Salin Artikel

GoPot, Lestarikan Wayang Potehi dengan Mobil Keliling di Semarang

Mereka menolak terpuruk dan berupaya bangkit dengan mengadakan pertunjukan keliling yang dikemas dalam mobil GoPot alias potehi keliling.

Suara tabuhan beragam perkusi dan nada-nada dari alat musik tiup mengiringi kehadiran Dewa Cai Shen—Dewa Rejeki—yang dibawa menuju panggung wayang Potehi.

Kehadiran dewa diikuti dengan ritual pembakaran kimcoa alias "uang" persembahan yang dikibarkan hingga padam ke semua sisi panggung pertunjukan.

Ritual ini menandakan pertunjukan wayang Potehi dimulai. Dalang lalu melantunkan Siu Lam Pek, suluk atau syair pembuka, dalam bahasa Hokkian. Ini semacam mantra pembuka sebelum memainkan lakon dalam cerita.

Potehi berasal dari kata 'pou' atau kain, 'te' atau kantong, dan 'hi' atau wayang.

Empat dewa utama ditempatkan berjajar di panggung pertunjukan menyampaikan salam pembuka bagi tuan rumah sekaligus mendoakan agar semua keinginan terkabul.

Siang itu, Widodo Santoso beraksi sebagai dalang wayang Potehi.

Bersama Dji Dju atau asisten dalang serta empat panjak atau penabuh musik, mereka menyajikan kisah keberhasilan pendekar wanita Lauw Kim Thing dari Kerajaan Song Tio dalam membasmi siluman penyebar penyakit mematikan yang mengakibatkan pagebluk.

Wabah yang menyerang Kerajaan Song Tio pun hilang dan rakyat hidup sehat seperti sedia kala. Cerita sengaja dikemas agar relevan dengan pandemi Covid-19.

Ini juga kesempatan bagi Budi melestarikan kesenian wayang Potehi.

"Pelestarian tidak hanya bagaimana melestarikan untuk generasi di bawahnya. Ini nggak cukup. Bagaimana kalau nggak ada yang nanggap?

"Saya mencoba ingin menjadi bagian dari keseluruhan ini.

"Saya nanggap ini saya ingin memperkenalkan masyarakat luas, ya paling mudahnya saya memperkenalkan dengan karyawan-karyawan saya," papar Budi kepada BBC Indonesia.

Budi sangat puas dengan pertunjukan wayang Potehi di pabriknya, karena kesenian tersebut sarat makna dan pesan yang relevan dengan kondisi kekinian.

"Ini bulan baik untuk menyampaikan permohonan, dan kebetulan GoPot mampir di Semarang. Kita berdoa, bersama-sama menyampaikan harapan agar pagebluk ini bisa berakhir.

"Yang menarik di penampilan wayang ada edukasi, menghimbau mematuhi protokol kesehatan dan disampaikan berulang-ulang di tengah pertunjukan. Edukasinya dapat, doa dapat."

Mobil ini sekaligus menjadi tempat pemain dan alat musik yang dilengkapi dua pengeras suara. Hanya butuh waktu 20 menit untuk menyiapkan sebuah pertunjukan.

Mobil ini disebut GoPot (Go Potehi) yang dapat berpindah sesuai permintaan pengundang privat maupun umum untuk berbagai kepentingan.

Mulai ritual keagamaan di klenteng, tolak bala di rumah, tempat usaha, ulang tahun, hingga perayaan kelahiran.

Harjanto Halim memilih menggelar pertunjukan wayang Potehi di teras rumahnya untuk menyambut kelahiran.

"Untuk Ma Gwe, satu bulan kelahiran cucu saya. Beda dengan nonton di tempat umum karena ini dekat, jadi emosinya lebih terasa, lebih leluasa. Ini luar biasa, baru pertama kali saya rasakan sedekat ini dengan nuansa sangat personal," ungkap Harjanto, yang juga menjabat sebagai Ketua Perkumpulan Sosial Boen Hian Tong Semarang.

Harjanto sejatinya juga punya andil memfasilitasi keberadaan mobil GoPot yang digunakan para seniman wayang potehi dari sanggar Yayasan Fu He An, Jombang, Jawa Timur.

Toni Harsono, Ketua Yayasan Fu He An, mengatakan, mobil GoPot digagasnya bersama Harjanto Halim sebagai upaya mengenalkan dan melestarikan wayang potehi dengan konsep kekinian melalui pertunjukan keliling.

Ini baru kali pertama diuji coba di Indonesia untuk memudahkan masyarakat 'menanggap' wayang Potehi ke berbagai daerah dengan biaya terjangkau.

"Saya ingin mengenalkan wayang Potehi. Kalau ke Jakarta butuh ongkos Rp 15 juta, ke Medan, ke Lampung, ongkos mahal.

"Kalau ada kendaraan keliling pementasan jadi nggak berat. Rencananya jalan terus pentas di mana-mana. Keliling nusantara, mudah-mudahan terlaksana," kata Toni.

Harjanto Halim menambahkan, metode jemput bola dengan GoPot juga diharapkan dapat menjaga keberlangsungan hidup para seniman Potehi yang tergabung dalam Yayasan Fu He An agar mereka terus berkarya sekaligus memutar roda ekonomi.

"Nanggap memberikan kesempatan wayang Potehi bisa tumbuh lagi. Kita himbau para pengusaha, orang-orang yang punya dana bisa nanggap wayang Potehi ini sehingga mereka bisa bersemangat.

"Jadi ada wayang Potehi yang kontekstual modern dan wayang Potehi klasik untuk acara ritual sehingga wayang Potehi tidak akan hilang," imbuh Harjanto.

"Sebagai pelaku, mudah-mudahan dengan adanya GoPot ini wayang Potehi bisa kembali, lebih dikenal masyarakat.

"Bisa kembali seperti dulu pentas lebih luas," jelas lelaki yang mengawali kiprah sebagai cantrik (pembantu) dalang sejak 1993 di Klenteng Poo An Kiong, Blitar, Jawa Timur.

Kehadiran GoPot, menurut Widodo, memungkinkan para pegiat wayang Potehi bisa terus berkarya dan memutar roda ekonomi. Sebab, tanpa pertunjukan, mereka mengalami kesulitan keuangan.

Ini diakui Soni Frans Asmara, dalang wayang Potehi lainnya.

"Kondisi normal dalam satu tahun bisa main empat bulan penuh itu sudah bagus, selebihnya nganggur. Bayangkan jika pandemi. Kalau tidak punya sampingan mungkin tidak sanggup lagi," jelas dalang yang pernah dibayar Rp 18 juta selama tiga hari mendalang pada perayaan Imlek.

Keadaan para pegiat Wayang Potehi tersebut dipahami Toni Harsono, Ketua Yayasan Fu He An yang turut menggagas GoPot.

Dia mengaku pernah diultimatum oleh ayahnya—yang merupakan dalang Potehi—untuk tidak bersentuhan dengan kesenian tersebut agar nasibnya tidak seperti boneka yang dimainkannya.

"Dilarang jadi dalang nanti hidupmu susah, nasibnya seperti boneka yang dimainkan. Ketika pentas, tangan dimasukkan ke perut boneka sehingga jalannya gagah.

"Tapi saat tidak pentas, tangan dilepas, perut boneka kempis lagi, terus disampirkan begitu saja. Nasib pemain Potehi sampai hari ini seperti itu.

"Kalau tidak pentas mereka jadi tukang becak, kuli angkut," jelas Toni mengingat pesan ayahnya.

Namun, kecintaannya pada kesenian wayang Potehi mendorongnya tetap bersentuhan dengan boneka-boneka Potehi peninggalan leluhurnya.

"Saya juga heran mau mengeluarkan uang banyak untuk Potehi, padahal saya tidak dapat uang dari situ. Mungkin ini cinta buta," jelasnya.

"Kesadaran terutama harus dimulai dari kalangan etnis Tionghoa sendiri yang peduli pada warisan leluhur.

"Kalau tidak, pemainnya bisa lesu darah karena yang nanggap tidak ada. Jadi mereka sebetulnya sangat mengharapkan ada kesadaran dan keikhlasan warga Tionghoa yang mampu untuk membantu. Misalnya para pengusaha etnis Tionghoa."

Terlebih lagi kesenian ini kini tak hanya sebatas ritual agama, tapi juga hiburan seperti halnya kesenian tradisional lainnya.

"Sudah keluar bisa ditanggap ke mana-mana, di pesta pernikahan, di sekolah bahkan pernah jadi sarana sosialisasi pemilu.

"Sehingga cerita pun bisa diganti, tidak semua dari China, tapi bisa dikombinasikan dengan berbagai macam cerita popular dan akulturasi dengan budaya," pungkasnya.

https://regional.kompas.com/read/2020/10/14/08220081/gopot-lestarikan-wayang-potehi-dengan-mobil-keliling-di-semarang

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke