Salin Artikel

Wajah Gang Dolly, 5 Tahun Setelah Penutupan Lokalisasi

Bahkan Gang Dolly disebut sebagai kawasan prostitusi terbesar di Asia Tenggara.

Dilansir dari VOA Indonesia, keriuhan Gang Dolly diceritakan Ida salah satu warga yang sudah tinggal di gang itu selama 50 tahun. Ia bercerita kala itu banyak turis asing yang juga datang di kawasan tersebut.

"Apalagi kalo lagi [kapal] sandar di pelabuhan, turis-turisnya juga ke sini. Sampe masuk ke kampung-kampung juga, salah jalan ‘mister mau kemana? Oh yes’ haha,” cerita Ida.

Namun wajah Gang Dolly berubah total pada tahun 2014 setelah Wali Kota Surabaya, Tri Rismaharini mengambil keputusan besar untuk menutup prostitusi dan membersihkan Gang Dolly.

Di hari penutupan, ratusan serikat warga dan wanita pekerja seksual (WPS) melakukan perlawanan. Alasannya hanya satu. Mereka mengaku kehilangan satu-satunya mata pencaharian.

Barbara menjulang tinggi di antara tembok perumahan warga di gang-gang sempit sepanjang Dolly.

Kala itu, Barbara dikenal sebagai wisma dengan servis termahal.

Saat lokalisasi tersebut ditutup, beberapa wisama di Dolly dibeli Pemkot Surabaya dan dialihfungsikan.

Salah satunya adalah Wisma Barbara yang dibeli Pemkot Surabaya seharga Rp 9 miliar.

Wisma yang megah tersebut kemudian dijadikan sebagai pusat pelatihan dan penjualan Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) yang memproduski tas, sepatu, sandal, dan sandal hotel.

Dalam kurun waktu lima tahun setelah penutupan, Pemkot Surabaya juga telah membangun beberapa taman ramah anak.

Selain Wisma Barbara, Pemkot Surabaya telah membeli beberapa wisma yang rencananya akan dibuat proyek pasar burung.

Dilansir dari VOA Indonesia, Ery Cahyadi, Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Kota (Bappeko) Surabaya mengatakan proyek pembangunan pasar burung itu adalah upaya untuk membuka lapangan kerja baru bagi warga Dolly yang kehilangan pekerjaanya karena penutupan lokalisasi.

Ia mencontohkan  warga terdampak yang kehilangan pekerjaan adalah juru parkir dan petugas keamanan di wisma-wisma.

“Yang perlu kita pikirkan ketika kita menutup sebuah lokalisasi adalah bagaimana membuat tempat tersebut jadi tempat wisata. Di sana itu terkenal lomba burungnya. Orang Surabaya pasti suka ngumpul burung, pertandingan suara terenak,” jelas Ery Cahyadi.

Sehari-hari Ida adalah ibu rumah tangga. Ia bercerita program tersebut awalnya untuk menampung para WPS yang berhenti bekerja karena penutupan lokalisasi.

Namun karena tidak ada yang mau, Ida sebagai warga terdampak mendapat tawaran.

“Tetapi tidak ada yang mau. Dulu ada satu-dua yang mau. Kalau saya kan warga terdampak. Akhirnya dilempar (tawaran kerjanya) ke warga terdampak,” cerita Ida.

“Ini dibentuk seperti Yogja, Bali gitu lho. Jadi wisata UKM-UKM. Jadi kalau ada turis itu bisa beli suvenir di sini, gitu lho,” kata Ida.

Ida bercerita pusat UMKM menjadi rumah keduanya untuk mendapatkan uang tambahan.

Sebelum bergabung, Ida menjalani pelatihan selama sebulan. Lalu ia mulai membuat ratusan pasang sandal.

Ia dan warga sekitar bekerja selama enam hari mulai Senin hingga Sabtu. Dalam sehari ia bisa membuat 500 pasang sandal hotel dengan upah Rp 200 per pasang.

Sementara bekas wisma lainnya beralihfungsi secara alami menjadi tempat usaha seperti rumah kos.

Selain ada salah satu warga yang mengontrak salah satu wisma untuk usaha air isi ulang. Ia menyewa bekas wisma antara Rp 15 juta hingga Rp 20 juta per tahun.

Ia bercerita iktikad baik Pemkot Surabaya untuk mengkaryakan eks WPS Dolly gagal. Eks WPS menolak mengikuti program yang disediakan.

Warga bahkan menyebut mereka masih praktik di lokalisasi berbeda.

Selain WPS, para petugas parkir dan petugas pengamanan Dolly juga tidak tertarik bergabung dengan program pemerintah.

Mereka beralasan apa yang ditawarkan tidak sebanding dengan yang mereka peroleh pada masa jaya Dolly.

Salah satunya Yani yang sudah dua dekade membuka warung di tengah keramaian Dolly dan memanfaatkan lahan miliknya untuk parkir kendaraan bermotor.

Dari usahanya, Yani berhasil menyekolahkan empat anaknya hingga di perguruan tinggi.

Ia bercerita pada masa-masa sibuk, lahan parkirannya bisa menampung 50 sepeda motor. Dengan tarif parkir Rp 5.000 per sepeda, Yani mengantongi Rp 800.000 hingga Rp 1 juta di akhir pekan.

“Kalau hari-hari biasa, ya, 300 ribu. Kalo kayak dulu kan, cewek-ceweknya beli minum kaya gini kan 5.000, wes ga susuk (tidak minta kembalian). Makan 15 ribu 20 ribu. Tapi kan sekarang cewek-ceweknya sudah tidak ada,” tutur Yani.

Walaupun Gang Dolly telah kehilangan pamornya, Yani memilih bertahan dengan tetap melanjutkan berdagang di warung kecil, yang berdiri tepat di depan tempat pengajian Al-quran bekas lokalisasi.

“Dibilang sedih ya sedih, dibilang senang ya senang, mas. Namanya juga rakyat kecil. Ya kita bisa buat apa,” ujar Yani.

https://regional.kompas.com/read/2019/12/07/06160011/wajah-gang-dolly-5-tahun-setelah-penutupan-lokalisasi

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke