Salin Artikel

53 Kali Gagal Tembus Beasiswa, Anak Pedagang Sayur Berhasil Kuliah di Amerika

Sebelum dinyatakan lolos, Andika telah 53 kali mencoba mendaftar untuk mendapatkan beasiswa kuliah di luar negeri. Ia pun dikenal sebagai ‘scacehholarship hunter’ alias pemburu beasiswa.

Dilansir dari VOA Indonesia, Aula Andika Fikrullah Al Balad adalah anak dari tukang sayur di Gampong Lampasi, Darul Imarah, Aceh Besar.

Ia bercerita sejak tahun 2000, sang ibu membangun kios kecil yang beratapkan rumbia di depan rumah mereka untuk berjualan sayur.

Sebelum memliki kios tersebut, sang ibu Siti Narimah atau yang akrab dipanggil Mak Cut berkeliling kampung dari satu rumah ke rumahnya lainnya untuk berdagang sayur.

“Semenjak menikah dengan almarhum ayah, (ibu) itu sudah jualan sayur,” kata Aula.

Di tahun yang sama, sang ayah Ridhwan Kr Is ditemukan meninggal di dekat sawah. Kala itu konflik Aceh sedang terjadi.

Aula kecil saat itu masih duduk di kelas lima SD.

Mak Cut pun menjadi orangtua tunggal. Aula dan kakak-kakaknya membantu sang ibu berjualan sayur untuk mencukupi kebutuhan mereka.

“Saya SMP itu ingat. Jadi saya sekolahnya jam dua siang. Jadi pagi itu ngantar dulu ibu ke pasar untuk belanja sayur, terus jemput lagi ibu. Ibu ke pasar gitu, kemudian setelah semuanya beres, jam dua siang saya baru berangkat ke sekolah,” ujar si bungsu dari tujuh bersaudara ini.

Aula bercerita sang ayah adalah lulusan sekolah dasar, sementara ibunya tak pernah sekolah sehingga tak bisa membaca dan menulis.

Namun hal tersebut tak membuat keluarganya abai dengan pendidikan. Bagi keluarganya,  pendidikan adalah hal yang paling utama.

“Saya masih ingat, ketika SD dulu, kakak-kakak pernah cerita, bahkan harus sekolah tanpa ada uang jajan. Bahkan kita sakit pun, sakit dalam kondisi sakit demam dan sebagainya itu nggak boleh libur. Tetap harus berangkat ke sekolah,” cerita pria kelahiran November 1993 ini.

Saat Aula duduk di bangku SMP, sang kakak sempat menjual pehiasannya untuk biaya sekolah. Hal yang sama terjadi saat Aula SMA.

Sang kakak kembali menjual barang berharganya untuk membantu sang adik agar bisa membayar uang sekolah.

Hal tersebut sempat membuat Aua ragu untuk melanjutkan sekolah.

“Ketika SMP, kakak harus jual apa gitu (perhiasan), supaya bisa saya masuk sekolah,” katanya.

Ia menjadi juara pidato, cerdas cermat, olimpiade fisika dan matematika, public speaking, hingga MTQ (Majelis Tilawatil Qur’an).

Pada tahun 2010 saat duduk di bangku SMA, ia meraih sederetan penghargaan di ajang Festival Film Anak Aceh yang diselenggarakan oleh dinas sosial dan didukung oleh UNICEF Indonesia, atas hasil karya filmnya yang berjudul “Masihkah Punya Harapan?”

Film berdurasi 15 menit tersebut, menceritakan tentang anak dari keluarga kaya yang kabur dari rumah karena tidak diizinkan sekolah. Anak itu rela mengemis dan menyemir sepatu untuk mendapatkan biaya bersekolah.

Film yang digarap Aula selama satu bulan tersebut diakuinya terinsipirasi dari kisahnya sendiri namun ada perubahan cerita di dalamnya.

“Alhamdulilah, kita dapat penghargaan film terbaik sama sutradara terbaik, aktor terbaik, aktor itu saya langsung juga, jadi sutradara merangkap sebagai aktor,” kenangnya sambil tertawa.

“Kemudian kita menang nominasi sebagai editor terbaik dan untuk penata artistik kita hanya masuk nominasi saja. Kita nggak menang,” tambahnya.

Hal tersebut ia lakukan karena bingung biaya untuk kuliah.

“Jadi itu ditujukan kepada 10 besar siswa-siswa berprestasi dari tiap sekolah untuk bisa masuk ke seluruh universitas negeri yang ada di Indonesia,” jelasnya.

“Saya bingung, karena ini sudah dapat undangan, trus nanti yang bayar uang sekolah siapa gitu ya? Akhirnya saya tidak terlalu antusias dengan undangan itu. Padahal itu sesuatu yang sangat priviledge dan sangat dinanti-nanti sebenarnya oleh setiap siswa gitu. Tapi saya nggak terima itu,” jelasnya.

Saat itu, Aula mengalami masa-masa sulit karena ia ingin melanjutkan kuliah namun ekonomi keluarganya tidak memungkinkan.

“Karena ada omongan kemarin ‘lu jangan harap deh bisa masuk kuliah deh, Aula. Kalau lu nggak bisa sogok orang dan lu nggak punya orang dalam,’” kenangnya.

“Seakan-akan dia mau ngomong bahwa, ‘oh, anak miskin itu nggak bisa sekolah. Anak miskin itu nggak bisa kuliah,” katanya.

Ia pun memutuskan mengikuti SNMPTN (Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri) dan memilih Universitas Syiah Kuala dengan jurusan pendidikan fisika, sesuai dengan keinginannya.

Ia pun berhasil masuk dan mendapatkan beasiswa,

“Di semester satu-lah baru dapat beasiswa Bidikmisi dan Alhamdulillah sampai dengan tamat dengan beasiswa dari Bidikmisi itu,” ungkapnya.

Sang ibu bahagia, apalagi sang anak bisa membantu keuangan keluarga.

“Walaupun memang tidak besar, tapi minimal ada-lah, kita kasih ke ibu untuk beli sayur, untuk makan sehari-hari,” ceritanya.

Saat menjadi mahasiswa di Universitas Syiah Kuala, Aula berhasil merah berbagai prestasi antara lain menjadi Raja Baca Provinsi Aceh, Duta Damai Provinsi Aceh, Duta Bahasa, juga menjadi perwakilan Indonesia dalam kegiatan Nusantara Leadership Camp.

Saat wisuda, Aula hanya ditemani oleh sang ibu karena ayahnya telah meninggal pada tahun 2004 lalu.

“Dan saya pengin banget memang ketika wisuda, ketika diumumkan Aula Andika sebagai mahasiswa berprestasi itu, saya pengen orang tua kedua-duanya bisa hadir gitu. Itu titik terendah saya,” tutur Aula.

Setelah lulus kuliah, Aula bekerja freelance sebagai blogger untuk dunia gaya hidup dan juga menekuni bidang media sosial.

Ia juga memulai terjun ke dunia pendidikan dengan mengajar Al-Qur’an dan Kitab Kuning di pesantren tradisional atau mengajar fisika, baik di kampus juga di sekolah untuk olimpiade sains nasional tingkat Aceh.

Aula pun bermimpi untuk melanjutkan kuliah di luar negeri. Ia pun dikenal sebagai ‘scholarship hunter’ alias pemburu beasiswa sejak kuliah.

“Selama S1 saya coba berbagai beasiswa, short course, conference, exchange program ke luar negeri selalu mendapat penolakan,” jelasnya.

Lima puluh tiga kali sudah Aula mendaftar beasiswa, tidak ada satu pun yang berhasil.

“Saya dari dulu tuh pengin banget ke luar negeri,” kata Aula dilansir dari VOA Indonesia.

“Tapi sudah (bulat), ‘Aula, ke luar negeri, naik pesawat, tapi enggak boleh dibayar sama diri sendiri,” kenang Aula.

Ia lalu mendapatkan informasi dari rekannya agar mendaftar beasiswa USAID prestasi untuk program S2 di Amerika. Saat itu, sang ibu menyuruh Aula untuk mencobanya walaupun anaknya telah gagal 53 kali.

“Coba sekali lagi,” ujarnya saat mengenang pesan ibunya.

Bukan hanya itu, Ibunya juga mengusahakan biaya agar anaknya ikut kembali mengambil tes TOEF karena sebelumnya Aula gagal mendapatkan nilai yang ia inginkan.

Padahal Aula mengerti keadaan ibunya yang waktu itu tidak punya uang.

“Ya, jualan sayur mana banyak uang sih, palingan 20 ribu atau 10 ribu (rupiah) per hari untung,” katanya.

Ia berhasil terpilih menjadi satu diantara 23 orang Indonesia yang mendapat beasiswa USAID prestasi untuk kuliah ke Amerika.

Aula pun diterima di Lehigh University di Bethlehem, Pennsylvania, yang masuk ke dalam daftar 50 universitas nasional terbaik di Amerika menurut situs U.S. News & World Report yang memuat berita, opini, dan juga ranking universitas.

Ia memilih jurusan Instructional Technology karena menurutnya penggunaan teknologi dalam proses pembelajaran bisa menjadi lebih menarik dan memotivasi baik siswa dan guru.

“Pemakaian teknologi dalam pembelajaran di Indonesia tuh belum terlalu ekstrim sebagaimana yang telah digunakan oleh negara-negara maju seperti Amerika, China, Korea, India dan lain sebagainya,” ungkapnya.

Ia berencana untuk menjadi bagian dari orang-orang yang membangun tekhnologi di dunia pendikan.

“Insya allah saya percaya dengan belajar di sini dengan involve di berbagai research activities yang ada di lehigh dan di luar akan memperkaya dan menjadikan Indonesia menjadi lebih baik dan bermanfaat insha allah pastinya untuk kita semua nanti itu.”

Mak Cut, sang ibu hadir di malam apresiasi tersebut untuk menerima penghargaan yang ditanda-tangani langsung oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Nadiem Makarim.

Aula mengaku bahagia ketika mengetahui sang ibu terpilih, sekaligus senang karena akhirnya Mak Cut bisa berkunjung ke Jakarta.

“Ketiadaan orang tua yang lengkap, kemudian orang tua yang tidak berpendidikan, ekonomi yang tidak mendukung itu tidak menghalangi kita untuk mencapai apa yang kita mau. Tidak menghalangi anak-anaknya untuk bisa berpendidikan dan melanjutkan pendidikan sampai dengan ke level yang tertinggi dan di luar negeri dan di negara yg paling adidaya di dunia gitu,” jelasnya,

Ia juga mengatakan banyak pesan-pesan baik dari orangtuanya yang ditanamkan dalam dirinya.

“Ibu selalu berpesan, ‘Aula boleh ke mana saja. Aula boleh tinggal di mana saja, tapi harus tetap menjadi Aula.’ Dalam artian bahwa jangan pernah tinggalkan salat, jangan pernah tinggalkan mengaji, jangan pernah tinggalkan nilai-nilai dasar keislaman yang memang itu selalu ditanamkan dalam keluarga,” katanya.

“Kalau almarhum Ayah berpesan dulu, ‘Aula tetap lakukan kebaikan walaupun itu kecil dampaknya. Tapi jangan pernah berbuat sesuatu, tapi tidak bermanfaat untuk orang lain,’” kenangnya.

“Seandainya nilai-nilai itu tidak diajarkan selama ini di dalam keluarga, tentu Aula tidak akan menjadi Aula yang se-strong ini, tidak akan menjadi Aula yang seperti sekarang ini,” ujarnya.

Ia juga menyampaikan pesan kepada rekan-rekannya agar tidak menjadikan keterbatasan sebagai penghalang untuk mendapatkan cita-citanya.

“It’s not about perfect. It’s all about effort. Tak perlu harus melulu sempurna, namun segala cita-cita bisa diraih dengan berusaha," pungkas Aula.

https://regional.kompas.com/read/2019/12/06/06300001/53-kali-gagal-tembus-beasiswa-anak-pedagang-sayur-berhasil-kuliah-di-amerika

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke