Salin Artikel

Hidup Penuh Berkah di Lereng Gunung Merapi

Kesuburan tanah ini menjadi anugerah bagi masyarakat yang tinggal di Lereng Gunung Merapi.

Salah satunya dirasakan oleh, Suryono (54) warga Dusun Gondang Pusung, Desa Wukirsari, Kecamatan Cangkringan, Kabupaten Sleman.

Awalnya Suryono pekerja sebuah pabrik di Tangerang. Namun pada sekitar tahun 2000 dirinya terkena gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK).

Setelah itu, pria berusia 54 tahun ini memutuskan untuk pulang ke Dusun Gondang Pusung, Desa Wukirsari, Kecamatan Cangkringan, Kabupaten Sleman.

"Saya pulang, kebetulan orang tua sudah menanam kopi. Tapi saat itu tidak terawat, sudah seperti hutan, pohonnya itu tinggi-tinggi, sampai disebut hutan Kopi Songgo langit, karena tingginya pohon itu sampai diatas 5 meter," ujar Suryono saat ditemui di rumahnya, Dusun Gondang Pusung, Desa Wukirsari, Kecamatan Cangkringan, Kabupaten Sleman, belum lama ini.

Suryono yang saat itu menganggur, kemudian mengikuti berbagai pelatihan-pelatihan tentang budidaya pohon kopi.

Dari pelatihan itu, ia memutuskan untuk merawat pohon kopi milik orang tuanya.

Dari cerita, orangtuanya mulai menanam kopi sejak sekitar tahun 1980. Namun setelah itu harga kopi sempat jatuh.

Sehingga tanaman kopi tidak dirawat lagi dan hanya ditelantarkan.

"Awalnya saya mau tebang untuk peremajaan sama ibu tidak boleh. Kan namanya orang tua tidak tahu maksudnya, itu kopi lokal saya kurang tahu jenisnya," ucapnya.

Namun, Suryono melakukan peremajaan dengan sembunyi-sembunyi agar tidak ketahuan orang tuanya.

"Saya ngumpet tebangi yang tersembunyi, ditempat yang Simbok (Ibu) tidak sering lewat. Saya sambung pucuk, dapat dari entresnya dari Temanggung," bebernya.

Setelah proses itu, akhirnya pohon kopi yang awalnya tidak terawat mulai terlihat hasilnya. Pohon kopi, mulai menghasilkan biji yang banyak dengan hasil yang bagus.

"Saya kembangkan, dan simbok itu terkejut melihat hasilnya kok bagus. Simbok lalu meminta agar diteruskan, waktu itu ada empat ribu meter, ya seribuan batang ada," urainya.

Saat pertanian kopinya membuahkan hasil, pada 2010, Gunung Merapi mengalami erupsi besar.

Akibatnya, ribuan pohon kopi miliknya mengalami kerusakan karena tertimbun material vulkanik.

Tak hanya itu tempat tinggalnya yang berjarak kurang lebih 200 meter dari Sungai Gendol pun rusak akibat material erupsi Gunung Merapi.

"Tuhan berkehendak lain, erupsi itu habis semua yang dilahan empat ribu itu. Ini rumah huntap (hunian tetap), dulu rumah saya di pinggir kali Gendol sana, kebun habis, ternak habis, rumah habis," urainya.

Suryono pun harus mengungsi menyelamatkan diri bersama keluarganya. Usai kondisi Gunung Merapi mulai kondusif, Suryono pun meninggalkan tempat pengungsian.

Usai pulang dari pengungsian Suryono menyempatkan diri untuk menengok pohon kopinya.

Beruntung, pohon kopi jenis robusta yang sempat ditanam di lahan lainnya pada 2007 masih selamat.

Pria berusia 54 tahun ini tak patah arang. Dia lantas mencoba perlahan-lahan untuk kembali bangkit.

Dari beberapa pohon yang masih bisa bertahan tersebut, Suryono meneruskan menjadi petani kopi.

"Pulang mengungsi, satu-satunya harapan ya kopi itu. Ada sisa pohon kopi sekitar 300 an batang, tapi masih muda sekitar 2 tahunan," ungkapnya.


Kebulatan tekad membuatnya kembali berangkat ke Temanggung, Jawa Tengah, mencari entres untuk sambung pucuk.

Sesampainya di Temanggung, para petani mendukung Suryono untuk bangkit kembali.

Bahkan para petani di Temanggung memberikan entres secara gratis kepada Suryono.

"Niatnya saya itu mau beli. Waktu itu teman-teman di Gesing, Temanggung itu, mengatakan tidak usah beli karena kamu korban, kena bencana tidak usah beli, ini saya kasih aja," ucapnya.

Sampai dengan saat ini, Suryono masih tetap bertahan menjadi petani Kopi. Pohon yang dirawatnya sejak peristiwa erupsi Gunung Merapi telah tumbuh dengan baik dan menghasilkan biji yang berkualitas.

"Sampai sekarang saya masih bertahan. Ya sekarang sekali panen bisa 800 kilo," ucapnya.

Suryono tidak hanya menjadi petani kopi. Ia juga memanfaatkan tanah di lereng Gunung Merapi yang subur dengan menanam coklat dan lada.

Bapak tiga orang anak ini mulai menanam coklat pada tahun 2014. Ia mulai menanam coklat setelah mendapat berbagai pelatihan.

"Ya saya menanam kalau 200-an pohon coklat ada," ucapnya.

Diungkapkannya, tanaman coklat panen setiap 10 hari sekali. Dari sekali panen tersebut dirinya bisa mendapatkan sekitar empat kilo coklat kering.

"Kalau mengolahnya saya bisa, tapi berhubung peralatanya saya tidak punya ya sekarang belum bisa mengolah," ujarnya.

Coklat hasil panennya, salah satunya dijual ke sebuah toko roti di Yogyakarta. Rata-rata, toko roti tersebut membeli 20 kilogram.

"Saya jual ke toko roti di Yogya, kebetulan yang punya orang Perancis dia chef. Baru kemarin saya kirim 20 kilogram," tuturnya.

Menurutnya beberapa warga di Lereng Merapi yang dekat dengan rumahnya juga banyak yang menanam coklat. Ia pun menerima hasil panenan coklat dari tetangganya.

"Saya sudah sepakat dengan tetangga-tetangga, kita janjian panennya kapan nanti kalau sudah saya beli. Karena coklat itu minimal untuk memproses fermentasinya itu 10 kilogram, kalau enggak 10 kilogram nanti panasnya kurang, jadi prosesnya kurang bagus," ungkapnya.

Khusus Lada, Suryono mempunyai sekitar 200 pohon. Dia memulai menanam lada sekitar empat tahun yang lalu.

"Kebetulan tahun ini mau panen yang pertama kali," tegasnya.


Suyono menyampaikan lereng Gunung Merapi cocok untuk menanam lada dan coklat.

Terbukti, dirinya bisa menjadi petani coklat dan lada. Meskipun untuk coklat memang cenderung suhu yang panas.

"Coklat, Lada cocok. Tapi untuk coklat, ini (perkebunannya) sudah paling atas, karena semakin ke atas rentan akan jamur Phytophthora, penyakit busuk buah," bebernya.

Suryono mengaku hidup di Lereng Merapi merupakan sebuah anugerah karena tanahnya subur, sehingga sangat mendukung untuk pertanian.

"Merapi punya potensi yang besar untuk pertanian, disini itu tanaman tumbuh subur. Apa yang ditanam Insyaallah menghasilkan, ya tinggal ketekunan kita," tandasnya.

Diakuinya pada saat erupsi Gunung Merapi 2010, dirinya memang menjadi korban. Rumah maupun tanaman kopinya hancur.

Namun Suyono memandang Tuhan mempunyai rencana yang indah lewat erupsi Gunung Merapi.

"Bagi saya, erupsi Merapi itu berkah, Gusti Allah itu punya skenario yang lebih bagus. Meski menjadi korban, Saya tidak pernah merasa menyesal hidup di Lereng Merapi," tegasnya.

Menurutnya dari pertanian yang ditanamkan di tanah Lereng Merapi, dirinya bisa menyekolahkan ketiga anaknya.

Bahkan dirinya bisa menyekolahkan anak yang pertamanya sampai ke perguruan tinggi.

"Anak saya tiga, yang pertama kuliah di Kehutanan UGM, sudah lulus, yang kedua SMA kelas satu dan yang ketiga kelas empat SD. Ya Alhamdulilah dari hasil sebagai petani," ungkapnya.

Sementara itu, Ketua Komunitas Siaga Merapi (KSM) Desa Glagaharjo, Rambat Wahyudi (39) mengatakan lereng Merapi memang menjadi berkah bagi warga masyarakatnya.

Lereng Merapi cocok untuk pertanian, sebab tanahnya subur. Selain itu keindahan alamnya juga untuk pariwisata. Bahkan, setelah erupsi 2010 lalu, ada destinasi wisata Lava Tour.

"Ternak disini juga banyak, ternak sapi. Di desa Glagaharjo banyak yang ternak sapi," pungkasnya.

https://regional.kompas.com/read/2020/09/29/12041751/hidup-penuh-berkah-di-lereng-gunung-merapi

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke