Salin Artikel

Belajar di Internet, Pemuda Karawang Sukses Jual Briket Tempurung Kelapa hingga Eropa dan Timur Tengah

Briket organik buatannya itu diekspor ke negara-negara di Eropa dan Timur Tengah.

Empat tahun lalu, Adi memutuskan keluar dari pekerjaannya sebagai relationship officer (RO) di bank.

Ia memberanikan diri berwirausaha.

Setelah beberapa kali menjadi distributor bahan karbon aktif untuk salah satu perusahaan di Karawang, ia memutuskan membuat briket organik dari arang tempurung kelapa.

Menurut Adi, usaha yang dia lakukan hanya bermodalkan kepercayaan.

Belajar di internet

Adi kemudian mengunjungi situs Indotrading. Dalam start up buatan Jakarta Founder Institute ini, Adi menemukan perusahaan Jerman yang mencari briket organik. 

"Saya kemudian memberanikan diri mengajukan produk dan menjualnya," ujar Adi kepada Kompas.com, Rabu (2/9/2020). 

Layaknya milenial pada umumnya, Adi berselancar di internet, mencari tahu cara membuat briket organik berikut membuat mesinnya.

Ia berdiskusi dengan kawan-kawannya yang menjadi mekanik mengenai bagaimana membuat mesin pembuat briket.

Perjalanannya menekuni bisnis itu tak mulus. Beberapa kali produknya ditolak.

Alasannya, karena kualitasnya tak sesuai dengan keinginan konsumen.

Ia hampir saja menyerah. Namun melihat pekerja dan ibu-ibu yang membantunya mengemas briket, Adi tergugah.

Ia bergegas memperbaiki produknya. Perlahan ia membenahi kualitas dan memperbesar kapasitas produksi.

"Saat itu, para mekanik di Rawamerta membantu saya dan membuat mesin secara otodidak. Hasilnya lumayan, jumlah produksi pun bertambah," ungkap Adi.

Setelah empat tahun membuat briket, dalam seminggu Adi dan timnya bisa memproduksi 20 ton briket.

Padahal, saat ia memulai usahanya, Adi hanya mampu membuat 3 kuintal sehari.

Briket buatan pemuda kelahiran Karawang itu berbeda dengan briket buatan China yang beredar di pasaran.

Adi bercerita, briket arang kelapa buatannya tanpa campuran bahan kimia.

Setelah diayak dan ditumbuk dengan mesin, arang dicampur tepung tapioka sebagai bahan perekat dan dipanaskan. Briket kemudian dicetak dan dipotong dadu.

Briket organik tak berbau, tidak terlalu berasap dan ramah debu.

"Saat dibakar dengan api, satu buah briket organik ini bisa tahan satu setengah jam," ucap dia.

Dari Eropa hingga Timur Tengah

Briket organik buatan Adi diminati pasar luar negeri. Salah satunya Jerman yang mempunyai standar tinggi.

Biasanya, menurut Adi, briket yang masuk standar negara itu bakal mudah diterima negara lain.

Alhasil, briket buatan Adi juga diminati pasar Timur Tengah.

Di negara-negara Arab, briket digunakan untuk bahan bakar shisa atau hookah alias rokok Arab.

Sedangkan di Eropa, briket sering digunakan menjadi bahan bakar barbeque.

Omzetnya mencapai sekitar 20.000 dollar AS per bulan atau sekira Rp 292 juta menurut kurs saat ini. 

Pasar briket di Timur Tengah dan Eropa cukup luas.

Sebab, menurut survei, satu keluarga di negara Timur Tengah membutuhkan 4 kilogram briket per hari.

Sementara di Eropa, selain untuk memasak, briket juga dibutuhkan untuk penghangat ruangan.

Selain pasar luar negeri, sejumlah kafe dalam negeri, misalnya di Purwakarta dan Bandung juga memesan briket buatannya.

Ketekunan Adi rupanya kepada berkontribusi ke perekonomian warga sekitar. Ia mempekerjakan 36 pemuda dan puluhan ibu-ibu untuk membuat dan mengemas briket.

Adi menyebut, pandemi Covid-19 tak membuat permintaan briket di pasar internasional menurun. Permintaan justru bertambah seiring imbauan tinggal di rumah selama pandemi.

Hanya saja, kendalanya kekurangan bahan baku. Setelah pandemi, komoditas kelapa lebih banyak diekspor mentah, tanpa diolah.

Akibatnya, batok kelapa sebagai bahan baku briket langka.

"Bahan susah, paling ada 1 sampai 10 ton," ujar Adi.

Adi pun berharap pemerintah lebih jeli soal kebijakan ekspor bahan mentah, khususnya kelapa bulat.

Sebab, sejumlah negara seperti China, Malaysia dan Vietnam mulai membeli banyak bahan baku kelapa.

Padahal, Indonesia merupakan negara penghasil kelapa terbesar di dunia. 

Namun, akhir-akhir ini berhembus isu soal kelangkaan kelapa karena diserbu eksportir.

Menurut Adi, usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) lokal yang memproduksi produk turunan kelapa seperti briket sempat kesulitan bahan baku. 

Akibat kelangkaan itu, harga arang tempurung kelapa pun naik menjadi Rp 7.000 per kilogram. Padahal, beberapa bulan lalu harganya Rp 6.000 per kilogram. Akibatnya, produksi briket pun menurun.

"Kalau normal seminggu bisa 20 ton briket, sekarang 10 ton," ucap Adi.

https://regional.kompas.com/read/2020/09/02/13474561/belajar-di-internet-pemuda-karawang-sukses-jual-briket-tempurung-kelapa

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke