Salin Artikel

"Saya Bilang ke Dokter Mau Melahirkan, Sakit Keluar Darah, Dia Bilang Tunggu Rapid Test"

Bayi wanita asal Lingkungan Pajang, Kelurahan Pejanggik, Kota Mataram, meninggal dunia dalam kandungan, 

Arianti telah berupaya dan memohon agar segera ditangani tim medis di Rumah Sakit Angkatan Darat (RSAD) Wira Bhakti Mataram.

Namun, petugas rumah sakit justru memintanya untuk terlebih dulu melakukan rapid test.

Saat itu ketuban Arianti telah pecah dan banyak mengeluarkan darah. Sementara fasilitas rapid test di RSAD tidak tersedia.

Arianti menceritakan, pada Selasa pagi dia sudah merasakan sakit di perut. Keluar banyak cairan disertai darah.

Dia menduga ketubannya pecah dan akan melahirkan.

Bersama suami dan ibunya, mereka memilih mendatangi RSAD Mataram karena putri pertama lahir di sana.

Sampai rumah sakit perutnya makin sakit dan meminta petugas jaga di RSAD agar segera menanganinya.

"Saya juga lapor kalau ketuban saya pecah dan ada banyak darah, " katanya.

Namun, petugas justru memintanya melakukan rapid test di luar rumah sakit karena tidak ada fasilitas rapid test di RSAD.

"Mereka bilang tidak ada fasilitas rapid test, tapi tidak menyarankan saya rapid test di laboratorium karena akan lama keluar hasilnya. Mereka minta saya ke puskesmas terdekat dengan tempat tinggal saya. Padahal saya sudah memohon agar dilihat kondisi kandungan saya, bukaan berapa menuju proses kelahiran, mereka tidak mau. Katanya harus ada hasil rapid test dulu," ujar Arianti.

Dia menyayangkan sikap petugas yang sama sekali tak bersedia memeriksanya.

Jika alasannya khawatir dengan Covid-19, para petugas telah mengenakan APD lengkap, dan dirinya sama sekali tak ada gejala sakit seperti ciri-ciri penderita Covid-19.

Akhirnya Arianti dibawa suami dan ibunya ke Puskesmas Pagesangan untuk melakukan rapid test.

Di puskesmas itu Arianti sempat masuk ke ruang bersalin puskesmas dan memohon agar diperiksa kondisi kandungannya dan menjelaskan telah ada cairan yang keluar serta darah.

Namun, petugas memintanya sabar dan harus melakukan rapid test dulu. Dia juga diminta ikut antrean dalam kondisi yang sangat lemah.

Setelah suami Arianti protes, petugas akhirnya mengizikannya wanita itu untuk daftar lebih dulu tanpa ikut dalam antrean penanganan rapid test. Mereka diminta menunggu 30 menit untuk hasilnya.

Arianti sempat meminta tolong je dokter di ruang bersalin puskesmas agar bisa melihat kondisi kandungannya karena merasakan kesakitan.

"Saya bilang waktu itu, 'dokter bisa tidak minta tolong, bisa tidak saya diperiksa, kira kira sudah bukaan berapa, apakah saya akan melahirkan soalnya sakit', saya bilang begitu. Dokternya tanya tadi sudah keluar air dan darah, dia bilang 'belum waktunya' tanpa memeriksa saya. Saya diminta tunggu hasil rapid test dulu " kata Arianti.

Meskipun sudah memohon, tim medis di puskesmas tidak bersedia menangani karena belum hasil rapid test belum keluar.

Karena tidak tahan, Arianti meminta ibunya menunggu hasil rapid test di Puskesmas Pagesangan dan dia pulang mengganti pembalut.

Namun, saat hendak minta surat rujukan agar ditangani di RSAD, petugas puskesmas tidak bisa mengeluarkannya karena yang bersangkutan pulang untuk mengganti pembalut.

Keluarga akhirnya membawa Arianti ke Rumah Sakit Permata Hati dengan berbekal surat rapid test dari puskesmas.

Sampai di Permata Hati, rapid test dari puskesmas tidak diakui karena tidak ada stik rapid tesnya. Akhirnya rapid test kembali dilakukan di Permata Hati.

Penanganan dilakukan, Arianti mengikuti pemeriksaan detak jantung bayi. Awalnya disebutkan detak jantungnya lemah, dan belakangan kembali normal.

Dia lega dan menyiapkan diri menjalani persalinan dengan operasi caesar.

Namun, ternyata setelah dilahirkan, bayinya meninggal dunia.

Dokter tidak langsung memberitahu Arianti soal bayinya. Setelah operasi, bayi Arianti dimasukkan terlebih dulu ke dalam inkubator.

Setelah itu dokter baru menjelaskan bahwa bayi Arianti sudah meninggal tujuh hari yang lalu semasa di dalam kandungan.

Namun, Arianti dan keluarganya tak bisa menerima keterangan dokter.

"Kalau memang meninggal tujuh hari lalu, kan akan berbahaya bagi ibunya, anak saya, akan ada pembusukan. Tapi ini tidak demikian, bayi itu sama sekali tak berbau busuk, masih segar seperti layaknya bayi baru lahir. Diagnosis dokter inilah yang kami pertanyakan," kata Ketut Mahajaya, ayah kandung Arianti.

Kepala RSAD Wira Bhakti Kota Mataram, Yudi Akbar Manurung mengatakan, pihaknya tidak bisa memberi penjelasan secara detail, karena harus berkoordinasi dengan Dinas Kesehatan Provinsi NTB.

"Dinas Kesehatan NTB sebenarnya yang paling tepat menjelaskan terkait masalah ini. Memang awalnya pasien ini ke RSAD, kemudian ke puskesmas kemudian penatalaksanaannya atau persalinannya di Rumah Sakit Permata Hati. Pasien sempat menjelaskan ada cairan yang keluar, masih pada tahap konsultasi belum melakukan pemeriksaan," kata Manurung yang dikonfirmasi Kompas.com melalui telepon, Kamis (20/8/2020).

Terkait rapid test yang dipersoalkan Arianti, dikatakannya bahwa tes tersebut dilakukan untuk mereka yang akan rawat inap, bukan pasien yang hanya diperiksa.

"Petugas kami menjelaskan, karena yang bersangkutan pasien umum, rapid testnya berbayar. Tapi kalau yang gratis di puskesmas dan RSUD Kota Mataram, kita sampaikan begitu dan tidak ada masalah. Akhirnya dia ke puskesmas, dari puskesmas kemudian memilih ke Rumah Sakit Permata Hati," jelasnya.

Kepala Dinas Kesehatan NTB, Eka Nurhandini di ruang kerjanya mengatakan, rapid test  bagi ibu yang akan melahirkan memang harus dilakukan sebagai upaya antisipasi penyebaran dan penularan Covid-19.

Hal itu juga diperlukan guna menentukan ruangan untuk ibu melahirkan serta agar petugas menggunakan APD.

Jika hasil rapid test ibu yang akan melahirkan reaktif, maka harus masuk ke ruang isolasi.

"Kenapa diminta periksa di awal, karena persiapan dan kesiapan untuk proses kelahiran itu lebih prepare. Jika reaktif, ibu dan anak akan masuk ruang isolasi. Petugas juga begitu akan mengunakan APD dengan level yang tinggi untuk perlindungan bagi petugas," kata Eka.

Hal tersebut berdasarkan kebijakan dalam surat edaran yang dikeluarkan Satgas Covid. (Kontributor Kompas TV Mataram, Fitri Rachmawati | Editor Dheri Agriesta)

https://regional.kompas.com/read/2020/08/21/16535171/saya-bilang-ke-dokter-mau-melahirkan-sakit-keluar-darah-dia-bilang-tunggu

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke