Salin Artikel

Penyesalan Pelaku Klitih di Yogya, Usai Membacok, Pijat Orangtua

YOGYAKARTA,KOMPAS.com-Pelaku kejahatan jalanan yang dilakukan remaja atau dikenal klitih, sebagian di antaranya yang menjalani proses hukuman di Lembaga Permasyarakatan Khusus Anak (LPKA) Yogyakarta di Wonosari, Gunungkidul.

Para pelaku klitih mengaku tak memiliki motif dan menyesal sudah melukai korbannya. 

Kepala LPKA Yogyakarta Teguh Suroso mengatakan, saat ini ada 16 anak yang saat ini menjadi warga binaan LPKA.

Dari belasan para penghuni sebagian di antaranya merupakan pelaku klitih.

Meski akhir-akhir ini banyak pelaku klitih diamankan petugas kepolisian, namun tidak sampai ke ranah pengadilan. Sehingga LPKA masih sedikit dihuni warga binaan.

 Warga binaan yang berjumlah 16 orang ini jauh dari kapasitas 90 orang.

"Penghuni kami tidak melonjak signifikan, karena begini. Kasus anak kalau ancaman hukumannya kurang dari 7 tahun bisa diversi, yaitu menemukan antara Bapas, Polisi, Pelaku dan juga korban. Bisa putusannya nanti dititipkan di balai rehabilitasi remaja di Sleman, bisa dikembalikan ke orangtua, jadi tidak masuk ranah pidana," kata Teguh saat ditemui di kantornya, Selasa (28/1/2020). 

Dijelaskannya, sejak 15 Juli 2019 lalu LPKA memiliki gedung sendiri, setelah dua tahun terakhir LPKA berada di blok khusus Rutan II B Wonosari.

Dari pengamatan Kompas.com, di lokasi, para warga binaan yang sebagian berusia sekolah SMA tinggal satu blok dari tiga paviliun yang ada. 

Mereka tak seperti dipenjara dewasa yang penuh dengan teralis dan pengamanan bersenjata.

Mereka ditempatkan di dalam ruangan mirip asrama dengan kamar tidur bertingkat.

Di luar kamar terdapat kamar mandi cukup luas dengan shower.

Ruang tengah ada lokasi menonton TV dan wartel. Untuk tembok pembatas pun tidak diberikan jeruji atau kawat berduri. 

Untuk fasilitas lainnya, tergolong lengkap, mulai dari tempat beribadah, seperti masjid dan gereja ada.

Selain itu, klinik, hingga dapur memiliki juru masak sendiri.

Seluruh sudut ruangan tidak ada teralis seperti penjara, lebih mirip sekolah berasrama.

"Perlakuan terhadap anak berbeda dengan yang dewasa. Petugas pun harus lebih ramah," kata Teguh. 

 Teguh mengatakan, agar tidak melakukan perbuatan yang sama, para siswa dilakukan tiga langkah pendampingan dari LPKA.

Adapun di antaranya, kemandirian, kepribadian, dan sosial. Pembinaan kepribadian meliputi agama, kepramukaan dan, sekolah. Untuk pembinaan kemandirian setahun ada 3 kali diberikan pelatihan.

"Untuk tahun ini ada pangkas rambut dan sablon, kami juga kerjasama dengan beberapa universitas untuk melakukan pendampingan psikologi," katanya.

Dia mengatakan, selain pendampingan, warga binaan ini tetap melanjutkan sekolah. Meski tak sama dengan para siswa di luar, paling tidak mereka tak ketinggalan mendapatkan pelajaran. 

"Kami juga memiliki grup WA dengan orangtua. Jadi perkembangan anak bisa diketahui orang tua," ucap Teguh.

"Yang keluar dari LPKA tidak ada yang kembali lagi melakukan kejahatan. Bahkan yang dulu sudah keluar ada yang membuka cafe, dan usaha lainnya," kata Teguh. 

Perilaku klitih dan penyesalan

Hubungan dekat antara petugas LPKA dan warga binaan seringkali mereka mengungkapkan peristiwa yang terjadi.

Menurut Teguh, ada dua tipe klitih yang sering dilakukan di Yogyakarta. Pertama adalah individu yang kedua adalah kelompok. Mereka rata-rata berusia SMA.

"Individu itu biasanya hanya berdua dan yang kami tangani terpengaruh minuman keras, kalau kelompok seperti yang terjadi di Karangkajen itu mereka suporter futsal bertemu di jalan dan terjadi gesekan," ucap Teguh 

"Pelaku klitih ini memang berbeda jika dibandingkan dengan kejahatan-kejahatan di tempat lain yang membawa senjata api yang ingin merampok, di sini tidak. Saat kita ngobrol di sini mereka ngomong gak tau motifnya hanya senang-senang," ucap Teguh

Diakuinya, penyesalan yang dilakukan anak-anak ini sudah terjadi setelah mereka melukai korbannya.

Ia mencontohkan satu di antara pelaku pembacokan, setelah melakukan aksinya pelaku langsung memijit orangtua.

"Ada satu orang yang setelah melakukan pembacokan langsung pulang dan memijat orangtua karena merasa bersalah. Esok paginya, dia dijemput polisi," kata Teguh.

 Untuk mencegah terulang kembali, dia mengimbau pada orang tua untuk mencegah anaknya kembali ke gerombolannya kembali.

"Kuncinya mereka gak usah kumpul-kumpul lagi," ucap Teguh. 

Sebelumnya, merunut arsip Harian Kompas, kejadian kriminal yang melibatkan remaja pernah muncul pada tahun 1990-an.

Kemudian pada berita 7 Juli 1993, Kepolisian Wilayah (Polwil) DIY mulai memetakan keberadaan geng remaja di Yogyakarta.

Kapolwil DIY saat itu Kolonel (Pol) Drs Anwari mengatakan, sudah memiliki informasi tentang keberadaan geng remaja dan kelompok anak muda yang sering melakukan berbagai aksi kejahatan di Yogyakarta.

Pada sekitar tahun 2000-an, tawuran antarpelajar muncul dan membuat gerah Wali Kota Yogyakarta saat itu, Herry Zudianto. 

Kepada sekolah-sekolah, Herry mengatakan, jika ada pelajar Yogyakarta yang terlibat tawuran akan dikembalikan kepada orangtuanya atau dikeluarkan.

Instruksi itu dinilai sempat ampuh meredam aksi kekerasan remaja.

Instruksi Wali Kota Yogya itu, menurut Sosiolog Kriminal UGM Soeprapto, membuat beberapa geng pelajar kesulitan mencari musuh.

 Mengutip Harian Kompas, 18 Desember 2016, dalam Kamus Bahasa Jawa SA Mangunsuwito, kata klithih tidak berdiri tunggal, tetapi merupakan kata ulang, yaitu klithah-klithih.

Kata klithah-klithih itu dimaknai sebagai berjalan bolak-balik agak kebingungan. Sama sekali tidak ada unsur kegiatan negatif di sana. 

Sementara itu, pakar bahasa Jawa sekaligus Guru Besar Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta, Pranowo, mengartikan klithah sebagai keluyuran yang tak menentu atau tak jelas arah.

Klithah-klithih tergolong dalam kategori dwilingga salin suara atau kata ulang berubah bunyi, seperti mondar-mandir dan pontang-panting.

”Dulu, kata klithah-klithih sama sekali tidak ada unsur negatif, tapi sekarang dipakai untuk menunjuk aksi-aksi kekerasan dan kriminalitas. Katanya pun hanya dipakai sebagian, menjadi klithih atau nglithih yang maknanya cenderung negatif,” kata Pranowo. 

https://regional.kompas.com/read/2020/01/30/06300031/penyesalan-pelaku-klitih-di-yogya-usai-membacok-pijat-orangtua

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke