Salin Artikel

Demi Hidupi Anak dan Cucu di Kampung, Mak Romlah Rela Jadi Penjual Gorengan di Semarang

Nampak kerutan dan rasa lelah tergambar di wajahnya.

Mak Romlah nama nenek berbaju merah itu.

Meski siang itu panas di Kota Semarang sangat menyengat, tapi nenek asal Desa Rambeanak, Kabupaten Magelang, ini tetap bersemangat menjajakan dagangannya.

Tangannya yang cekatan membungkus satu persatu aneka gorengan dan beberapa pisang rebus yang sudah hampir habis.

Sudah 23 tahun nenek dua cucu ini menjual aneka gorengan dan singkong rebus jalan kaki keliling perkampungan di daerah Semarang Tengah hingga Semarang Selatan.

Setiap hari, dia hanya mengantongi uang rata-rata sekitar Rp 20 ribu untuk membiayai kehidupannya sehari-hari, termasuk membayar rumah kontrakannya di Kampung Magersari.

Dalam usia 55 tahun, Mak Romlah juga masih harus menanggung hidup satu anaknya dan dua cucunya yang hidup di kampung.

Anak laki-lakinya itu hanya berjualan cilok dan istrinya berjualan pecel sehingga tidak cukup memenuhi kehidupan sehari-hari.

"Jual gorengan untungnya enggak banyak. Kalau lagi sepi pernah dapat untung cuma Rp 15.000 untuk makan masih kurang. Kalau lagi rame bisa dapat Rp 40.000 dikumpulin buat makan sehari-hari dan buat hidup anak dan dua cucu saya di Magelang. Juga buat bayar rumah kontrakan di Semarang," ungkapnya kepada Kompas.com, Selasa (4/8/2020).


Mak Romlah yang ditinggal pergi suaminya saat dirinya hamil ini mengenang kisahnya sebelum dirinya berjualan gorengan di Semarang.

Sewaktu masih remaja, dia pernah menjalani pekerjaan di Jakarta sebagai pembantu rumah tangga.

"Saat itu masih hamil ditinggal suami pergi. Kerja di Jakarta jadi pembantu rumah tangga, pernah jaga toko, jaga orang tua sakit. Waktu melahirkan pulang ke kampung. Lalu mulai kerja lagi. Saya kerja apa saja mau karena orang enggak punya. Pernah kerja di Serang, Banten, Malang, Kalimantan dan sekarang di Semarang. Waktu itu uangnya dikumpulin buat bantu orangtua karena hidupnya juga kekurangan," ungkapnya.

Mak Romlah yang hanya lulus sekolah dasar ini bercerita kedua orangtuanya meninggal dunia setelah ada peristiwa meletusnya Gunung Merapi pada 2010.

Belum lagi, saat mendengar kabar suaminya yang meninggal dunia karena tenggelam saat bekerja sebagai ABK di kapal.

Meski sudah berpisah dengan suaminya itu, tapi hati Mak Romlah merasa teriris takala mengetahui kabar duka tersebut.

"Setelah berpisah suami sempat menikah lagi. Dia bekerja di sebuah kapal sebagai kuli angkut barang, tapi meninggal dunia karena tenggelam," ceritanya sambil menahan haru.

Di tengah kondisinya yang serba kekurangan, Mak Romlah tetap tegar dan sudah terbiasa berjuang hidup sendiri. Dia tak ingin menyusahkan orang lain.

Terlebih menyusahkan adik kandungnya yang sudah puluhan tahun tidak bertemu dengannya karena sudah hidup berkeluarga dan tinggal di Solo.

"Makan setiap hari paling nasi sama sayur saja sama teh. Biar cukup. Kalau jajan yang murah karena uangnya enggak cukup, tapi saya tetap jalani aja. Pengen dikumpulin uangnya buat beli tivi di kamar kontrakan. Sekarang kan sudah tua, apalagi pernah sakit gula tapi sudah sembuh, tapi semoga keinginan beli tivi bisa terwujud," harapnya.

Di usianya yang tak lagi muda dan pernah menderita diabetes, Mak Romlah tetap pantang menyerah berjualan keliling setiap hari. Dia tak pernah mengeluh meskipun hidupnya susah.

"Meskipun jualan gini (gorengan) yang penting enggak punya utang. Pernah ditawarin jualan warungan tapi saya engga punya biaya. Wes jualan gini saja sudah cukup yang penting sehat terus enggak mikir utang. Bisa lihat kedua cucu saya senang, saya juga ikut senang," ucapnya.

https://regional.kompas.com/read/2020/08/05/14170051/demi-hidupi-anak-dan-cucu-di-kampung-mak-romlah-rela-jadi-penjual-gorengan

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke