Salin Artikel

Kisah Pengungsi Gempa Maluku, Sengsara di Tenda, Dipungut Rp 100.000 untuk Nikmati Penerangan

Beberapa tenda darurat berada di hutan dan perbukitan desa.

Ribuan warga desa harus rela meninggalkan perkampungan dan memilih tinggal di tenda darurat, setelah rumah mereka roboh saat gempa bermagnitudo 6,8 yang mengguncang wilayah Pulau Ambon dan sekitarnya pada 26 September lalu.

“Mau bagaimana lagi kita harus ikhlas terima semua cobaan ini, kita tahu ini cobaan dari Allah,” kata Firda Sangaji, salah satu pengungsi, saat ditemui Kompas.com di lokasi pengungsian di perbukitan Rahaban, Desa Liang, Rabu (13/11/2019) sore.

Firda mengisahkan, saat hari pertama mengungsi, keluarganya hanya tidur beralaskan tanah.

MSaat itu mereka begitu dihantui rasa takut karena gempa susulan terus terjadi. Mereka tidak berani kembali ke perkampungan untuk mengambil perbekalan.

Saat ini pun dia dan pengungsi lainnya masih sangat trauma untuk turun ke perkampungan, karena gempa susulan masih terus terjadi.

“Kalaupun turun ke kampung hanya cepat-cepat langsung balik lagi, karena saya takut di sana,” ujar dia.

Selama di lokasi pengungsian, Firda dan keluarganya menggantungkan hidup dari bantuan yang disalurkan.

Namun, meski bantuan terus berdatangan, mereka jarang mendapatkannya.

Dia mengaku sejak gempa pertama sampai saat ini mereka belum pernah ke bagian terpal yang dibagi di lokasi pengungsian.

Mau tidak mau, suaminya harus mengeluarkan uang untuk membeli beberapa terpal untuk dibuatkan tenda.

“Kalau beras, mi instan dan telur serta air mineral memang kita dapat dua minggu sekali. Tapi untuk kain, handuk dan selimut kita tidak pernah dapat itu semua. Padahal banyak bantuan yang masuk, tapi tidak apa-apa kita sabar saja,” ungkap dia.

Saat ini untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, Firda berjualan kue di lokasi pengungsian.

Uang yang terkumpul digunakan untuk keperluan makan dan kebutuhan sekolah anaknya.

”Kalau tidak begini siapa yang mau lihat kita jadi harus berjualan,” ujar dia.

Pilih kasih

Beberapa pengungsi lain yang ditemui di lokasi pengungsian mengaku penyaluran bantuan selama ini sangat tidak merata.

Itu karena posko induk  yang mengelola pendistribusian bantuan kepada pengungsi baik dari pemerintah maupun relawan kerap pilih kasih dalam membagikan bantuan.

Fatima Lessy salah seorang pengungsi mengaku banyak sekali bantuan yang disalurkan ke posko induk di desa tersebut.

Sayangnya banyak pengungsi tidak kebagian bantuan.

“Dong (mereka) itu bagi lihat-lihat orang, kalau suadaranya mereka bagi sampai dua tiga kali, kadang mereka panggil diam-diam lalu kasih. Kalau kita yang bukan sudara begini saja,” keluh Fatima.

Menurut Fatima, untuk mendapatkan jatah terpal saja dia harus mengemis ke posko dan menunggu kurang lebih satu bulan lamanya barulah diberikan.

Padahal terpal dan kebutuhan lainnya tidak hanya didatangkan dari BNPB tapi juga relawan dan komunitas lain.

Sementara untuk kebutuhan bahan pokok, sejak sebulan lebih mengungsi keluarganya hanya mendapat bantuan beras, mi instan, telur dan juga air mineral.

Namun bantuan itu tidak setiap hari didapat.

“Kita dapat kadang beras 1 kg, kadang 2 kg dan paling banyak itu 5 kg tapi itu dua minggu sekali. Kalau telur itu dua butir lalu air mineral empat gelas, dan mi itu kadang empat bungkus kadang dua bungkus. Kalau yang lain tidak pernah dapat,” ungkap dia.

Para pengungsi mengaku terpal yang mereka terima saat ini sudah robek. Sehingga saat hujan tiba, banyak pengungsi yang kebasahan dan tidak bisa tidur di malam hari.

“Kalau hujan sering bocor tapi tidak tahu terpal itu diberikan ke siapa, kita tidak dapat itu,” kata pengungsi lain, Hamza Rehalat.

Sama dengan pengungsi lainnya, Hamzah juga menilai pembagian bantuan kepada para pengungsi selama ini tidak dilakukan secara merata.

“Pembagian bantuan bagi pengungsi d isini tidak benar, tidak merata karena lihat-lihat orang juga,” kata dia.

Ganti tenda

Saat ini banyak tenda pengungsi yang sudah bocor. Beberapa dari mereka menggantinya dengan atap rumbia.

Hal itu dilakukan karena mereka tidak tahan berada di dalam tenda saat siang hari karena panas, dan tidak ingin kebasahan saat hujan.

Naim Lessy  yang ditemui Kompas.com di lokasi pengungsian mengaku, dia dan keluarganya selama ini tidak betah berada di dalam tenda karena terlalu panas.

Selain itu kondisi terpal yang mulai sobek membuat dia terpaksa membuat  bedeng dari kayu di lokasi pengungsian.

“Kalau terpal kasihan anak-anak tidak bisa tidur, soalnya terlalu panas. Apalagi di dalam tenda itu kita berdesak-desakan,” ujar dia.

Naim mengatakan, saat ini para pengungsi yang rumahnya rusak akibat gempa telah didata oleh dinas sosial dan pemerintah desa setempat.

Namun, sejauh ini mereka belum mengetahui kapan bantuan pemerintah untuk membangun kembali rumah bisa dicairkan.

 “Kalau boleh segera diberikan agar kita yang rumah rusak bisa membangun rumah yang layak biar dari papan saja dulu,” kata Naim.

Pengungsi lainnya, Jefri Salamoni mengatakan, untuk membangun hunian sementara di lokasi pengungsian mereka  harus mengeluarkan uang pribadi untuk membeli kayu dan tripleks, serta atap rumbia.

“Tadinya mau cari gaba-gabah (pelapa sagu), tapi sudah habis jadi kita beli bahan sendiri dan kerja sendiri,” kata Jefri.

Dia mengaku banyak orang tua yang sakit-sakitan karena kondisi di lokasi pengungsian sangat tidak layak, sehingga memengaruhi kondisi kesehatan.

Apalagi banyak orang tua yang tidur berdesakan dalam kondisi kedinginan.

“Jadi kami putuskan bangun rumah sederhana ini, biar orang tua kita bisa tidur dengan lebih nyaman. Aoalnya kalau masih pakai tenda itu, kalau hujan dan angin kencang pasti basah,” ujar Jefri.

Setor Rp 100.000

Tidak hanya terpal dan tenda yang dikeluhkan, para pengungsi juga mengeluhkan minimnya perhatian pemerintah soal penerangan di lokasi pengungsian.

Khusus di Desa Liang, warga yang ingin mendapatkan penerangan harus rela mengeluarkan uang mulai dari Rp 50.000 hingga Rp 100.000, jika ingin mendapatkan layanan listrik.

Kocek dikeluarkan karena para pengungsi tak tahan hidup dalam gelap.

Salah satu pengungsi, Ahmad mengatakan, ada petugas PLN yang mematok sejumlah uang dari setiap pengungsi yang ingin mendapatkan penerangan.

Uang itu digunakan untuk memasang jaringan ke lokasi pengungsian.

Meski dirasa berat, Ahmad tetap membayar karena penerangan menjadi kebutuhan mendesak.

Selama ini para pengungsi selalu menggunakan lampu charger dan juga ada yang menggunakan lampu berbahan minyak.

Sebagian ada yang menggunakan mesin gengset.

Kondisi itu dirasa sangat berat sehingga mereka berharap agar ada penerangan listrik dari PLN.

“Jadi tidak apa-apa biar kita bayar yang penting kita bisa dapat penerangan listrik daripada setiap hari beli minyak,” kata dia.

Kepala Desa (Raja) Waai, Zeth Bakarbessy mengatakan, ribuan warganya di lokasi pengungsian saat ini sangat membutuhkan penerangan listrik.

Untuk kepentingan tersebut, pihaknya telah berkoordinasi dengan pihak PLN. Namun, sampai saat ini belum ada titik terang.

“Apalagi ini sudah mau menjelang Hari Natal, kita berharap ada listrik masuk ke lokasi pengungsian,” kata dia.

Dia menyebut, ada jaringan listrik yang sudah terpasang ke lokasi pengungsian di desanya sebelum  terjadi gempa.

Hanya saja jaringan listrik tersebut tidak dapat dimanfaatkan untuk seluruh tenda di lokasi pengungsian.

“Hanya bisa untuk 30 tenda saja, jadi kita berharap agar semuanya bisa mendapatkan penerangan,” ujar Zeth.

Terkait kebijakan mematok sejumlah uang dari pengungsi, Manager Komunikasi PLN Wilayah Maluku-Maluku Utara, Ramli Malawat membantah bahwa pihaknya mengeluarkan kebijakan tersebut.

“Tidak benar itu, kalau pun itu ada mungkin itu oknum ya. Nanti silakan dilaporkan dan kita akan tindak lanjuti,” ujar Ramli.

Khusus untuk pengungsi di Desa Waai, Ramli mengataka, pemerintah desa telah menyampaikan hal itu kepada pihak PLN.

Namun, yang menjadi kendala adalah jaringan listrik tidak melewati jalur pengungsian di desa tersebut.

Saat ini ada jaringan listrik yang dipasang untuk pelanggan khusus di wilayah itu. Namun, hal itu tidak bisa memenuhi kebutuhan pasokan listrik untuk seluruh pengungsi di wilayah tersebut.

Pihaknya pun berencana dalam jangka panjang akan memasang jaringan listrik hingga ke lokasi pengungsian.

"Untuk jangka pendek ini kami berharap pemerintah bisa membantu penerangan bagi para pengungsi dengan gengset ya. Karena untuk memasang jaringan ke sana itu butuh waktu dan juga infrastruktur, jadi butuh 27 tiang listrik karena jaraknya jauh ya,” ungkap Ramli.

https://regional.kompas.com/read/2019/11/13/16381961/kisah-pengungsi-gempa-maluku-sengsara-di-tenda-dipungut-rp-100000-untuk

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke