Salin Artikel

Sederet Fenomena Awan, Mirip Gelombang Tsunami hingga Melingkar Seperti Topi

KOMPAS.com - Fenomena awan hitam yang menyelimuti langit di wilayah Serang, Banten, sempat membuat heboh warga, Sabtu (3/10/2020).

Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisikia (BMKG) meminta warga tidak panik akan terjadi bencana puting beliung atau hujan lebat.

"Awan tersebut merupakan fenomena alam biasa. Awan seperti itu disebut shelf cloud. Terjadi karena bertemunya udara dingin dengan udara lembab yang hangat," kata Kepala Seksi Data dan Informasi Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) Klas 1 Serang Tarjono.

Tarjono menambahkan, shelf cloud adalah awan arcus yang membuat formasi awan horizontal rendah. Biasanya awan ini muncul sebagai awan aksesoris dari sebuah cumulonimbus.

Sementara itu, salah satu warga bernama Arief sempat mengabadikan fenomena itu dalam rekaman video.

Tampak awan hitam menggelayut di langit Pasar Tirtayasa, Serang, Banten. Arief lalu mengunggah videonya itu di media sosial.

"Indah tapi serem," tulis Arief di status Instastory Instagramnya.

Sejumlah warganet pun menanggapi video itu dengan berbagai komentar.

Tak hanya Arief, salah satu warga Kampung Taktakan bernama Wulan pun membenarkan kejadian itu.

"Warga terkejut, kaget, heran pas ngeliat muncul awan kaya ombak. Awannya hitam pekat gitu," kata Wulan.

Menurut Wulan, usia fenomena itu terjadi hujan deras. Namun, tidak disertai angin maupun kilat.

Fenomena awan serupa juga pernah terjadi di Meulaboh, Kabupaten Aceh Barat, pada Senin (10/8/2020) lalu.

Saat itu warga melihat awan meyerupai gelombang tsunami. Warga saat itu sempat panik akan terjadi bencana alam.

“Kami juga sempat takut melihat awan yang begitu hitam pekat, menakutkan sekali. Jarang ada peristiwa seperti ini,” kata Sabrina, salah satu warga setempat, dikutip dari Antara.

Sementara itu, menurut penjelasan Kepala Seksi Data BMKG Stasiun Sultan Iskandar Muda, Zakaria, fenomena itu adalah awan Arcus atau biasa disebut awan tsunami.

Fenomena awan itu, menurut Zakaria, merupakan bagian dari awan kumulonimbus. Awan tersebut juga berpotensi menimbulkan angin kencang hingga hujan es.

Oleh karena itu, warga yang mengetahui awan tersebut diminta lebih waspada dan dapat menghindari tempat terbuka.

"Awan ini juga dapat menimbulkan angin kencang, hujan lebat, bisa juga terjadi kilat, petir, angin puting beliung atau hujan es," lanjut Zakaria.

Tahun lalu, tepatnya pada Senin (10/9/2018) pagi, warga Kota Semarang, Jawa Tengah dan sekitarnya dihebohkan dengan kemunculan awan berbntuk spiral.

Awan berbentuk spiral itu, menurut Kepala Stasiun Klimatologi Klas I BMKG Kota Semarang Tuban Wiyoso, disebut awan lenticuralis.

Awan yang kebetulan berbentuk spiral terbentuk dari angin berkecepatan tinggi yang menabrak gunung. Angin kemudian berbelok hingga membentuk spiral.

"Kebetulan ada awan, sehingga berbentuk spiral yang mengikuti angin," ujar Tuban, Senin (10/9/2018).

Pada hari Kamis (3/10/2019), warga di lereng Gunung Lawu, Magetan, Jawa Timur, dihebohkan dengan fenomena awan unik di atas puncak Gunung Lawu.

Awan tersebut melingkar di atas puncak dan membentuk seperti topi di atas puncak.

“Sejak pukul setengah enam saya lihat tadi Gunung Lawu bertopi. Bagus sekali, enggak biasanya,” ujar Lasmoro, warga KPR Terung Permai, Magetan
Kamis (3/10).

Saat itu, mendiang Kepala Pusat Data Informasi dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana ( BNPB) Sutopo Purwo Nugroho menyampaikan, fenomena itu terjadi lantaran tertutup awan jenis lentikularis atau altocumulus lenticularis.

Awan tersebut terbentuk karena pusaran angin di puncak.

(Penulis: Kontributor Banda Aceh, Daspriani Y Zamzami, Kontributor Semarang, Nazar Nurdin, Kontributor Magetan, Sukoco, Kontributor Serang, Rasyid Ridho, | Editor: Khairina, Aprillia Ika)

https://regional.kompas.com/read/2020/10/04/11360031/sederet-fenomena-awan-mirip-gelombang-tsunami-hingga-melingkar-seperti-topi

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke