Salin Artikel

6 Penambang Timah Tewas, Pemerintah dan Pengusaha Dinilai Melanggar HAM

Baru-baru ini, enam pekerja tambang di Desa Lubuk Besar, Kabupaten Bangka Tengah, tewas tertimbun longsoran.

Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Kepulauan Bangka Belitung menilai, korporasi tambang, baik Badan Usaha Milik Negara (BUMN) maupun swasta harus bertanggung jawab atas kasus ini.

"Kerusakan lingkungan dan kematian akibat kecelakaan tambang ibarat dua sisi mata uang. Di balik semua itu, ada soal pelanggaran HAM yang tidak pernah terungkap dari rantai bisnis tambang timah dari hulu sampai hilir," kata Direktur Eksekutif Walhi Jessix Amundian dalam keterangan tertulis, Senin (31/8/2020).

Dalam catatan Walhi Babel, sejak Januari hingga Agustus 2020, sebanyak 16 orang meninggal karena kecelakaan di tambang timah.

Kemudian, dari 16 orang tersebut, 1 di antaranya masih berstatus anak-anak.

Menurut Jessix, jika melihat tiga tahun ke belakang dari 2017-2019, maka terdapat 40 korban kecelakaan tambang yang meninggal dunia.

"Terus berulangnya peristiwa laka tambang di Babel menunjukkan betapa buruknya tata kelola pertimahan di kepulauan bagian timur Sumatera ini," ujar Jessix.

Walhi menyayangkan, karena fakta tersebut hanya dianggap seperti angin lalu.

Lemahnya pengawasan tanpa adanya audit lingkungan dan moratorium tambang dinilai semakin memperburuk tata kelola sumber daya alam tambang timah di Babel.

Korporasi tambang yang terlibat menampung, memanfaatkan, melakukan pengolahan atau pemurnian, serta menjual pasir timah yang bukan dari wilayah IUP mutlak diminta pertanggungjawaban.

"Negara harus hadir membawa timbangan keadilan itu untuk memastikan keberlanjutan lingkungan hidup dan keselamatan masyarakat di Bangka Belitung, untuk generasi sekarang dan mendatang," kata Jessix.

Berdasarkan catatan kompilasi Walhi Babel, terdapat 611 izin usaha skala besar yang menguasai lebih kurang 1.261.316,41 hektar dari luas 1.642.423 hektar wilayah daratan Provinsi Kepulauan Babel.

Dari total luas 1.261.316,41 hektar izin usaha skala besar tersebut, lebih kurang seluas 862.299,81 hektar atau 68,37 persen dikuasai oleh IUP korporasi pertambangan.

Luasnya penguasaan ruang oleh korporasi tambang ini tidak sebanding dengan pemulihan kerusakan lingkungan hidup berupa kewajiban reklamasi pasca tambang.

Menurut Walhi, selama ini tata kelola pertimahan hanya dinilai dari cara pandang perhitungan ekonomi semata, tanpa mempertimbangkan secara adil lanskap keberlanjutan fungsi ekologis dan keselamatan masyarakat.

Di sisi lain, Babel telah kehilangan lahan produktif seluas 320.760 hektar dalam waktu 10 tahun. Akibatnya, fungsi ekologis terus terganggu dan terancam keberlanjutannya.

Babel dinilai rentan dengan bencana seperti banjir, kekeringan dan angin puting beliung sebagai akibat dari rusaknya kawasan hutan dan daerah aliran sungai yang merupakan wilayah resapan air dan sumber mata air tanah.

Diberitakan sebelumnya, enam penambang timah tewas pada Sabtu (29/8/2020), saat menggali timah di kedalaman 12 meter di kawasan Lubuk, Bangka Tengah.

Seluruh jasad korban ditemukan setelah tim gabungan mengerahkan alat berat dan melakukan upaya pencarian hingga Minggu (30/8/2020) dini hari.

https://regional.kompas.com/read/2020/08/31/09255611/6-penambang-timah-tewas-pemerintah-dan-pengusaha-dinilai-melanggar-ham

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke