Salin Artikel

Kisah Cak In'am, Lewat Kedai Kopi Kenalkan Kebinekaan Indonesia kepada Eks Napi Terorisme

YOGYAKARTA, KOMPAS.com - Seorang pria mengenakan sarung berwarna biru duduk di kedai kopi "Gandroeng", Nologaten, Caturtunggal, Depok, Sleman. Ia tampak ramah dan murah senyum kepada siapa pun.

Pria ini adalah pemilik dari kedai kopi "Gandroeng". Ia bernama Muhammad In'am Amin (44).

Selain mengurusi kedai kopi, pria berkacamata ini ternyata juga aktif di yayasan rehabilitasi eks narapidana terorisme yang bernama Yayasan Lingkar Perdamaian.

Di yayasan tersebut, pria berusia 44 tahun ini mendampingi eks narapidana teroris (napiter) agar kembali ke pangkuan ibu pertiwi dan memiliki hidup yang baru, termasuk menghargai kebinekaan dan mempunyai masa depan yang lebih baik.

Di kedai kopi yang didirikannya itulah, Cak In'am, panggilan Muhammad In'am Amin, melakukan pendampingan.

Cara pendampingannya dengan mengobrol santai bersama eks narapidana teroris sambil ngopi di kedai kopi miliknya.

Cak In'am mengatakan, ada beberapa pengalaman yang membuat hatinya terpanggil untuk merangkul eks napiter, napiter, ataupun keluarganya hingga aktif di Yayasan Lingkar Perdamaian.

"Ya bukan membina istilahnya, terlalu berlebihan. Ya kita berbagilah, mudah-mudahan bermanfaatlah, mereka (eks napiter) perlu sentuhan, perlu perhatian, perlu di-uwongke," ujar Muhammad In'am Amin saat ditemui di Kedai Kopi Gandroeng, Selasa (22/9/2020).

Dia menceritakan, setelah lulus sekolah dasar (SD), dirinya masuk ke salah satu pondok pesantren di daerah Solo, Jawa Tengah. Di situlah ia mengenal para pelaku aksi terorisme.

"Bapak saya itu teman bapaknya Amrozi, Ali Imron, Ali Yusron. Saya familiar banget dengan keluarga, Amrozi," ucapnya.

Pada saat Amrozi ditahan di Lapas Nusakambangan, anaknya sempat ikut dan dirawat oleh Cak In'am.

Putra Amrozi ikut Cak In'am dari sekolah menengah pertama (SMP) hingga sekolah menengah atas (SMA).

"Anaknya ikut saya SMP, SMA ketika bapaknya di Nusakambangan. Itu ya tahun 2005, 2006, sekarang sudah besar, sudah punya anak," bebernya.

Ada satu kisah lagi yang membuat pria kelahiran Lamongan, Jawa Timur, ini terlibat di Yayasan Lingkar Pedamaian.

Diceritakannya, pada tahun 2011 adiknya memutuskan untuk melanjutkan studi di Mesir.

Pada tahun pertama, adiknya masih terpantau aktif menjalani studi. Namun, pada tahun kedua, tiba-tiba adiknya menghilang. Ternyata adiknya terpapar paham radikalisme.

"Masih muda 17 tahun, anaknya pendiam, santun, tapi tidak tahu tiba-tiba pergi ke Suriah, Saya suruh pulang tidak mau. Akhirnya kabar duka kita terima, meninggal tahun 2012, kabarnya terlibat bom bunuh diri di Suriah atau Irak," tuturnya.

Dari peristiwa tersebut, Cak In'am mengambil kesimpulan ada sesuatu yang tidak beres. Sebab, dirinya sangat mengenal sosok adiknya tersebut.

"Ada mungkin kesalahpahaman, ada brain washing, karena saya tahu betul adik saya itu. Makanya, saya berharap jangan sampai ada anak-anak seperti yang dialami adik saya," ujarnya.

Dia menyampaikan, Yayasan Lingkar Perdamaian diinisiasi oleh Ali Fauzi, adik dari Amrozi. Namun, sebenarnya sebelum dibentuk, yayasan itu sudah bergerak untuk merangkul para eks napiter. Yayasan ini pusatnya di Lamongan, Jawa Timur.

"2016 itu dibentuk yayasan, di Yogya ini perwakilannya, DPW-lah istilahnya. Saya diajak Ali Fauzi, 'Ayo, Mas, membuat yayasan'. Saya bilang, 'Monggo, siap'. Ya jadi gayung bersambut," tuturnya.

Menurut dia, di Yogyakarta ada 20 orang baik eks napiter maupun napiter yang didampingi. Selain itu, yayasan juga mendampingi keluarga dari napiter maupun eks napiter.

"Kita juga mendampingi keluarga, mereka pasti tersisihkan di masyarakat, mereka kadang takut. Yang penting bahwa ayolah bareng-bareng kembali ke pangkuan ibu pertiwi," jelasnya

Cak In'am menuturkan, bicara mengenai napiter ataupun eks napiter sangatlah kompleks. Tidak hanya tentang satu dua orang, tetapi menyeluruh, termasuk keluarga mereka.

"Bicara permasalahan napiter, kita tidak bicara si A, si B saja, tetapi bicara semuanya, dia punya anak, punya istri, punya mertua. Karena permasalahannya memengaruhi semuanya," ungkap In'am.

Oleh karena itu, dirinya juga membantu eks napiter dan keluarganya untuk bisa memulai hidup baru. Termasuk mencarikan pekerjaan baik untuk eks napiter maupun anggota keluarganya.

"Saling membantu, ada yang susah kita bantu, ada yang sakit kita bantu, ada yang butuh kerja kita carikan kerja," tegasnya.

Sosialisasikan kebinekaan lewat kedai kopi

Muhammad In'am Amin mendirikan sebuah kedai kopi di daerah Nologaten, Caturtunggal, Depok, Sleman. Kedai kopi ini oleh Cak In'am didirikan pada tahun 2015.

"Ini tahun 2015, saya sewa tanah. Namanya kedai kopinya Gandroeng," bebernya.

Selain untuk usaha, kedai kopi ini juga sebagai sarana berdialog dengan eks napiter dalam rangka membantu mereka memulai hidup baru.

"Ya mereka (eks napiter memang sering datang ke sini (Kedai Kopi Gandroeng) ya ngopi," tuturnya.

Di kedai kopi ini mereka bisa santai dan terbuka untuk berdialog tentang kesulitan yang dialami. Selain itu, mereka bisa secara langsung belajar membuka sebuah usaha.

"Mereka datang ke sini minimal terinspirasi, oh ternyata usaha itu mudah ya, butuh perlu dicoba, butuh keberanian, bukan di angan-angan saja. Yang terpenting itu membangun mental, supaya mau mandiri, mau berusaha," tegasnya.

Tak jarang Cak In'am harus merogoh uang pribadinya untuk membantu perekonomian mereka. Sebab, permasalahan mereka adalah perekonomian karena tidak mempunyai pekerjaan.

"Saya sering dari uang pribadi ngasih mereka, transfer mereka seadanya karena permasalahannya pekerjaan. saya berusaha sebisa mungkin mereka dapat pekerjaan. Karena kalau sudah WA, Mas, Pak, tidak punya uang, anakku sakit, enggak bisa beli susu, mosok kita tidak mau membantu," jelasnya.

"Ya sekali-kali istilahnya kita beri ikan. Tapi progres kita ke depan, ya kita beri kail, kita beri perahu, kita beri jaring supaya mencari ikan sendiri," imbuhnya.

Menurut dia, sudah ada eks napiter yang mandiri dengan membuka usaha, meskipun bukan usaha yang sama dengan dirinya.

Beberapa eks napiter dan anggota keluarganya juga ada yang bekerja di Kedai Kopi Gandroeng.

"Ada kemarin, di sini sifatnya seperti magang itu. Tapi, sering teman-teman datang ke sini, dari Semarang, Jakarta, dari Lamongan, ya menjadi tempat singgah," urainya.

Kedai Kopi Gandroeng banyak dikunjungi baik mahasiswa maupun masyarakat umum. Mereka yang datang ke kedai kopi milik Cak In'am itu berasal dari berbagai daerah dan latar belakang.

"Yang datang ke sini banyak, beraneka ragam, ya bisa dikatakan miniatur Indonesia kecil," ungkapnya.

Situasi tersebut menjadi sarana Muhammad In'am Amin untuk mengenalkan tentang kebinekaan kepada eks napiter.

Memberi pemahaman tentang kebinekaan kepada eks napiter tersebut dikemas Cak In'am dengan ngobrol santai sambil ngopi.

"Di sini lihat orang bermacam-macam suku, agama, terus Saya sampaikan bahwa hidup itu seperti ini, inilah miniatur Indonesia. Jadi kita hidup di Indonesia itu bersama-sama orang banyak, tidak hanya satu agama, kita harus bisa hidup berdampingan, saling menjaga, tidak merugikan orang lain," ungkapnya.

"Cara berpakaian juga berbeda-beda. Itulah yang saya tunjukkan bahwa inilah kehidupan, ada keberagaman," imbuhnya.

Memberikan pemahaman tersebut, diakuinya, tidak bisa langsung. Butuh proses yang panjang dan perlahan-lahan.

"Kita harus sabar, perlu waktu, tidak bisa satu dua bulan, bertahun-tahun. Dengan perlahan, dengan aktivitas, dengan perbuatan, tidak bisa seperti memberi materi kuliahan," ujarnya.

Berbagai kegiatan dilakukan Cak In'am bersama eks napiter dan keluarganya. Kegiatan tersebut antara lain ngopi bareng, kemudian berkunjung ke rumah mereka masing-masing. Mengajak jalan-jalan keluarga mereka.

"Ya acara-acara sederhana, sepele tetapi sangat berarti. Kemarin kita juga upacara bendera di Piyungan," katanya.

Tidak hanya di luar, Cak In'am juga aktif mengunjungi napiter yang sedang menjalani masa hukuman di penjara. Dengan kunjungan ini, mereka merasa ada yang memperhatikan.

"Kita ikut aktif, kita kunjungi, kita kirimi apa. Itu pun tidak selalu diterima, sebenarnya ibarat kendala terbesar adalah melawan kesadaran diri kita sendiri, kita sabar enggak," urainya.

Diakuinya, apa yang ia lakukan bersama Yayasan Lingkar Perdamian tidaklah sesuatu yang mudah. Bahkan, dirinya sering dicap macam-macam.

"Lingkar Perdamaian dibilang lingkaran setan, karena kita koordinasi dengan polisi, dengan negara," ucapnya.

Tak hanya itu, berbagai ancaman juga sering dialami oleh Cak In'am. Namun, hal itu tidak pernah menghentikan langkah pria kelahiran Lamongan, Jawa Timur, ini.

Cak In'am tetap berkarya, merangkul eks napiter dan keluarganya.

"Ancaman-ancaman itu ya sering, Mas, cuma ya kita tenang saja. Hidup mati di tangan Allah, yang penting kita berbuat yang terbaik," jelasnya.

https://regional.kompas.com/read/2020/09/26/06300021/kisah-cak-inam-lewat-kedai-kopi-kenalkan-kebinekaan-indonesia-kepada-eks

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke