Salin Artikel

Mengungkap "Jalur Sutra" dan Bisnis Gelap Burung Kicau di Sumatera

Tubuhnya menegak dengan tangan bertopang di pinggang, menampilkan wibawa seorang raja di hadapan pengawalnya.

“Pengawal! Cepat tangkap burung-burung itu, lalu masukkan ke dalam sangkar emas yang telah aku sediakan!" kata Iin dengan nada berteriak.

Iin berganti peran menjadi pengawal kerajaan. Tubuhnya agak membungkuk, telapak tangan bertangkup di depan dada dengan suara terbata.

“I... i... i... iya, ham...ba... Paduka Raja,” ujar Iin.

Begitu adegan pembuka dongeng berjudul "Sangkar Emas" yang dibawakan Iin dan Komunitas Dongeng Dakocan saat melakukan dongeng keliling ke sejumlah taman kanak-kanak dan PAUD di Bandar Lampung.

“Dongeng ini asli cerita rakyat Lampung, tapi saya modifikasi, karena muatan nilai pada dongeng aslinya tidak sesuai untuk anak-anak,” kata Iin saat ditemui, Kamis (13/8/2020).

Versi asli dongeng Sangkar Emas ini adalah sekawanan burung mencuri sangkar emas milik kerajaan dan dibawa ke dalam hutan.

Namun, dalam dongeng Sangkar Emas gubahan Iin, naskah dirombak agar lebih masuk akal, sekaligus menanamkan nilai kecintaan pada ekosistem, alam dan lingkungan.

“Garis besarnya, pada naskah versi saya adalah untuk memberikan pemahaman dan pembelajaran moral bagi anak-anak, kepada anak-anak, untuk mencintai lingkungan dan alam sekitar,” kata Iin.

Pemahaman nilai dalam narasi dongeng Sangkar Emas itu masuk dalam adegan ketika para pengawal menangkapi burung-burung liar di kawasan hutan untuk memenuhi hasrat sang raja.

Burung-burung itu lalu dimasukkan ke dalam sangkar milik kerajaan.

Namun, sejak saat itu burung-burung tersebut tidak satu pun yang berkicau. Pada akhirnya, sang raja melepaskan burung-burung itu kembali ke hutan.

“Secara tidak langsung, dongeng ini mengajarkan bahwa burung itu hidupnya ya di alam bebas, bukan di dalam sangkar,” kata Iin.


Data dan fakta

Lampung menjadi salah satu jalur penyelundupan satwa liar dari Pulau Sumatera menuju melalui Pulau Jawa.

Dari pengungkapan sejumlah kasus, sebagian besar satwa liar yang diselundupkan adalah burung kicau, baik itu dari kawasan konservasi maupun burung yang tanpa dokumen resmi.

Penyelundupan burung kicau di Bakauheni semakin marak.

Dongeng Sangkar Emas tersebut memberikan gambaran, bagaimana manusia melihat burung, khususnya burung kicau liar sebagai sarana pemuasan ego.

Hal ini yang menjadi dasar Iin dan Komunitas Dongeng Dakocan membuat sejumlah naskah dongeng tentang kecintaan kepada alam dan lingkungan.

“Kicauan burung yang paling merdu ya burung di alam bebas, bukan di dalam sangkar. Ikan yang paling indah ya yang berenang di laut, di terumbu karang,” kata Iin.

Menurut laporan polisi, usaha penyelundupan burung kicau untuk memenuhi kebutuhan pehobi semakin masif.

Penyelundupan ratusan ribu burung asal Sumatera berhasil digagalkan di Pelabuhan Bakauheni, Lampung Selatan.

Kepala Kepolisian Sektor Kawasan Pelabuhan (KSKP) Bakauheni AKP Ferdiansyah mengatakan, penyulundupan burung kicau memang semakin marak belakangan ini.

“Banyak sekali. Dalam sekali kirim, bisa ratusan sampai ribuan,” kata Ferdiansyah.

Kebanyakan adalah burung kicau yang tanpa disertakan dokumen resmi.

Usaha penyelundupan itu menggunakan sejumlah moda transportasi, mulai dari bus, kendaraan pribadi, hingga truk atau mobil pengangkut logistik.

“Prosedur biasa, pemeriksaan rutin. Begitu kami dapati ada usaha penyelundupan burung atau satwa, kami koordinasi dengan Balai Karantina,” kata Ferdiansyah.

Ferdiansyah mencatat, para penyelundup ini biasanya masuk di Pelabuhan Bakauheni menjelang malam.

Kepala Balai Karantina Pertanian Lampung, Muh Jumadh mengatakan hal senada. Usaha penyelundupan burung di Pelabuhan Bakauheni begitu marak.

Dalam catatan Balai Karantina Pertanian Lampung, dalam dua bulan terakhir saja sudah ada delapan kali usaha penyelundupan burung dari Sumatera menuju Jawa.

“Burung yang diselamatkan lebih dari 10.000 ekor berbagai spesies,” kata Muh Jumadh.

Sebanyak 1.700 ekor burung kicau berbagai jenis akan diselundupkan menggunakan kendaraan pribadi. Ribuan burung itu dijejal di dalam 64 boks.

Data mengejutkan diungkapkan organisasi non-pemerintah, Flight Protecting Indonesia’s Birds (Flight).

Selama kurun waktu 2019 hingga Juli 2020, setidaknya 80.000 ekor burung yang akan diselundupkan.

“Hampir sebagian besar adalah burung kicau,” kata Direktur Eksekutif Flight Marison Guciano saat pemantauan burung yang dilepasliarkan di Taman Hutan Rakyat Wan Abdurrahman (Tahura WAR), Pesawaran.

Marison mengungkapkan, usaha penyelundupan burung kicau ini setiap tahun makin meningkat. Burung-burung yang diselundupkan adalah satwa dari Sumatera dengan tujuan sejumlah lokasi di Pulau Jawa.

Berdasarkan data Flight, pada tahun 2019 sebanyak 39.742 ekor burung kicau berhasil diselamatkan.

Jumlah burung yang diselundupkan ini bertambah lebih dari 100 persen pada semester pertama tahun 2020, yakni 49.034 ekor pada Januari – Juli.

Jenis burung kicau yang banyak ditemukan dalam penyelundupan itu yakni, poksai hitam (Black laughingthrush), cica daun sayap biru (Blue winged Leafbird), ekek layongan (Common green magpie), poksay mantel (Sunda laughingthrush garrulax palliatus), sikatan melayu (Cyornis turcosus), tempua (Ploceus philippinus), hingga kacer.

Sedangkan jenis burung yang dilindungi yang berhasil diselamatkan di antaranya, tangkar ongklet (Platylophus galericulatus), dan serindit melayu (Loriculus galgulus).

Jalur sutra di Sumatera

Pelabuhan Bakauheni di Lampung Selatan diakui menjadi jalur ‘terseksi’ atau bisa dikatakan sebagai ‘jalan sutra’ usaha penyelundupan burung liar dari Sumatera ke Jawa.

“Sumatera ini yang paling dekat dengan pasar burung terbesar, yakni Jawa. Dalam perhitungan kami, paling tidak sekitar 14 juta ekor burung per tahun diambil dari alam liar untuk memenuhi kebutuhan dari pasar burung,” kata Marison.

Jalur penyelundupan burung kicau ini membentang dari Aceh hingga Lampung dengan beberapa lokasi yang menjadi tempat transit seperti di Medan, Pekan Baru, Jambi, Lubuk Linggau, dan Bandar Lampung.

“Biasanya transit dulu, agar burung yang diselundupkan itu segar lagi,” kata Marison.


Marison menyebutkan, ada tiga jalur keluar dari Sumatera bagi para penyelundup burung.

Jalan Lintas Sumatera (Jalinsum) dengan pintu keluar di Pelabuhan Bakauheni ini menjadi jalur yang paling banyak ditemukan usaha penyelundupan burung.

“Pelabuhan Bakauheni ini merupakan jalur terseksi, jalur terbesar penyelundupan burung liar, spesialisnya burung kicau,” kata Marison.

Modus penyelundupan tersebut menggunakan bus, kendaraan pribadi, angkutan travel, hingga truk barang.

“Ada juga ditemukan truk yang membawa buah atau sayuran di dalamnya diselipkan boks-boks berisi burung,” kata Marison.

Dua jalur keluar lainnya yakni Bangka Belitung dan Bandara Kuala Namu untuk penyelundupan burung kicau dari Sumatera Utara, Aceh dan Riau.

Memotong suplai burung

Marison mengatakan, penggagalan usaha penyelundupan di sejumlah titik, termasuk di Pelabuhan Bakauheni adalah cara terbaik saat ini yang bisa dilakukan.

Hal tersebut untuk memotong suplai atas permintaan pasar di Jawa. Distribusi dari pedangang atau pengepul burung liar ilegal dari Sumatera diintervensi di tengah-tengah, yakni di Pelabuhan Bakauheni.

“Jika sudah sampai di pasar, tidak akan bisa disita. Jadi, jalan terbaik ya dipotong suplainya,” kata Marison.

Selain itu, burung-burung yang berhasil diselamatkan dari penyelundupan di Pelabuhan Bakauheni itu masih bersifat liar, karena baru sekitar 2 – 3 hari diambil dari alam.

“Masih liar, jadi bisa dilepaskan langsung. Tapi jika sudah sampai di pasar, biasanya sudah lama itu, bisa berminggu-minggu, harus direhabilitasi dahulu,” kata Marison.

Pemotongan suplai dengan menggagalkan penyelundupan ini juga didukung dengan disiapkannya enam ekor anjing pelacak (K9) yang khusus mengendus burung dan satwa liar lainnya di Pelabuhan Bakauheni.

Anjing penyelamat

Anjing pelacak ini milik Wildlife Kalianda, instalasi K9 yang dikembangkan Sumatera Wildlife Conservation (SWC), Jakarta Animal Aid Network (JAAN), dan Wildlife Conservation Society (WCS) di Lampung Selatan.

Pendiri JAAN, Femke Den Haas mengatakan, untuk saat ini anjing pelacak itu adalah ‘alat’ tercanggih yang mampu mendeteksi burung maupun satwa liar yang hendak diselundupkan.

“Bisa dibilang sebagai ‘alat’ tercanggih, karena khusus untuk mendeteksi satwa liar,” kata Femke.

Femke mengatakan, tingkat akurasi pendeteksian K9 khusus satwa liar itu hampir 100 persen.

Misalnya, dari sepuluh sampel yang diendus, sembilan sampel terbukti.

Hidung anjing tersebut telah memberikan kontribusi dalam menggagalkan penyelundupan di Pelabuhan Bakauheni.

Tidak hanya jenis primata saja, melainkan juga bayi beruang, bayi orangutan, bayi owa, kukang, reptil, burung dan banyak spesies satwa liar lainnya.

“Tingkat kejahatan penyelundupan satwa liar ini hampir sama dengan narkotika atau lainnya. Jadi sangat penting (K9) itu untuk mendeteksi,” kata Femke.

Melawan anggapan dan hobi

Meski perburuan dan penyelundupan burung kicau liar kian marak, Flight menilai hal tersebut masih belum menjadi perhatian dan fokus dari sejumlah pihak terkait.

Hal ini tidak lepas dari tradisi dan gaya hidup yang tren sekarang, yakni memelihara burung di dalam sangkar.

“Trennya makin meningkat. Jika dulu memelihara burung dalam sangkar adalah penunjuk status sosial, sekarang sudah bergeser ke arah kompetisi, ada hadiahnya,” kata Marison Guciano.

Marison menyebut, nilai ekonomis dari bisnis burung kicau ini mencapai triliunan rupiah per tahun.

Namun, nilai itu jauh lebih kecil dibanding kerugian ekologi pada alam dan lingkungan.

“Punahnya satu jenis burung bisa menyebabkan punahnya tumbuhan yang penyebarannya tergantung pada burung ini. Hama, serangga tanaman, padi, kehilangan predator alaminya,” kata Marison.

Akademisi dari Universitas Lampung (Unila) Bainah Sari Dewi mengatakan, kerusakan ekosistem akibat perburuan burung liar ini saling berkaitan.

Bainah yang rutin meneliti burung liar di Lampung ini mengatakan, burung membutuhkan habitat untuk hidup tumbuh berkembang.

Pada Februari – Maret 2020, Bainah melakukan penelitian bersama M Iza Fayogi dan Prof Sugeng P Harianto di desa yang berbatasan dengan Taman Nasional Way Kambas (TNWK) yaitu desa Braja Harjosari, Lampung Timur.

Dari penelitian ditemukan 14 jenis burung dengan total 2.144 individu burung dengan tujuh famili dengan indeks keanekaragaman 2,39, yang artinya keanekaragaman tingkat sedang.

“Dampak secara langsung akibat penangkapan satwa adalah rusaknya ekosistem. Apabila dilakukan dengan membakar habitat, maka habitat akan rusak dan satwa liar dapat mati atau punah,” kata Bainah.

https://regional.kompas.com/read/2020/08/21/10595641/mengungkap-jalur-sutra-dan-bisnis-gelap-burung-kicau-di-sumatera

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke