Salin Artikel

Jelajah Cikal Bakal Angkringan di Desa Ngerangan, Klaten

KLATEN, KOMPAS.com – Angkringan atau juga biasa disebut wedangan dan Hidangan Istimewa Kampung (HIK) merupakan tempat makan murah yang banyak terdapat di Kota Solo atau Yogyakarta.

Dengan menu murah meriah seperti nasi kucing, gorengan, dan wedang jahe kisaran Rp 2.000 - Rp 4.000, angkringan kerap menjadi tempat favorit masyarakat untuk nongkrong serta bercengkerama satu sama lain.

Namun, di manakah angkringan berasal? Kompas.com pada Sabtu (18/1/2020) menelusuri tempat cikal bakal angkringan, tepatnya di Desa Ngerangan, Kecamatan Bayat, Kabupaten Klaten, Jawa Tengah.

Dari Kota Klaten, Desa Ngerangan berjarak sekitar 18 kilometer dengan waktu tempuh kurang lebih 40 menit.

Penjual angkringan pertama

Latar belakang gelar Cikal Bakal Angkringan di desa yang berbatasan dengan Kabupaten Gunungkidul di sebelah selatan ternyata tak hanya dari kisah mulut ke mulut warga saja.

Kompas.com juga berkesempatan bertemu dengan salah satu penjual angkringan pertama yang masih hidup bernama Wiryo Jeman, seorang warga Dukuh Sawit, Desa Ngerangan.

Di usianya yang sudah 94 tahun, Pak Wiryo masih mengingat betul kisahnya saat berjualan angkringan di Kota Solo.

“Saya berjualan angkringan dulu di Kota Solo sekitar tahun 1943. Tetapi dulu awalnya tidak dengan wedang atau minuman, tetapi terikan,” kata Wiryo dalam bahasa Jawa krama.

Terikan, imbuh dia, adalah menu tradisional dengan bahan masakan berupa tempe atau tahu.

“Tetapi terikan ternyata tidak begitu laku. Maka tiga bulan kemudian, ditambahkan wedang atau minuman. Lalu kemudian dagangan menjadi laku,” imbuh Wiryo.

Saat itu, dirinya ikut semacam juragan angkringan di Kota Solo bernama Karso Dikromo atau Karso Djukut.

Juragan angkringan itu sebelumnya merupakan tetangga Pak Wiryo yang juga warga Dusun Sawit, Desa Ngerangan. Karso terlebih dahulu merantau ke Kota Solo dan menikah dengan salah satu anak juragan terikan.

“Zaman dulu masih jarang orang jualan karena masih sepi. Karena mencari pekerjaan sulit, ya sudah, jualan terikan juga tidak apa-apa,” kata Wiryo menceritakan awal dirinya merantau ke Solo.

Hal itu juga dikarenakan kondisi keluarga Pak Wiryo tengah susah karena sang ayah menjadi Romusha saat pendudukan Jepang.

Bentuk angkringan pertama

Jika saat ini angkringan lazim berbentuk gerobak, maka pada masa awalnya, angkringan tidak berbentuk demikian. Barang dagangan dibawa dengan cara dipikul.

“Dulu angkringan ya dipikul, diberi anglo satu, ceret dua atau tiga, kemudian diberi hidangan,” kata Pak Wiryo.

Perbedaan lainnya adalah, jika saat ini angkringan biasanya menetap di suatu tempat, maka dahulu ia memikul barang dagangannya ke tempat-tempat berbeda.

“Tempat yang laris didatangi, yang tidak laris tidak didatangi, kalau sudah terbiasa. Biasanya pembeli dulu dari orang yang membatik. Kalau di perkampungan biasa ya jarang laku,” imbuh dia.

Ia melanjutkan, lokasinya berjualan biasanya ada di Kerten atau Laweyan karena di sana saat itu banyak yang bekerja membatik.

“Dulu kalau siang itu membuat makanannya di tempat juragan (Pak Karso), lalu jam enam baru mulai dibawa. Kalau sekarang jualan jam 12 siang ya laris, kan zaman sudah enak,” sambung Wiryo.

Hidangan yang disajikan di angkringan zaman dulu menurut dia tidak jauh berbeda dengan sekarang seperti nasi bungkus, pisang goreng, tahu, dan tempe.

Sementara itu, guna makin memantapkan Desa Ngerangan sebagai Cikal Bakal Angkringan, saat ini tengah dilakukan pembangunan Monumen Angkringan.

Rencananya, Bupati Klaten Sri Mulyani akan meresmikan langsung Monumen Angkringan tersebut saat sudah jadi.

https://regional.kompas.com/read/2020/01/24/17290041/jelajah-cikal-bakal-angkringan-di-desa-ngerangan-klaten

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke