor.

Harapan kemudian datang saat program JKN diluncurkan. Program ini membuat konsumsi obat lebih besar.

Namun untuk mengembangkan bahan baku ini diperlukan industri hulu. Ia berharap, setelah Covid-19 mereda, pengembangan ini bisa berjalan.

“Bahan baku obat ada 1.000 lebih. Tapi tidak harus semua dibikin Indonesia. Cari yang lebih strategis. Kalau 30-40 persen sudah bisa diproduksi Indonesia, kita sudah bisa mandiri,” ucap dia.

Saat ini, sambung Augusta, ada 206 industri farmasi di Indonesia dengan pasar Rp 90 triliun pada 2019. Jumlah ini terbilang kecil, bahkan berada di bawah omzet satu industri rokok Kediri yang mencapai Rp 100 triliun.

https://regional.kompas.com/read/2020/10/28/07300001/ipb--dana-riset-dasar-minim-hingga-kurang-diminati-indonesia-terancam-impor

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke