Salin Artikel

Berlian Banjarmasin: 160 Tahun di Belanda, Kerabat Sultan Minta Dikembalikan ke Banjar (2)

Berlian 80 karat, "jarahan perang" hampir 160 tahun lalu, sempat diberikan kepada Raja Willem III pada tahun 1862 sebagai hadiah.

Intan ini disebut oleh seorang menteri Belanda pada sekitar tahun 1900an sebagai "benda jelek dan kotor", karena tak pernah berhasil dijual akibat biaya pengolahan yang sangat mahal saat itu.

Kerabat sultan menyebut "simbol kesultanan yang dirampas" Belanda ini harus kembali ke tanah Banjar.

Kesultanan Banjarmasin, yang kembali didirikan di tahun 2010 di bawah pimpinan Khairul Saleh, mantan bupati Banjar yang kini menjabat sebagai anggota DPR, mengklaim sudah pernah meminta Belanda mengembalikan berlian itu.

Kesultanan itu sendiri tidak didirikan sebagai simbol kekuasaan, namun sebagai upaya melestarikan kebudayaan Banjarmasin.

Ahmad Fikri Hadin, perwakilan dan kerabat Kesultanan Banjar yang diberi gelar 'Datuk', mengatakan kesultanan pernah melakukan lobi ke museum di Belanda untuk pengembalian berlian juga barang-barang bersejarah lainnya ke kesultanan Banjar.

"Itu tidak bisa karena dulu itu adalah milik kesultanan Banjar yang mana statusnya adalah sebuah negara. Sementara kan sekarang ini negara Banjar sudah tidak ada lagi," ujar Ahmad.

Upaya surat-menyurat, menurut keterangan pihak kesultanan juga sudah pernah dilakukan tapi tidak membuahkan hasil.

Namun, menurutnya, berlian itu tetap harus dikembalikan ke Banjar karena benda itu bisa menggambarkan kejayaan tanah itu di masa lalu.

"Mungkin kalau kita gali lagi tanah di sini, jarang sekali menemukan (intan seperti) itu. Jadi kepemilikan itu salah satu tanda kemakmuran dari kesultanan Banjar tempo dulu. Jadi betapa wah nya saat bagaimana utusan Belanda pada pertama kali mendatangi kesultanan Banjar melihat kemewahan-kemewahan yang ada di kesultanan Banjar," kata Ahmad.

"Bukan mewah untuk riya atau menunjukkan kesombongan. Tapi memang tanah-tanah yang ada di wilayah kesultanan Banjar menghasilkan kekayaan alam yang sangat banyak."

Tanpa ada sisa bekas kesultanan di tanah Banjar, yang dihancurkan Belanda, Ahmad menilai barang itu perlu dikembalikan.

Kemegahan kesultanan Banjar pernah digambarkan Johannes Paravicini, utusan Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) yang diurus ke Banjarmasin pada pertengahan abad ke 18.

Ia mengatakan ia disambut musik merdu kala memasuki gedung kesultanan, yang digambarkannya, memiliki dinding dan lantai yang ditutup permadani keemasan.

Kesultanan di Kayu Tangi, Martapura, itu pun memiliki piring, mangkok, hingga tempat meludah dari emas, ujarnya.

"Selir-selir Sultan berhias emas intan yang mahal sekali, bangku indah yang tak terbanding, tempat pangeran-pangeran yang indah duduk, tempat duduk para pembesar kerajaan," ujar Paravicini.

"Banyaknya alat kerajaan, pembawa senjata-senjata kerajaan dan lambang kerajaan, semuanya itu ditata, dihias, dengan berlian yang mahal dan dihias dengan emas..."

Pengalaman Paravinici tertulis dalam buku karangan Idwar Saleh 'Banjarmasin, Selayang Pandang Mengenai Bangkitnya Kerajaan Banjarmasin Posisi, Fungsi, dan Artinya dalam Sejarah Indonesia dalam Abad 17'.

Namun, kini, sisa-sisa kejayaan Kesultanan Banjarmasin tidak lagi nampak setelah perang berkepanjangan antara Belanda dan masyarakat Banjar.

Di tahun 1612, armada Belanda menyerang Kesultanan Banjar di Kuin dengan serangan meriam, ujar sejarawan Ahmad Barjie. Peristiwa itu membuat kesultanan berpindah lokasi ke Martapura lalu ke sejumlah lokasi lainnya hingga dibubarkan sepihak oleh Belanda di tahun 1860.

Konflik itu pun meruncing menjadi perang di tahun 1859-1906 (yang menurut versi Belanda hanya berlangsung hingga 1859-1860, saat kesultanan dibubarkan).

Peperangan berkepanjangan itu mengubah kehidupan sosial di daerah itu, ujar sejarawan Universitas Lambung Mangkurat, Mansyur.

"Perang Banjar tentunya banyak menguras tenaga, kemudian juga banyak menyebabkan kelumpuhan di bidang ekonomi karena perang mereka tidak bisa lagi bertani, mengembangkan perkebunan, dan sebagainya," ujarnya.

"Belum lagi setelah Belanda berkuasa memenangi perang Banjar banyak menarik pajak. Pajak-pajak besar dari masyarakat yang mengakibatkan kesengsaraan di masyarakat."

"Barang-barang itu paling tidak menjadi sesuatu yang monumental bagi kami, sesuatu kenangan barang berharga yang mungkin nilainya sangat besar," kata Mansyur.

"Yang paling penting generasi muda bisa melihat dan memiliki identitas dengan melihat barang-barang pada masa lalu."

Sementara, melalui sambungan telepon dengan BBC Indonesia, Sultan Khairul Saleh mengatakan jika berlian dikembalikan pada kesultanan, ia akan menggunakannya untuk kesejahteraan masyarakat.

"Termasuk harta, termasuk berlian, kita bisa menjadikan berlian tersebut bisa kita amankan, bisa kita jadikan uang, uangnya bisa kita gunakan untuk kesehatan, pendidikan," ujarnya.

"Artinya untuk kepentingan masyarakat Banjar."

Ia sendiri mengestimasi harga berlian itu mencapai miliaran rupiah.

Apakah ada yang mau membeli berlian semahal itu?

"Kalau yang mau beli, banyak kali yang mau beli ya..."

"Itu bukan milik pemerintah Indonesia. Itu milik kerajaan Banjar. Jangan lah, jangan sampai di pemerintah Indonesia. Jangan sampai salah, untuk apa diserahkan ke pemerintah Indonesia? Hak kerajaan itu," kata Khairul.

Sementara itu, Dirjen Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Hilmar Farid, sudah beberapa kali berkomunikasi dengan pengurus sejumlah museum di Belanda untuk membicarakan masalah pengembalian itu.

Ia mengatakan, kepada siapa benda-benda bersejarah harus dikembalikan akan dibicarakan kemudian hari.

"Ini kan isu penting karena benda itu boleh dibilang, bisa saja misalnya diperoleh dari penduduk, dari kesultanan yang sekarang sudah tidak ada. Kalau ke dia dikembalikan ke Indonesia tentu akan pertanyaan kepada siapa," ujar Hilmar.

"Karena mungkin ahli warisnya sudah, mungkin nggak bisa dilacak, atau bahkan kita enggak bisa mengenali secara persis benda ini sesungguhnya milik perorangan atau bukan. Kalau tidak dikembalikan kepada ahli waris, maka dikembalikan kepada negara," ujarnya.

Penyelidikan itu, katanya, diperlukan untuk melihat apakah benda itu diperoleh Belanda dengan cara yang pantas.

"'Pantas' di sini misalnya, bisa saja penduduk dulu memberikan hadiah kepada pemerintah kolonial di masa itu atau si orang yang bersangkutan membeli dari masyarakat sehingga dia bisa dibilang dengan cara yang pantas," ujar Hilmar.

Hal itu dikonfirmasi Yolande Melsert, Kepala Bagian Kebudayaan dan Komunikasi Kedutaan Besar Belanda, yang mengatakan riset asal usul masih dilakukan.

"Ini bukannya tentang 'ini berasal dari Indonesia, jadi silahkan Anda bisa memilikinya'. Sangat penting Indonesia untuk menyampaikan barang-barang apa saja yang mereka inginkan untuk koleksi mereka," ujarnya.

Selain berlian ini, pemerintah Indonesia, kata Hilmar Farid, berharap Belanda dapat mengembalikan sejumlah barang lain, seperti bendera-bendera yang digunakan dalam perang menghadapi Belanda.

"Jadi, dari barang-barang seperti ini bisa lebih mudah mungkin kita tetapkan statusnya, tapi nilai nominalnya mungkin tidak seberapa. Tapi nilai sejarahnya karena terkait sejarah identitas dari masyarakat yang bersangkutan saya kira sangat sangat signifikan," katanya.

https://regional.kompas.com/read/2020/03/13/06160031/berlian-banjarmasin--160-tahun-di-belanda-kerabat-sultan-minta-dikembalikan

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke