Salin Artikel

Surat untuk Mendikbud Nadiem, dari Guru di Pedalaman Mappi, Papua

TIMIKA, KOMPAS.com - Guru Penggerak Daerah Terpencil (GPDT) Kabupaten Mappi, Provinsi Papua, Diana Cristiana Da Costa Ati, menulis surat terbuka untuk Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim.

Surat terbuka itu ditulis Diana dalam akun Facebooknya, pada Kamis (7/11/2019), dan sudah dibagikan 306 kali hingga Senin (11/11/2019).

Kompas.com kemudian menghubungi Diana melalui telepon seluler untuk mengklarifikasi surat tersebut.

Diana membenarkan surat terbuka yang ditulisnya itu.

Dalam suratnya itu, Diana memberikan selamat kepada Nadiem Makarim yang ditunjuk Presiden Joko Widodo sebagai Menteri Pendidikan dan Kebudayaan.

Diana pun menyampaikan permohonan maaf telah menulis surat terbuka ini, karena dia sadar bukan orang yang berpengaruh dalam dunia politik atau di instansi pemerintahan.

Tetapi, dia mengakui hanya seorang guru yang ditugaskan di pedalamam Kabupaten Mappi, Papua, pada 3 Oktober 2018 sebagai seorang GPDT.

Diana dapat bertugas di pedalaman Mappi, setelah lulus seleksi dalam program yang dibuat Bupati Mappi Kritosimus Yohanes Agawemu, bekerja sama dengan pihak Gugus Tugas Papua UGM.

Diana menceritakan, setelah tiba di Mappi, dia kemudian bertolak ke Kampung Kaibusene, tempat dia bertugas, pada 16 November 2018.

Untuk mencapai kampung tersebut, dia harus bertolak dari Distrik Assue menggunakan perahu ketinting dengan waktu tempuh kurang lebih 9 jam.

"Kami beberapa kali bertemu rumpun tebu rawa yang menghalangi perjalanan yang cukup menguras tenaga untuk dilewati. Kami berhenti dan membersihkan jalan tertutup itu. Ada yang terbayarkan dari perjalanan itu. Banyak ikan gabus bermunculan, berlompatan di permukaan air. Udara yang menyegarkan pikiran sedikit membantu melupakan letih yang menjalar dalam tubuh," cerita Diana.

Diana terkejut, saat tiba di Kampung Kaibusene. Air matanya pun jatuh karena melihat kondisi kampung, di mana masyarakat hidup di atas lumpur bila musim kemarau, dan genangan air rawa saat musim hujan.

Selain itu, saat tiba kondisi kampung sedang sunyi, sebab masyarakatnya ke hutan mencari gaharu dan mengumpulkan makanan sambil membawa anak-anak mereka.

Ironisnya, tulis Diana, guru yang ada untuk sekolah di kampung tersebut selama ini hanya 2 orang, terdiri dari 1 PNS dan 1 honorer. Keduanya harus mengajar lebih dari 50 anak.

Parahnya lagi, bangunan sekolah hanya ada 3 ruangan untuk 6 tingkatan kelas SD. Sehingga, dua kelas harus digabung dalam 1 ruangan.

"Anak-anak bercerita bila ada urusan di kabupaten, sekolah diliburkan dengan batas waktu yang tak tentu. Bila sudah mencapai seminggu lamanya, anak-anak berangkat ke hutan," kata Diana.

Diana, dan dua rekannya yang juga GPDT Antonius Tampani dan Inda Rovitha Meyok, tidak dapat menerima kenyataan ini.

Dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) yang seharusnya untuk keperluan sekolah seakan tidak tersentuh.

Bagaimana tidak, ruang kelas layaknya gudang harus ditempati untuk menuntut ilmu. Tidak ada seragam, buku, pensil, meja dan bangku layak pakai.

Anak-anak harus duduk di lantai, membungkuk untuk belajar menulis. Ada beberapa bangku namun sudah reyot.

Seorang anak mencoba duduk namun roboh seketika. Diam-diam mereka sepakat untuk duduk di lantai. Saat hendak menulis di meja, mejanya bergoyang.

"Ibu guru kami takut meja patah, kata seorang murid. Tidak lagi peduli pada meja dan bangku. Kami semua duduk melantai sambil belajar menulis abjad," tutur Diana.

Diana mengapresiasi, solusi Bupati Mappi mendatangkan GPDT untuk membasmi pelan-pelan virus buta huruf di Mappi.

Namun, apakah dua tahun mengajar di pedalaman membasmi buta huruf cukup? Tentu tidak.

Diana menaruh harapan, kepada Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim membuat program skala nasional untuk mencerdaskan anak-anak di pedalaman.

"Indonesia bukan hanya Jawa, kami pun Indonesia. Indonesia bukan hanya kota-kota besar yang sudah canggih dengan aplikasi-aplikasi pendidikan yang mudah didapat lewat Android. Kami di pedalaman yang masih belajar mengenal abjad juga Indonesia," kata Diana.

"Pak Surya Paloh pernah berkata dalam sebuah acara bertemakan Pertaruhan Sang Ideologi. Saya mau lihat Indonesia yang seutuhnya. Saya mau lihat seiring dengan matahari yang terbit dari ufuk timur, suatu ketika dalam waktu yang tidak lama ada anak-anak Indonesia yang rambutnya keriting, kulitnya hitam, jadi presiden di republik ini," tutur Diana.

Diana setuju dengan pernyataan Surya Paloh, namun untuk saat ini Diana hanya ingin melihat buta huruf mati terkapar saat suara lantang anak-anak pedalaman Indonesia membaca buku.

"Seiring dengan matahari yang terbit dari ufuk timur, saya ingin melihat anak-anak sekolah di pedalaman Mappi bisa menulis cerita mereka dari pena dan kertasnya tanpa merasa sulit menyusun kata pada kumpulan aksara yang terbentang dari A-Z," tutup Diana, dalam surat terbukannya.

https://regional.kompas.com/read/2019/11/11/15575701/surat-untuk-mendikbud-nadiem-dari-guru-di-pedalaman-mappi-papua

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke