Salin Artikel

Kisah Guru di Pedalaman Papua, Gaji Habis Beli Air dan Minyak Tanah

KOMPAS.com - Pengabdian para guru yang mengajar di pedalaman Papua belum mendapat penghargaan yang setimpal dari sisi kesejahteraan.

Hal itu dialami Diana Cristian Da Costa Ati (23), seorang Guru Penggerak Daerah Terpencil (GPDT) yang merupakan program Bupati Mappi.

Dengan tingkat kesulitan dan minimnya sarana infrastruktur di tempatnya mengajar, Diana dan rekan-rekannya hanya menerma gaji Rp 4 juta per bulan.

Nilai itu pun masih harus dipotong pajak pendapatan 5 persen dan untuk mengambil gaji ia harus menyewa perahu kecil (katinting).

"Gaji kami Rp 4 juta dipotong pajak 5 persen Rp 200 ribu, jadi kami terima Rp 3,8 juta. Kalau mau ambil gaji, kami harus ke Distrik Haju," ujar Diana saat dihubungi melalui telepon, Selasa (12/11/2019).

Untuk mengakali mahalnya biaya trasportasi, dia bersama rekan seprofesinya biasa mengambil gaji ke Bank Papua setiap dua bulan sekali.

Selain itu, mahalnya biaya kebutuhan sehari-hari, membuat gaji yang mereka terima seperti cepat habis.

Diana yang mengajar di SD Inpres Kaibusene, Distrik Haju, Kabupaten Mappi, menyebut bila harga minyak tanah dan BBM di tempatnya sangat tinggi.

"Harga minyak tanah Rp 50 ribu per 5 liter, bensinnya 5 liter Rp 150 ribu," ucapnya.

Namun, ia mengaku bila sebagian besar gaji mereka habis untuk membeli air mineral.

"Biasa kita beli air mineral gelas perkartonnya Rp 100 ribu, biasa kita beli 10 dus untuk bertiga selama satu bulan. Kalau pas jalan kaki itu kita bawa satu-satu karton, lalu kita sewa anak murid dua orang untuk bantu kita," kata Diana.

Kondisi Distrik Haju yang merupakan wilayah rawa, tidak memungkinkan untuk mereka mengonsumsi air dari lokasi tersebut.

"Kita di sana borosnya di air minum, karena kondisi tempat tinggal kita kaya Asmat (rawa-rawa), jadi airnya tidak bisa untuk minum, jadi kita sangat bergantung sekali dengan air mineral," tutur Diana.

Bahkan untuk situasi tertentu, mereka kesulitan mendapat bahan makanan, karena bila sungai sedang surut perahu tidak bisa digunakan.

Solusinya, mereka harus berjalan kaki cukup jauh dengan kondisi medan yang berawa.


"Sempat kali kering itu kita sempat mau mati kelaparan karena tidak bisa ke distrik. Jadi kita jalan kaki 7 kilometer lebih untuk bisa sampai ke distrik cari bahan makanan," ungkapnya.

Untuk mendekatkan diri dengan para murid, Diana dan kedua rekannya pun membuat sebuah program "Minggu Gizi".

Setiap hari minggu, mereka memberi makan para siswanya sebagai bentuk rasa syukur.

"Di sekolah kita kasih makan anak murid, program itu dari uang gaji, kita anggap itu perpuluhan kita, kita masak sendiri, kita masak ala kadarnya," ucap Diana.

Siswa mulai bisa membaca

Meski kondisi demikian, Diana dan rekannya tidak menyerah dan kembali ke kampung halamannya masing-masing.

Diana yang lahir di Dili, 12 Februari 1996, mengaku ingin bertahan karena melihat semangat belajar yang ditunjukkan muridnya. 

"Mereka 70 persen sudah bisa membaca, hanya yang baru datang dari hutan itu yang nereka harus dilatih lagi," tuturnya.

Karena itu, ia berharap dengan terpilihnya Nadiem Makarim sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud), bisa membawa perubahan bagi dunia pendidikan di Papua, khususnya untuk wilayah pedalaman.

Diana juga menyoroti tentang ambruknya sekolah di Pulau Jawa yang kemudian direspons cepat oleh pemerintah. Situasi tersebut, kata dia, banyak terjadi di pedalaman Papua, namun kurang mendapat perhatian.

https://regional.kompas.com/read/2019/11/13/09405291/kisah-guru-di-pedalaman-papua-gaji-habis-beli-air-dan-minyak-tanah

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke