Salin Artikel

Kisah Yohana Mengajar Anak Rimba, Ikut Pindah-pindah Tempat demi Dekat Siswa (2)

Setelah memastikan dirinya bebas Covid-19, ia kemudian masuk ke hutan untuk menjemput anak-anak Rimba. Perjalanan ke pedamalaman Jambi itu memakan waktu hingga 8 jam.

Anak-anak Rimba kemudian dibawa ke rumah singgah yang sudah disediakan di KKI Warsi, organisasi tempat Yoahana bernaung.

Para "siswa" dari Orang Rimba ini bersemangat untuk belajar. Bahkan, mereka bangun tengah malam dan minta untuk belajar. Bangun tengah malam merupakan kebiasaan anak-anak Rimba. Yohana pun berusaha untuk menyesuikannya.

Pindah-pindah tempat

Selain mengajar di rumah singgah, Yohana juga mengajar anak-anak yang orangtuanya berpindah-pindah dari kebun sawit ke hutan kemudian kebun sawit.

Kendati tidak menetap, perpindahan Orang Rimba masih bisa dijangkau, tetap dalam kawasan Bukit Duabelas, tepatnya Desa Bukit Suban.

Perpindahan lokasi berdiam adalah cara Orang Rimba bertahan dari virus. Dengan berpindah, peluang untuk bertemu dengan orang luar semakin sedikit.

Sebelum mendatangi rombongan Meriau, santer terdengar kabar Yohana akan ditolak. Mereka melarang orang luar masuk ke kelompok mereka.

Dalam perjalanan mencari kelompok Meriau, Yohana bertemu anak-anak dari rombongan itu yang sedang membrondol atau memungut buah sawit yang jatuh dari pohon atau pun dari mobil perusahaan saat panen.

Anak-anak yang sudah mengenal Yohana itu langsung melarikan diri dan bersembunyi karena ketakutan. Yohana terus meyakinkan dan mengajak mereka untuk kembali belajar.

“Kamia ndok, induk awok marah atau kami mau, tapi ibu kami marah,” kata Yohana yang menirukan suara anak perempuan rimba bernama Matam.

Yohana paham betul bahwa virus Corona memang ditakuti Orang Rimba bahkan masyarakat dunia juga menghadapi takut yang sama. Yohana tahu bahwa apabila Orang Rimba terkena penyakit itu, maka sulit untuk mendapatkan pengobatan.

“Keberadaan Orang Rimba di kebun sawit yang berpindah-pindah menjadi sulit untuk terpetakan dan dipantau,” kata Yohana lagi.

Untuk meyakinkan rombongan Meriau, Yohana menetap dan berpindah bersama mereka. Awalnya Yohana dilarang mendekat dan tetap harus berjarak. Namun lama-kelamaan hati Orang Rimba luluh juga.

Melihat Yohana seminggu bersama mereka dan tidak pergi ke mana-mana atau balik ke kota, rombongan Meriau pun merasa aman kalau anaknya belajar bersama Yohana.

Setelah mendapat izin dari orangtua rombongan Meriau, Yohana mengajar dengan riang gembira. Dia begitu semangat mengajari anak-anak bersiap masuk sekolah, suatu saat.

Ujian kenaikan kelas

Kebanyakan anak-anak yang memiliki gawa bisa melakukan ujian berbasis digital. Tetapi anak rimba tidak bisa.

Yohana harus datang ke sekolah untuk mengambil soal ujian untuk diberikan kepada anak-anak Rimba. Kemudian ia menyerahkan kembali lembar jawaban siswa tersebut ke sekolah.

Kebanyakan anak-anak rimba di Bukit Duabelas tergabung di SDN 191 Air Panas, Kecamatan Air Hitam, Kabupaten Sarolangun. Karena ujian naik kelas bertepatan dengan pandemi, maka soal dibawa pulang, tidak boleh bertatap muka.

“Anak-anak mau ujian, tetapi tidak boleh tatap muka di sekolah, Jadi kami minta tolong bapak ibu untuk mengambil soal anak-anak asuhnya agar bisa dikerjakan di rumah. Soal dijemput hari Senin 15 Juni pukul 09.00 di sekolah,” demikian bunyi pesan dari Bu Ade, kepala Sekolah Dasar 191, Air Panas, yang masuk ke ponsel Yohana.

Soal ujian yang harus diambil itu untuk Besimbur, Nyeser dan Nukik yang duduk di kelas I, kemudian Pengarang Gading dan Bepanau kelas II, lalu Bepuncak kelas III. Dan kemudian Bekaram kelas IV serta Besati dan Ceriap kelas V.

Sebelum ujian digelar, anak-anak ini sudah mendapatkan bimbingan belajar dari Yohana dan rekannya.

Yohana juga bertugas untuk memberikan pelajaran dasar pada anak-anak Rimba yang belum masuk sekolah formal.

"Karena pelajaran ada yang tematik, ada juga kami minta pinjaman buku tematik ke sekolah untuk mengajar anak-anak rimba,” kata Yohana.

Anak-anak yang mengikuti ujian ini terdiri dari beberapa mata pelajaran. Untuk Kelas 1, 2 dan 3, ujian dilaksanakan berdasarkan tematik pelajaran.

Sedangkan kelas 4 dan 5, mata pelajaran yang diujikan adalah tematik, matematika dan pendidikan jasmani.

Selama ini anak-anak Rimba dari kelompok Tumenggung Ngrip di Kedudung Muda Taman Nasional Bukit Duabelas ini mengikuti sekolah formal tinggal di kantor lapangan KKI Warsi di Desa Bukit Suban, sebagian ada yang masuk rimba mengikuti orang tua mereka.

Mimpi terwujud

Meskipun tantangan begitu berat, bergelut dengan kesunyian hutan, ketiadaan sinyal, kebuasaan satwa liar dan jauhnya berjalan kaki tidak pernah membuat Yohana putus asa maupun menyerah.

Sebelum mengajar di rimba November 2018 lalu, Yohana adalah peneliti independen. Dia rupanya sudah bisa betualang keluar masuk hutan Kalimantan dan NTT.

Mengajar dalam rimba adalah mimpi semenjak SMA, kata Yohana. Dia mulai tertarik dengan Orang Rimba lewat baca buku dan komunikasi melalui media sosial KKI Warsi.

Yohana pernah bekerja untuk Bank Dunia dan Kantor Staff Presiden. Kendati demikian, mengajar di rimba adalah pasion. Dia begitu bahagia mengajar di pedalaman untuk membuat anak-anak Indonesia setara dan mendapatkan keadilan dalam mengakses pendidikan.

"Ada kegelisahan di hati melihat kondisi mereka saat ini. Dimana orang-orang sudah sibuk dengan urusan teknologi terbaru, model rumah minimalis, lampu emergensi, atau ragam pilihan makanan," kata Yohana.

Sementara ada saudara-saudara kita, anak-anak kita sebangsa tanah air, masih hidup seadanya dalam hutan dan kebun sawit. Bahkan setiap hari kelaparan mengancam.

"Rumah hanya dari kayu, terpal, tanpa dinding, makanan pada umumnya dimasak dengan cara merebus," kata Yohana sembari meneteskan air mata.

Menurut Yohana, pemerintah kurang memperdulikan mereka, terutama untuk pendidikan. Padahal mereka anak-anak yang cerdas.

Hanya karena mereka berbeda, membuat anak rimba menjadi pemalu dan minder, sehingga potensi diri tidak keluar saat bersekolah formal.

Ditambah lagi saat ini, sebagian hutan mereka sudah beralih menjadi kebun kelapa sawit yang dikuasai perusahaan.

Para pejabatnya bertambah kaya, mereka bertambah sengsara. Lahan penghidupan semakin sempit dan belum mampu beradaptasi dengan lingkungan yang mulai rusak dan gaya hidup orang masa kini.

Orangtua anak-anak Rimba tergoda juga membeli ponsel. Tapi bukan untuk berkomunikasi, melainkan hanya mendengar lagu dalam hutan.

Mereka sangat ingin setara dengan kita, tetapi masih banyak keterbatasan. Masa depan mereka ada di tangan anak-anak yang dapat menempuh pendidikan setinggi-tingginya dan mendapatkan pengalaman seluas-luasnya. (habis)

https://regional.kompas.com/read/2020/07/13/10332501/kisah-yohana-mengajar-anak-rimba-ikut-pindah-pindah-tempat-demi-dekat-siswa

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke