Salin Artikel

Kisah Pasien Covid-19 yang Alami Happy Hypoxia: Pneumonia Saya Jadi Lebih Berat

Namun, sejumlah peneliti mengatakan happy hypoxia bisa jadi disebabkan virus yang telah merusak jaringan otak, sehingga sensor terhadap sistem tubuh terganggu.

Tri Maharani adalah penyintas Covid-19, yang bertugas sebagai kepala unit gawat darurat di Rumah Sakit Daha Husada, Kediri, Jawa Timur.

Ia terinfeksi virus corona awal Juni lalu. Hari-hari pertama terinfeksi, ia tak mengalami gejala. Tapi setelah pemeriksaan, kadar oksigen dalam darahnya (saturasi) berada di bawah ambang batas normal.

"Kondisinya oke-oke saja, tapi pas dicek saturasi, saturasinya rendah, kemudian di-foto ulang, ternyata pneumonia saya jadi lebih berat lagi," kata kata dokter Tri Maharani kepada BBC News Indonesia, Selasa (8/9/2020).

Dokter khusus penanganan medis darurat ini meyakini, sempat mengalami kondisi happy hypoxia.

"Memang di hari-hari awal itu saya tidak mengalami keluhan sama sekali. Saya baru mengalami keluhan itu lima hari. Setelah dirawat," katanya.

Istilah happy hypoxia baru-baru ini menjadi perbincangan publik. Sebuah gejala hening yang membuat orang yang terinfeksi Covid-19, tanpa sadar tubuhnya mengalami kekurangan oksigen, sehingga dapat menimbulkan hilang kesadaran, koma hingga kematian secara tiba-tiba.

Riset mengenai kondisi pasien Covid-19 dengan happy hypoxia sudah diteliti sejak beberapa bulan lalu.

Di Jawa Tengah, pejabat setempat menyebut rata-rata pasien Covid-19 di sana mengalami gejala Happy Hypoxia.

Namun, juru bicara Satgas Covid-19 Jawa Tengah mengatakan, Happy Hypoxia bukan hanya di Jawa Tengah, tapi dapat terjadi terhadap seluruh pasien Covid-19 di seluruh dunia.

"Tapi karena kerusakan yang ditimbulkan oleh virus ini terhadap alur pemberian sinyal sesak ke otak terblokir, maka otak tidak memberikan respon kepada tubuh untuk melakukan pengambilan oksigen untuk mengatasi itu," kata dokter spesialis paru, Erlina Burhan kepada BBC News Indonesia, Rabu (9/9/2020).

Kadar oksigen normal dalam darah manusia di atas 95%. Saat kadar oksigen berada di bawah 90%, seseorang akan bernapas cepat, dan pada titik 75% bisa kehilangan kesadaran atau pingsan.

"Suatu ketika, tubuh tidak kuat lagi, dan pasien biasanya mengalami penurunan kesadaran, atau kemudian kalau tidak teratasi akan meninggal," lanjut Erlina.

Anggota dewan mengikuti tes usap (swab test) COVID-19 di Gedung DPRD Sidoarjo, Jawa Timur, Rabu.

Sejak kapan temuan happy hypoxia?

Gejala happy hypoxia diperkirakan sudah ditemukan sejak novel coronavirus menjadi wabah di Wuhan, China. Dalam satu artikel di Springer-Verlag GmbH Germany yang dipublikasi awal Maret 2020, dikatakan banyak pasien covid-19 yang berusia lanjut di Wuhan mengalami gagal napas, tapi tanpa disertai tanda-tanda adanya gangguan pernapasan.

Saat itu, istilah yang digunakan adalah silent hypoxemia, yang kemudian berkembang menjadi happy hypoxia.

Di sebut happy, karena pasien tidak mengalami napas tersenggal-senggal, sehingga tetap terus beraktivitas, tanpa mengetahui oksigen dalam darahnya kurang.

"Jadi artinya, pasien bergejala, batuk, atau demam, lemas, tidak enak badan, tapi dia tidak terlihat sesak, masih tetap melakukan aktivitas hari-harinya, masih makan, masih menelpon, masih tersenyum, masih bisa mandi, bisa berjalan, tapi sesungguhnya kondisinya berbahaya karena kadar oksigen itu akan terus (turun)," kata Erlina.

Penelitian ini menguji 16 pasien covid-19 yang memiliki kadar oksigen dalam darah di bawah normal. Kesimpulannya penelitian ini membantu untuk mencegah hal-hal yang tidak dibutuhkan dalam penggunaan intubasi endotrakeal dan ventilasi mekanis bagi pasien Covid-19.

Menurut Erlina, orang tanpa gejala (OTG) tak akan mengalami kondisi happy hypoxia. Dia bilang, kondisi ini baru timbul ketika orang yang terinfeksi covid-19 memiliki gejala pada umumnya, seperti batuk.

"Hypoxia itu terjadi karena kerusakan di paru. Orang OTG tidak ada kerusakan di paru, kalau ada kerusakan di paru, dia tidak masuk kategori OTG. Jadi mesti orang yang mengalami kerusakan di paru artinya bergejala," katanya.

Hal ini juga diamini Kepala Divisi Inveksi Paru Departemen Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi RSSA, Yani Jane Sugiri. Kata dia, seseorang yang mengalami kondisi happy hypoxia, pasti memiliki gejala, yang biasanya dialami tubuh seperti kelelahan dan sakit kepala.

"Bahkan napas pendek, atau mereka kadang-kadang, tidak suka makan. Tapi merasa masih bisa beraktivitas. Sebenarnya, tidak tanpa gejala sama sekali," kata Yani kepada BBC News Indonesia, Rabu (9/9/200).

Bagaimana psikologis pasien covid-19 dengan kondisi happy hypoxia?

Dosen di Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya ini juga mengaku sering menangani pasien Covid-19 dengan kondisi happy hypoxia. Kata dia, kecenderungannya pasien yang mengalami gejala ringan, enggan untuk dirawat.

"Mereka menolak opname, karena takut, ada pemulasaran jenazah covid seperti itu. Mereka pulang dan datang kembali sudah dalam keadaan berat, yang seperti ini juga angka kematiannya cukup besar," kata dokter Yani.

Bagaimana mendeteksi happy hypoxia bagi pasien yang isolasi di rumah?

"Pasien covid yang bergejala tapi tidak di rumah sakit, mungkin di rumah saja, tapi mengalami makin lemah, batuk makin menetap, ini harus hati-hati. Kalau saran saya harus menuju ke rumah sakit," kata Erlina.

Sementara itu, juru bicara Covid-19 Universitas Sebelas Maret (UMS), Jawa Tengah, Tonang Dwi Ardiyanto mengatakan kadar oksigen dalam darah bisa dideteksi dengan alat, pulsasi oksimeter.

Saat ini pulsasi oksimeter banyak diburu dan harganya pun melangit.

Namun, tanpa alat tersebut, kata dia, pasien juga bisa melakukan deteksi tanda-tanda happy hypoxia. Caranya, duduk tegap, dan mengambil napas dalam-dalam sebanyak 2-3 kali.

"Kalau pada orang biasa, tidak ada masalah dengan hypoxia, mestinya tidak masalah. Tapi kalau ada risiko ke arah sana ada timbul batuk. Jadi seperti tersedak-sedak. Itu ada tanda-tandanya mengarah ke hypoxia," kata dokter Tonang.

Namun, bagi dokter Yani, belum ada cara yang objektif untuk mengukur saturasi oksigen selain menggunakan pulsasi oksimeter.

"Karena saat ini kita sebagai klinis, kita harus melihat bukti dengan oksimeter tadi," katanya.
Petugas kesehatan mengantar pasien memasuki ruang layanan Poli COVID di RSUD dr. Iskak, Tulungagung, Jawa Timur, Jumat (7/8/2020).

Namun, Tonang Dwi Ardiyanto mengatakan, happy hypoxia adalah salah satu gejala pasien covid-19 yang sudah mendunia.

"Ya, sebetulnya untuk saat ini bukan hanya Jawa Tengah, ini ya ditemukan di banyak tempat. Sebetulnya, bukan berarti Jawa Tengah istimewa lain dengan yang lain, tidak. Internasional pun melaporkan yang sama," katanya.

Ia menambahkan, sejauh ini happy hypoxia juga tidak melulu ditentukan oleh penyakit penyerta. Hal ini yang masih belum bisa diungkap dan perlu penelitian lebih jauh.

Apakah pemerintah Indonesia mengakui kondisi happy hypoxia?

Kondisi happy hypoxia dianggap sebagai hal baru dari covid-19. Juru bicara satgas penanganan Covid-19, Prof Wiku Bakti Bawono Adisasmito, mengatakan ini merupakan hal yang wajar ditimbulkan dari suatu penyakit.

"Kenapa tidak mengakui, semua dunia juga bisa mengakui, nanti muncul lagi gejala yang lain atau manifestasi yang lain, ya biasa-biasa saja, itu kan manisfestasi penyakit," kata Wiku kepada BBC News Indonesia, Rabu (9/9/2020).

Berapa jumlah orang Indonesia mengalami happy hypoxia?

Pemerintah Indonesia sejauh ini sudah memampang data kategorisasi pasien positif covid-19 berdasarkan gejala-gejalanya.

Jumlahnya berdasarkan komplikasi gejala dari pasien per 9 September 2020, yaitu batuk (70%), riwayat demam (46,5%), demam (38%), sesak napas (34%), lemas (29,5%), pilek (25,7%), sakit tenggorokan (24,7%), sakit kepala (21,7%), mual (18,7%), keram otot (15%), menggigil (8,9%), sakit perut (7,5%) hingga diare (7,1%).

Namun, kondisi happy hypoxia belum terdata.

"Untuk diteliti ke situ masih jauh, karena kan kalau mau diteliti seperti itu harus satu-satu, semuanya diikuti, terus dilihat gejalanya berbeda itu," kata Juru bicara satgas penanganan Covid-19, Wiku Bakti Bawono Adisasmito.

Apa yang bisa dilakukan pemerintah Indonesia dengan happy hypoxia?

"Jadi preventif dan promotif yang harus digembar-gemborkan pada masyarakat untuk melindungi diri," katanya.

"Jadi intinya, kalau kita melindungi diri, menjauhi dari kemungkinan tertular, kita sudah tahu cara penyakit ini menular, apalagi potensi misalnya, tahu-tahu dia hypoxia, caranya jangan sampai tertular, caranya apa ya, protokol kesehatan, sudah"

Hal apa saja yang perlu diperhatikan pemerintah terkait happy hypoxia?

Dokter Tri Maharani yang pernah terinfeksi Covid-19 menilai langkah pencegahan dan promosi yang dilakukan pemerintah harus diutamakan.

Akan tetapi, pasien Covid-19 dengan gejala ringan pun harus berhati-hati dengan adanya kondisi happy hypoxia. Maka dari itu, pasien harus mendapatkan pemeriksaan rinci lewat laboratorium, seperti rontgen paru-paru, ECG, dan memeriksa seluruh fungsi organ tubuh.

"Happy hypoxia ini sesuatu yang warning merah buat kita," katanya.

"Karena selama ini kita ditanyanya, ada keluhan nggak? Padahal keluhan itu sifatnya subjektif, sedangkan pemeriksaan adalah objektif. Nah, ternyata untuk kondisi covid, kita harus melakukan pemeriksaan yang objektif, supaya bisa diukur dan dipertanggungjawabkan, untuk menunjukkan kondisi pasien itu yang sebenarnya."

Di dalam panduan ini, WHO menyebutkan bagi pasien positif Covid-19 yang menjalani isolasi di rumah disarankan untuk dapat mengukur kadar oksigen dalam darah dengan pulsasi oksimeter secara reguler.

"Pulsasi oksimeter dapat mengidentifikasi individu yang membutuhkan evaluasi medis, terapi oksigen atau rawat inap, bahkan sebelum mereka menunjukkan tanda-tanda bahaya klinis atau gejala yang memburuk," kata panduan tersebut.

Rekomendasi WHO ini merujuk pada sebuah penelitian yang melibatkan 1.201 pasien Covid-19 pada 13 - 19 Maret 2020 dengan pengujian kadar oksigen di dalam darah. Data pasien ini dibandingkan dengan pasien non-Covid-19 yang mengalami gangguan pernapasan akut dalam tiga tahun terakhir.

Penelitian menunjukkan, kadar oksigen dalam darah pasien Covid-19, kebanyakan di bawah 90%, atau mengalami hypoxia.

"Pulsasi oksimeter, dapat digunakan sebagai tanda bahaya untuk deteksi dini dari silent hypoxemia pada pasien Covid-19," tulis artikel tersebut.
plasma

Apakah covid-19 juga merusak saraf otak sehingga menimbulkan happy hypoxia?

Namun, sejumlah peneliti meyakini hal ini justru dimulai dari jaringan otak yang sudah dirusak oleh virus, sehingga respon tubuh atas sistem yang abnormal dianggap wajar.

Penelitian mengenai kerusakan jaringan otak yang disebabkan serangan langsung covid-19 terus dikembangkan.

Sebanyak 300 penelitian dari seluruh dunia telah menemukan sebuah prevalensi kelainan saraf pada pasien covid-19. Penelitian ini termasuk dengan gejala ringan, seperti sakit kepala, kehilangan penciuman (anosmia), dan kesemutan (arcoparasthesia), hingga gejala berat seperti aphasia (ketidakmampuan berbicara), stroke, dan kejang-kejang.

Ini adalah manifestasi dari temuan-temuan baru bahwa umumnya virus menyebabkan penyakit pernapasan, juga dapat merusak ginjal, hati, jantung, dan hampir semua sistem organ dalam tubuh.

Kepala Pusat Penelitian Otak, Pasific Health Sciences University, Prof Taruna Ikrar mengakui penelitian yang mendeteksi adanya virus pada jaringan otak.

Ia menganalogikan virus corona adalah anak kunci, dan sel-sel tubuh manusia termasuk pada jaringan otak adalah lubang kuncinya. Sehingga virus sangat leluasa masuk ke seluruh sel jaringan tubuh manusia.

Virus dapat masuk ke jaringan otak melalui sel yang terinfeksi di saluran pernapasan, pencernaan, mata, ginjal hingga ke otak.

"Ketika inflamasi, otak ini butuh waktu untuk recovery, sehingga pada umumnya kalau dia mengalami infeksi, yang berakibat pada infeksi pada sistem saraf kita, itu fatal. Apalagi kalau dia terinfeksi pada bagian batang otak, itu luar biasa mengerikan," kata Taruna Ikrar.

"Semua sistem organ kita terkoneksi, kan penglihatan, pendengaran, termasuk penting pernapasan, jantung, koneksi kayak stop kontak itu dibatang otak. Bayangin kalau dia menyerang batang otak, semua stop kontak yang terkontak ke situ mengalami kegagalan," katanya.

Pada kasus-kasus tertentu di Jepang, misalnya, seorang pasien Covid-19 berusia 24 tahun, ditemukan terkapar sebelum akhirnya dilarikan ke rumah sakit.

Hasil pindai MRI otaknya pasien ini menunjukkan tanda-tanda radang otak yang disebabkan virus.

Kasus lain terdapat di China, ditemukan virus pada cairan cerebrospinal di otak seorang pasien berusia 56 tahun yang menyebabkan radang otak.

Lalu, pada pemeriksaan postmortem pasien Covid-19 di Italia, peneliti menemukan partikel virus di sel endotel yang melapisi pembuluh darah otak.

Sejauh ini, pemeriksaan kesehatan di Indonesia masih menangkap gejala-gejala yang nampak dari pasien Covid-19 seperti batuk, demam, sesak napas, pilek hingga diare.

Namun, penelitian dan pemeriksaan kerusakan jaringan otak akibat virus belum banyak dilakukan dan sulit untuk dideteksi.

https://regional.kompas.com/read/2020/09/16/14450031/kisah-pasien-covid-19-yang-alami-happy-hypoxia--pneumonia-saya-jadi-lebih

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke