Salin Artikel

Petani di Sleman Menjerit, Sawah Terendam Abu Vulkanik Diduga akibat Tambang

Beberapa petani tampak beraktivitas di sawah untuk merawat padi mereka.

Hanya saja, tanah yang ditumbuhi padi di area persawahan mereka tampak berbeda. Tanah yang biasanya coklat, terlihat abu-abu.

Di pinggir jalan yang dekat dengan area persawahan terlihat ada tumpukan material lumpur halus abu-abu yang sudah kering.

Lumpur yang mengering tersebut merupakan endapan abu vulkanik yang terbawa air dan masuk ke saluran irigasi pertanian.

Endapan abu vulkanik yang terbawa air dan menjadi seperti lumpur tersebut sempat mengendap di saluran irigasi.

Kemudian oleh petani saluran irigasi dibersihkan karena menyebabkan pendangkalan dan membuat aliran air tidak lancar.

Lumpur yang mengendap tersebut diangkat dari dalam saluran irigasi dan dikumpulkan di pinggir jalan oleh petani.

"Blotong atau lumpur itu mamang masuk ke irigasi, lalu masuk ke lahan pertanian. Itu kan kandungan abu vulkanik, sisa dari Merapi," ujar Siswiyanto (47), Ketua Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) Desa Hargobinangun, Jumat (11/09/2020).

Peristiwa air bercampur material vulkanik halus masuk ke saluran irigasi terjadi pada awal Agustus 2020.

Setiap hari selama sepekan, air di saluran irigasi daerah Hargobinangun terlihat keruh dan kental.

"Jadi seminggu itu keruh terus, setiap hari. Warnanya kalau dulu itu seperti yang saat banjir lahar dingin itu, coklat seperti kopi susu dan kental, seperti itu," ungkapnya.

Menurutnya, air irigasi yang keruh karena bercampur material abu vulkanik tersebut jelas berdampak luar biasa bagi pertanian.

Sebab air irigasi digunakan para petani untuk kebutuhan mengairi pertanian mereka.

"Waktu itu kalau air pas keruh ya tidak dialirkan ke lahan. Cuman kan teman-teman (para petani) tidak tahu, soalnya datangnya tiba-tiba, pagi-pagi mau ke sawah airnya sudah masuk semua (ke lahan pertanian)," ucapnya.

Endapan tersebut kemudian akan mengeras jika sudah kering.

"Kalau telanjur masuk, seperti yang tanaman lombok itu dibiarkan agak kering dulu, setelah itu di keruk, dikeluarkan dari area lahan pertanian," imbuhnya.

Namun, untuk sawah yang ditanami padi hanya dibiarkan. Sebab jarak tanaman padi terhitung dekat. Ditakutkan jika dibersihkan akan justru merusak tanaman padi.

"Kalau padi ya sudah tidak bisa diapa-apakan lagi. Itu kalau dicangkul juga keras, jadi nanti setelah panen baru dibersihkan, tapi kan lama prosesnya," bebernya.

Akibat peristiwa tersebut, beberapa tanaman petani yang masih berusia muda perlahan-lahan mati. Sedangkan jangka panjangnya akan memengaruhi hasil panen.

"Tanaman yang kecil mati karena terendam lumpur, tapi tidak langsung mati, pakai proses. Pengaruh tanaman sekarang ini ya mungkin ada penurunan produktivitasnya," sebut Siswanto.

Dari pendataan yang dilakukan lanjutnya ada tujuh kelompok tani di Hargobinangun yang terdampak. Rata-rata dalam satu kelompok ada 15 orang hingga 20 orang.

"Khusus yang terdampak langsung itu daerah Pangeran, Purworejo, Sawungan, Sawungsari sama Jetisan. Itu kebetulan sentra horti aneka sayur kita," bebernya.

Lahan pertanian yang terdampak sebagian besar milik para petani muda di Hargobinangun. Sementara, para petani muda di Hargobinangun sedang bergeliat.

"Yang terdampak itu lebih banyak teman-teman petani usia muda, sehingga kalau ada seperti ini kan kasihan. Anak-anak muda yang mulai tertarik dengan pertanian malah menghadapi seperti ini, padahal selama ini pemerintah mengeluh petani enggak ada yang muda," urainya.


Perikanan Ikut Terdampak

Tak hanya lahan pertanian, dampak peristiwa tersebut juga dirasakan oleh para pemilik kolam ikan di wilayah Hargobinangun.

Air bercampur material abu vulkanik masuk ke dalam kolam dan mengendap, sehingga membuat pendangkalan. Selain itu, air kolam juga menjadi keruh.

Dampak tersebut dirasakan oleh pemilik kolam Suryanto (58) warga Sawungan, Hargobinangun, Pakem.

Suryanto menyampaikan memiliki kolam ikan yang diisi ikan hias jenis Koi. Ia mulai memelihara ikan Koi sejak 2015.

Hari-hari biasanya air yang mengalir ke kolam itu bersih. Namun, pada awal Agustus itu airnya keruh dan kental seperti lumpur. Ternyata air bercampur dengan abu vulkanik.

"Mengalir blotong itu sudah beberapa hari," ujarnya.

Air yang bercampur dengan abu vulkanik tersebut masuk ke dalam kolam, sehingga kolamnya menjadi keruh.

"Kemarin jadi ikannya mati karena malamnya itu aliran nya mati, sehingga airnya keruh, alirannya mati. Bangun pagi mau ngasih makan, kok ikannya sudah mengapung mati," sebutnya.

Suryanto mengungkapkan ikan koi miliknya yang mati berjumlah delapan. Usianya bahkan ada yang lima tahun.

"Yang mati delapan. Usianya ada yang lima tahun, ada yang sekitar tiga bulan, lima bulan. Kalau yang gurame dan patin, lebih kuat, masih bisa bertahan," tuturnya.

Menurutnya, jika kejadian aliran air mati pada pagi atau siang hari, masih bisa diisi dengan air sumur untuk menyelamatkan ikan.

Namun karena malam hari, Suryanto mengaku tidak bisa berbuat apa-apa.

"Karena ketahuanya pagi sudah mati ya hanya bisa pasrah saja. Tapi kalau tahu ya saya ganti airnya dari sumur, tapi kan airnya malam matinya, jadi tidak tahu," tegasnya.

Suryanto mengungkapkan masih belum punya rencana untuk mengisi kolamnya lagi. Sebab dia khawatir, peristiwa serupa akan terulang kembali.


Air Swadaya yang Digunakan Warga Sehari-hari terdampak

Dampak air bercampur abu vulkanik, juga dirasakan oleh warga Dusun Sawungan, Desa Hargobinangun, Kecamatan Pakem, Kabupaten Sleman.

Air yang biasanya digunakan untuk keperluan sehari-hari menjadi keruh.

Salah satu warga Dusun Sawungan, Dika Prasetyo (33) mengatakan sekitar tahun 2000 warga memiliki inisiatif untuk membuat tampungan air swadaya.

"Memanfaatkan mata air di Kali Kuning, lalu dibuat bak penampungan untuk kebutuhan warga. Jadi dari bak, air disalurkan melalui pipa ke rumah-rumah warga," ucapnya.

Pembangunan bak dan pipa hasil dari swadaya masyarakat dusun Sawungan.

Air tersebut digunakan oleh warga untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, hingga untuk keperluan perikanan.

"Ya untuk MCK, kalau minum tidak. Terus juga untuk perikanan juga," bebernya.

Menurutnya, pada Agustus 2020, air yang mengalir dari pipa ke rumah warga tidak seperti biasanya. Air berubah jadi putih.

"Warnanya itu berubah putih seperti gamping itu. Sempat tidak mengalir juga selama tiga hari," urainya.

Melihat hal itu, paguyuban pengelola air bersih Dusun Sawungan kemudian mengecek ke sumber mata air.

Ternyata mata airnya juga sudah berubah warna.

"Dicek ternyata dari aliran tambang. Pipanya itu tersumbat endapan blotong karena masuk ke pipa," ungkapnya.

Namun saat ini air sudah kembali mengalir seperti biasa. Air yang ke rumah warga juga tidak lagi berwarna putih.

"Kalau sekarang ini sudah normal kembali," tegasnya.


Air Bercampur Endapan Abu Vulkanik Diduga karena Dampak Pertambangan

Siswiyanto (47), Ketua Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) Desa Hargobinangun, mengatakan air irigasi berubah bercampur abu vulkanik baru pertama kali ini terjadi.

Sebelum-sebelumnya air irigasi selalu bersih.

Diduga, akibat ada aktivitas pertambangan, air yang mengalir di irigasi dan pipa air swadaya masyarakat menjadi bercampur dengan abu vulkanik.

"Itu semenjak ada pertambangan. Mulainya Agustus kemarin," tuturnya.

Air bercampur abu vulkanik yang masuk ke irigasi maupun pipa diduga berasal dari buangan pertambangan pasir.

Air irigasi maupun air swadaya masyarakat menjadi bercampur dengan abu vulkanik.

Bahkan endapannya menyumbat pipa air swadaya masyarakat. Alhasil air ke rumah warga menjadi tidak mengalir.

"Kalau nambang (pasir) itu kan dikopyok, dicuci pakai air, nah buangannya air itu. Padahal air Kali Kuning itu untuk irigasi, tidak hanya untuk Hargobinangun, tapi kan sampai bawah," tegasnya.

Terkait peristiwa tersebut, Gapoktan dan warga masyarakat membuat surat aduan.

Dalam surat itu, warga meminta agar air dikembalikan seperti semula.

"Kita minta air dikembalikan sebelum ada pertambangan, aduan kita langsung, tapi tembusannya ke Muspika, Muspida," urainya.

Tak hanya itu, Gapoktan dan warga juga mengadu kepada anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) sekaligus Ratu Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat, GKR Hemas.

Warga mengadu saat GKR Hemas meninjau langsung dampak pertambangan di Desa Hargobinangun.

Bahkan petani juga menunjukkan saluran irigasi dan area persawahan yang terdampak.

Menurutnya sudah ada perbaikan dari pihak penambang. Air yang mengalir ke irigasi dan pipa swadaya masyarakat sudah tidak keruh lagi.

"Saat ini sudah mulai jernih. Sekarang kita tinggal mengawal saja, agar jangan sampai terulang kembali," tandasnya.

Sementara itu, Pejabat sementara (pjs) Kepala Desa Hargobinangun, Suhardiman, membenarkan pertanian di wilayahnya sempat terdampak air bercampur abu vulkanik yang mengalir ke irigasi.

"Iya benar dan kemarin sudah membuat surat ke manajemen (penambang) sudah dibalas dan aduan dari Gapoktan sudah ditindaklanjuti. Ini sudah selesai dan air sudah bening kembali," tegasnya.

https://regional.kompas.com/read/2020/09/22/16260291/petani-di-sleman-menjerit-sawah-terendam-abu-vulkanik-diduga-akibat-tambang

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke