Salin Artikel

Markas Tentara Indonesia pada Masa Perjuangan Kemerdekaan Terancam Proyek Tol

Bangunan ini dahulu merupakan bekas markas tentara Indonesia yang pernah dibakar oleh pasukan Belanda pada masa perjuangan kemerdekaan.

Ndalem Mijosastran berbentuk limasan yang terbuat dari kayu jati. Bagian depannya tertutup anyaman bambu.

Letaknya berada di tengah-tengah perkampungan.

Halaman di depan bangunan tampak luas dan terdapat pagar dari batu bata yang di cat putih.

Di dinding sebelah barat pintu masuk, terpasang spanduk bertuliskan "Cagar Budaya Rumah Tradisional Limasan Ndalem Mijosastran".

Terdapat pula tulisan yang menyebutkan Ndalem Mijosastro merupakan bangunan cagar budaya melalui SK Bupati Sleman No: 14.7/Kep.KDH/A/2017. Surat Keputusan Bupati Sleman ini tertanggal 6 Februari 2017.

Tak hanya itu, di spanduk juga tertulis pada 1 Desember 2015, ahli waris mendapatkan piagam penghargaan dari Gubernur DIY No. 136/PG/2015 sebagai pelestari warisan budaya.

"Dibangun oleh Eyang Mangun Dimejo. Waktu itu Beliau menjabat sebagai perabot atau lurah di Kelurahan Pundong Lama," ujar Widagdo Marjoyo, anak kedua almarhum Mijosastro yang merupakan pemilik Ndalem Mijosastran, saat ditemui di lokasi, Senin (10/08/2020).

Selain menjadi markas, rumah berbentuk limasan ini juga sebagai tempat untuk menyimpan logistik untuk tentara Indonesia.

Belanda saat itu bermarkas di Cebongan, Sleman, mengetahui Ndalem Mijosastran dijadikan markas oleh tentara Indonesia. Alhasil, Belanda membakar rumah tersebut.

"Rumah ini dulu dibakar Belanda, logistik yang disimpan juga hangus terbakar, seperangkat gamelan juga. Hanya menyisakan sebagaian kecil rumah dibelakang itu yang tidak terbakar," beber Widagdo.


Pada 22 Oktober 1959, secara perlahan-lahan, Mijosastro kembali rumah yang dibakar oleh Belanda.

Mijosastro pernah menjadi anggota Tentara Indonesia pada masa perjuangan. Dia juga pernah ditangkap oleh pasukan Belanda dan dipenjara.

"Bapak pernah ditangkap Belanda dan di penjara di Kota sana, di penjara sekitar tiga bulan. Terdaftar juga sebagai anggota Veteran Republik Indonesia" tegasnya.

Dijelaskanya bantuk bangunan yang telah ditetapkan sebagai cagar budaya ini Limasan dengan empat sirah, terdiri dari rumah pokok, gandhok, pringgitan serta dapur, sumur dan kamar mandi.

"Tanah lebar 31 meter, panjang 64 meter. Bangunan lebar 26 meter dan panjang 34 meter," urainya.

Terancam Pembangunan Jalan Tol Yogyakarta-Bawen

Sembari duduk dilantai, mata Widagdo Marjoyo tampak menatap jauh.

Pria berusia 66 tahun ini teringat pesan orang tuanya agar menjaga rumah limasan Ndalem Mijosastran.

Sebab rumah tersebut memiliki nilai sejarah dalam perjuangan kemerdekaan.

"Pesan agar jangan sampai punah, tetap berdiri. Keluarga sebetulnya ingin sekali melestarikan bangunan Cagar Budaya Ndalem Mijosastran ini," bebernya.

Selama ini, bangunan cagar budaya ini juga bermanfaat bagi masyarakat.

Halamanya yang luas menjadi tempat yang asyik bagi anak-anak untuk bermain.

"Untuk kegiatan gelar budaya, kemudian TPA, kegiatan sosial. Saat gempa 2006 dulu ada warga yang ikut numpang tinggal di sini," urainya.

Ndalem Mijosastran juga pernah menjadi kantor desa.

"Kebetulan ayah saya Mijosastro menjabat lurah desa mulai tahun 1946 sampai meninggal dunia tahun 1975," ungkapnya.


Setelah mendengar bangunan Ndalem Mijosastran terancam terkena pembangunan Jalan Tol Yogyakarta -Bawen, Widagdo langsung melapor ke Dinas Kebudayaan Kabupaten Sleman.

Dia juga mendatangi Dinas Pertanahan dan Tata Ruang DIY.

"Keluarga sangat keberatan jika Ndalem Mijosastran terkena jalur tol, karena di situ sudah jelas. Di dalam undang-undang Nomor 11 tahun 2010 disebutkan pemerintah wajib menghentikan apabila ada salah satu proyek yang mengenai situs cagar budaya, di situ juga ada sanksi-sanksi hukumnya," urainya.

Widagdo tidak menolak proyek strategis nasional jalan tol. Namun jangan sampai pembangunan tersebut lantas tidak memikirkan pelestarian bangunan cagar budaya yang memiliki nilai sejarah.

"Ini proyek strategis nasional, mau bagaimana lagi, ya terserah pemerintah. tapi saya sangat berharap ini bisa terselamatkan, sangat disayangkan kalau cagar budaya ini kena karena ada nilai historis, nilai seni," tegasnya.

Menurutnya, keluarga sudah menggelar rapat. Meski diakuinya berat, tapi keluarga menyerahkan segala keputusan ke pemerintah.

"Saya punya permintaan, permohonan untuk tetap dilestarikan artinya jangan sampai punah, ya entah nanti bagaimana caranya," pintanya.

Sementara itu, PPK Pelaksana Pembangunan Jalan Tol Yogya-Bawen, Heru Budi, mengatakan terkait cagar budaya Ndalem Mijosatran tetap akan dilestarikan.

Nantinya bangunan akan digeser dan tetap menjadi bangunan cagar budaya.

"Pada intinya bangunan cagar budaya akan digeser, nanti pembayaran seperti biasa, dia membeli tanah di sebelahnya dan akan dipindah di sekitar situ dan tetap menjadi bangunan cagar budaya," tuturnya.

Menurutnya bangunan Ndalem Mijosastran sangat memungkinkan untuk digeser. Sebab bangunanya terbuat dari kayu dan sistem konstruksinya knock down.

"Kemarin pada waktu sosialisasi pemiliknya sudah mengiyakan boleh dipindah tetapi tetap jadi cagar budaya," sebut Heru.

https://regional.kompas.com/read/2020/08/10/21185831/markas-tentara-indonesia-pada-masa-perjuangan-kemerdekaan-terancam-proyek

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke