Salin Artikel

Kisah Paskalis, Anak Petani dari Papua Mengejar Mimpi ke Amerika Demi Keluarga, 10 Tahun Tak Bertemu Ibu

Setelah 10 tahun meninggalkan rumah, ia tak mengenal sang ibu saat kembali ke tanah Papua.

Dilansir dari VOA Indonesia, Paskalis adalah anak pertama dari lima bersaudara. Mereka berasal dari keluarga yang sederhana.

Bersama adik-adiknya, ia membantu ibunya bekerja dari pagi hingga malam hanya untuk sekali makan. Menurut Paskalis, sang ibu cacat sehingga tak bisa bekerja terlalu keras.

“Mama juga kebetulan dia cacat, tidak bisa kerja yang keras-keras untuk menghasilkan uang,” ujarnya.

Tanggung jawabnya sebagai putra pertama dari lima bersaudara bertambah ketika ayahnya meninggal dunia pada tahun 2006, ketika ia masih duduk di bangku SMP kelas 3.

Memikul peran dan tanggung jawab sebagai pengganti ayah, keluarganya lalu memutuskan untuk meneruskan pendidikannya, namun terpaksa memberhentikan pendidikan adik-adiknya, mengingat keterbatasan ekonomi pada waktu itu.

“Kakak aja yang sekolah. Kemudian kalau kakak bisa berhasil nanti, bisa bantu orang tua lihat adik-adik,” kata Paskalis dilansir dari VOA Indonesia.

Ia mengenang saat masih di duduk di bangku sekolah dasar di kampungnya. Kala itu hanya ada satu guru yang mengjar kelas 1 hingga kelas 6.

Sang guru juga merangkap sebagai kepaal sekolah.

“Bisa kadang masuk dari Senin sampai Rabu. Kamis, Jumat nggak. Jadi kami tahu, kalau dikasih informasi ya. Kami punya waktu misalnya dua hari untuk full day bantu orang tua.”

Karena ingin mengubah kondisi ekonomi keluarganya, Paskalis berusaha untuk meraih pendidikan setinggi mungkin.

Saat itu ia tinggal bersama dengan kakak asuhnya. Selama pindah, Paskalis tidak pernah komunikasi dengan keluarganya.

“Nggak ada komunikasi lagi sama ibu, karena mereka tinggal di kampung yang jauh kan, di kamp pengungsian. Jauh sekali, pas di perbatasan, jadi susah komunikasi,” jelas mahasiswa kelahiran tahun 1989 ini.

Selama tiga bulan pertama, kakak asuhnya yang membantu membayar uang sekolah. Namun setelah itu ia harus membiayai sekolahnya seorang diri hingga lulus.

Paskalis muda biasanya bekerja mengangkat batu dan pasir di salah satu sungai untuk mendapatkan uang.

“Kita sekolah cuma setengah hari, dari jam 8 sampai jam 1. Jadi, biasa sore hari itu saya angkat pasir, angkat batu pasir di salah satu sungai, untuk cari uang."

"Simpan untuk bayar setiap SPP. Kalau makan, biasa saya makan setiap hari dengan kakak asuh, di mana saya tinggal,” ceritanya.

Berhasil tamat SMK, Paskalis lalu bekerja sebagai guru Bahasa Inggris murid kelas 3-6 di SD Negeri 2, di kabupaten Boven Digoel, selama satu setengah tahun.

Ia pun kembali termotivasi untuk terus melanjutkan pendidikan, untuk mengubah nasib hidupnya.

Tahun 2011 ia pun memutuskan untuk merantau di Merauke dan melanjutkan kuliah di Universitas Musamus Merauke jurusan Bahasa Inggris.

Ia mendapatkan beasiswa Bidikmisi untuk mahasiswa yang tidak mampu tapi memiliki potensi di bidang akademik.

Menurut Paskalis, ia memilih jurusan Bahasa Inggris karena belum banyak guru Bahasa Inggris di Boven Digoel dan Papua Selatan.

“Bahasa Inggris sangat penting dan termasuk dalam Ujian Nasional. Maka harus SDM-nya cukup, untuk menjawab persoalan kekurangan tenaga guru bahasa Inggris,” jelas pria yang hobi berburu ini.

Karena tak memiliki keluarga di Merauke, Paskalis tinggal di pastoran Katolik di Merauke yang jaraknya sekitar 2 jam jalan kaki.

Ia jalan kaki ke kampus selama 3 bulan pertama hingga bertemu dengan salah seorang dosen.

Sang dosen yang kasihan melihat Paskalis berjalan jauh, menawarkan Pasklis tinggal di tempat yang lebih dekat dengan kampus yakni gudang SMA Negeri 3 Merauke.

“Jadi dia berikan tempat yang dulu itu gudang salah satu SMA Negeri 3 Merauke. Kebetulan SMA itu berdekatan dengan kampus yang saya kuliah. Jadi Puji Tuhan, saya bisa tinggal di situ, jarak dekat dan saya bisa selesai.”

Di tahun yang sama Paskalis pun memutuskan untuk pulang menemui keluarganya.

Ia harus menempuh perjalanan selama tiga hadi dari Merauke menuju ke kampungnya di Boven Dogoe.

“Itu jalan darat jalan darat semua. Tapi nanti sampai di kabupaten, dari kabupaten ke distrik. Nanti dari distrik ke kampung itu yang kita biasa berjalan kaki. Itu jalan setapak, jalan hutan,” kata Paskalis.

Satu-satunya cara ke kampungnya adalah dengan berjalan kaki melalui belantara yang memakan waktu sekitar satu hari.

Kala itu tidak ada keluarganya yang tahu jika Paskalis akan pulang karena sulitnya berkomunikasi langsung dengan keluarga.

Ia hanya bisa mengirimkan kabar di perbatasan pada seseorang yang lebih dulu pulang ke kampung.

Mendengarkan kabar anaknya akan pulang, sang ibu berjalan kaki dari kampung melewati hutan dan menunggu Paskalis di ujung distrik.

“Jadi ketika saya sudah sampai di dekat perbatasan, baru sempat kirim berita lewat orang yang mau duluan ke kampung. Jadi orang sudah kasih tahu. Jadi ibu, dari kampung, dia sudah datang lewat hutan. Sudah tunggu saya di ujung distrik,” ujarnya.

Paskalis mengaku sempat tak mengenali ibunya setelah 10 tahun tak bertemu.

“Saya tidak kenal beliau, karena ibu semakin…apa yah…sedih sih melihat ibu. Dulu saya melihat ibu masih pakai baju bagus, masih pakai celana bagus, waktu masih ada Bapak."

"Sekarang ibu bajunya robek, sampai bagian dada, susunya keluar. Terus pikul noken, terus dengan kayu bakar, pegang parang, sebelah pegang bambu air,” ceritanya.

“Sampai saya bilang, ‘ah bukan Ibu.’ Sudah terlalu apa ya, kayak tambah parah begitu. Tapi, Ibu feeling-nya sudah tahu, kalau ini anaknya."

"Jadi langsung Ibu menangis, terus Ibu teriak, ‘anakku… anakku.’ Langsung ibu datang, peluk saya. Saya berlutut, saya menangis, cium kaki Ibu ya Setelah itu baru kami sama-sama pulang ke rumah,” kenangnya lagi.

Bukan hanya Paskalis yang awalnya tidak mengenali sosok ibunya sendiri, namun, adiknya yang paling kecil, sama sekali tidak mengenalnya, karena dulu masih berumur sekitar satu minggu sewaktu Paskalis meninggalkan kampungnya.

Adik-adiknya pun sangat bangga melihat pencapaian kakaknya.

Menurut Paskalis, adiknya ikut bangga saat mengetahui ia bisa menyelesaikan sekolah. Mereka bahkan berencana ikut dengan Paskalis.

“Mereka bilang, ‘kita bisa ikut kakak pergi ndak?’ Saya bilang, ‘belum. Nanti, kakak pasti datang. Kakak pulang, nanti, kakak sudah punya rumah baru, kamu bisa ikut kakak."

"Dari kampung, pergi ke kota, tinggal di kita punya rumah sendiri,’” ujar Paskalis saat menceritakan harapan adik-adiknya.

Saat pulang, Paskalis lalu meminta restu sang Ibu untuk melanjutkan pendidikan S2. Walau masih belum tahu bagaimana caranya, doa ibunya pun menyertainya.

“Ibu bilang, ‘Nak, jalan. Pasti Mama berdoa. Berdoa untuk engkau. Jangan pikir kami. Engkau pergi, kejar apa yang kau sudah cita-citakan. Jadi tidak boleh pikir kami, tidak boleh pikir adik adik.’”

Ia kemudian merantau ke Jayapura yang ia yakini menyimpan banyak informasi mengenai beasiswa.

Karena tak ada yang ia kenal dan belum punya tempat tinggal, Paskalis mencari tahu keberadaan warga Boven Digoel di Jayapura.

Beruntung ia bertemu dengan mahasiswa Boven Digoel yang menawarkannya tempat tinggal di Jayapura.

Sambil mencari beasiswa, tahun 2017, Paskalis mulai bekerja di perusahaan Agri Spice Indonesia di Sentani.

Enam bulan berjalan, ia memutuskan untuk mendaftar beasiswa LPDP atau Lembaga Pengelola Dana Pendidikan di bawah Kementerian Keuangan Indonesia.

Salah satu pilihannya pada waktu itu adalah beasiswa Indonesia timur, yang ditujukan salah satunya bagi penduduk asli provinsi Papua.

“Puji Tuhan, saya lulus,” kata Paskalis.

Sebagai penerima beasiswa Indonesia Timur, Paskalis menapatkan tiga pilihan negara yakni Jepang, Korea Selatan, dan Amerika Serikat. Ia memilih yang terakhir.

“Luar biasa sekali punya kesempatan yang baik dari pemerintah Indonesia melalui LPDP, mempercayakan saya sebagai anak Papua, untuk datang kuliah di Amerika,” tambahnya.

Jalan untuk meraih pendidikan S2 di Amerika Serikat sudah terbuka lebar. Sebagai anak muda dari Boven Digoel, ia merasa bangga dan bahagia bisa meraih beasiswa hingga ke Amerika Serikat.

Namun, di saat yang sama, pencapaian ini menjadi salah satu titik terberat dalam hidup Paskalis.

Ia dihadapi kenyataan bahwa ia harus kembali meninggalkan beban dan tanggung jawabnya, yaitu membantu ibu dan adik-adiknya.

“Itu yang menjadi hal yang, ‘aduh, sudah mau putus asa, nih. Saya pulang aja sudah.’ Kasihan Ibu sendiri setengah mati. Ibu juga kurang normal. Kenapa saya harus egois, pikir saya, untuk mencapai suatu tujuan yang butuh waktu lama,” ungkapnya.

Paskalis menyadari bahwa gelar sarjana S1 yang ia miliki tidak akan membuatnya mampu untuk mencukupi kebutuhan hidup adik-adiknya yang tidak bersekolah.

Tak hanya itu, ia juga memikirkan masa depan Boven Digoel, yang menurutnya sumber daya manusia di sana masih kurang.

Ia pun lalu bangkit dan percaya bahwa semua ini harus ia jalani, demi membawa perubahan dalam kehidupannya dan juga Boven Digoel.

“Saya bisa menjadi aset untuk memberi perubahan di sana. Itu motivasi-motivasi saya,” tegasnya.

Sekitar setahun ia mempersiapkan semuanya. Ia pun berangkat ke Amerika Serikat pada Agustus 2019.

Kini, Paskalis tengah menjalani program S2 jurusan kebijakan pendidikan dan kepemimpinan, di American University di Washington, D.C.

Ia bertekad untuk meningkatkan pendidikan di Boven Digoel dan daerah lainnya yang masih tertinggal.

“Itu bisa lebih baik lagi dengan mungkin ada regulasi yang bisa mengatur tentang tenaga guru yang merata,” jelasnya.

Kekhawatiran akan budaya dan pendidikan di Amerika Serikat yang menurutnya “sangat maju dan berkembang,” sempat melanda pikirannya.

Ia melihat ketimpangan pendidikan antara Papua dan Jakarta. Apalagi Amerika yang menurutnya “sangat jauh sekali” perbedaannya.

Perbedaan inilah yang membuatnya jadi banyak belajar dari Amerika.

“Dari disiplinnya, sistem pendidikannya, terus ketaatan dalam perkuliahan. Jadi tidak bisa kami nyontek. Memang strict sekali kalau di Amerika. Terus kami kumpul tugas itu tidak bisa lebih sedikit telat dari waktu yang sudah ditentukan atau hari.”

“Ibu bilang, ‘Nak, jangan tipu ibu. Aku yang melahirkan kamu, nggak boleh tipu orang tua seperti itu.’

"Sampai ibu tidak percaya kalau saya di Amerika. Karena Ibu tidak yakin saya bisa sampai di (Amerika). Dengan kami punya keadaan seperti itu, keterbatasan kami,” ceritanya.

“Tapi, ketika kedua kali telpon, terus kami bisa video call, setelah itu baru ibu lihat saya dengan air mata. Ibu tidak bicara. Ibu cuma diam saja, dengar.

"Setelah telpon selesai, baru ada saudara yang saya chat, ‘Mama bilang, mama tidak ada pesan apa-apa yang penting engkau sehat, mama selalu doa sampai kita ketemu kembali,” lanjutnya.

Tidak boleh putus asa

Pengalaman hidupnya yang luar biasa telah membawanya ke titik hidup yang sekarang. Tak lupa Paskalis berterima kasih kepada semua orang yang telah membantunya hingga hari ini, yang satu persatu membantunya dalam meraih cita-citanya.

“Pasti Tuhan akan buka jalan dengan caranya Dia. Yang penting ada mimpi, tidak boleh ragu dengan segala kekurangan untuk meraih mimpi itu atau cita-cita itu."

"Yang penting ada niat, semangat, tekun dan terus belajar, berdoa dan bekerja, kemudian selalu rendah hati,” ujarnya.

Seperti moto hidupnya, “saya pasti bisa,” Paskalis berharap dapat mencapai keberhasilan, sebagai tanda terima kasihnya kepada semua yang telah berjasa dalam kehidupannya.

https://regional.kompas.com/read/2020/08/02/15010061/kisah-paskalis-anak-petani-dari-papua-mengejar-mimpi-ke-amerika-demi

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke