Salin Artikel

Rencana Pemekaran Wilayah Papua Selatan, Aspirasi Siapa?

Tokoh pemuda Papua, George Saa, mengatakan pemekaran wilayah Papua Selatan yang diwacanakan Mendagri Tito Karnavian hanya akan memperpanjang konflik yang tengah terjadi di Papua.

George merujuk pada sejumlah konflik yang terjadi di Papua, di antaranya konflik bersenjata di Nduga hingga aksi-aksi menentang rasialisme yang terjadi di Papua dan Papua Barat, yang menurut data Yayasan Lembaga Hukum Indonesia, menelan korban setidaknya 37 jiwa.

Jika pemekaran terjadi, George mengkhawatirkan konflik ekonomi yang akan terjadi karena ia sangsi masyarakat asli Papua akan menikmati manfaat langsung dari pemekaran itu.

"(Jika) pemekaran wilayah masuk, pembangunan masuk, ini akan mengundang siapapun dengan segala bentuk kapital yang ada masuk (ke Papua) dan ujung-ujungnya orang Papua dengan tanah wilayahnya menjadi objek pembangunan," ujar George.

George, yang kini bermukim di Jayapura, mengatakan ketidakpuasan masyarakat bisa memicu protes-protes yang bisa berujung pada kekerasan.

Sementara itu, Diego Romario de Fretes, dosen Ilmu Pemerintahan di Universitas Cenderawasih mengatakan sejumlah masyarakat Papua khawatir pemekaran wilayah akan berujung pada konflik dengan pihak militer, sebagaimana terjadi di Nduga.

Ia mengatakan pendirian sebuah wilayah baru akan diikuti dengan pembangunan markas-markas militer juga kantor-kantor kepolisian dan itu meresahkan masyarakat, yang disebut Diego trauma dengan pelanggaran HAM.

"Menurut masyarakat yang saya temui, mereka takut, mereka ada di bayang-bayang militer," ujarnya.

Sebelumnya, Tito merencanakan pembentukan provinsi Papua Selatan yang terdiri dari Kabupaten Asmat, Mappi, Boven Digul, dan Merauke.

Kabupaten Merauke sendiri rencananya akan dipecah menjadi Kota Merauke dan Kabupaten Merauke.

Keitika ditanya lebih lanjut mengenai pertimbangan untuk menjadikan Papua Selatan sebagai provinsi, Direktur Jenderal Otonomi Daerah, Akmal Malik, menjawab singkat bahwa hal itu masih dalam kajian kementerian.

"Kenapa di tengah situasi di Papua yang sedang berkonflik di mana-mana?...Ini terkesannya yang mau didorong dan dipaksakan secara sepihak," ujar George.

Menurut George, ide pemekaran wilayah harusnya berasal dari masyarakat, melalui diskusi internal yang melibatkan warga Papua, para akademisi, Dewan Perwakilan Rakyat setempat hingga provinsi, hingga gubernur.

Alih-alih seperti itu, ia mengatakan ide pemekaran ini berasal dari ide 61 orang Papua yang diundang Presiden Joko Widodo ke Istana Negara pada September lalu.

Di sisi lain, menurut Saleh Sangadji, salah satu dari 61 orang yang diundang presiden itu, pemekaran wilayah Papua Selatan penting untuk mendekatkan masyarakat wilayah itu dengan birokrasi.

Saleh, warga Kabupaten Mappi, mengatakan saat ini perwakilan masyarakat Papua Selatan sangat minim di level pemerintahan, termasuk di tingkat provinsi di Jayapura.

Padahal, katanya terdapat perbedaan budaya antara masyarakat di Papua Selatan dengan mereka yang tinggal di utara.

"Kami orang Selatan hampir tidak ada orang di birokrasi. Jangankan birokrasinya, tukang sapu pun tidak ada," ujarnya.

Dengan pemekaran daerah, ia berharap sarjana-sarjana asli Papua Selatan dapat menduduki posisi-posisi di pemerintahan dan menekan angka pengangguran di wilayah itu.

Saleh menambahkan, ia yakin pemekaran wilayah akan membawa peningkatan ekonomi, juga kualitas pendidikan dan pelayanan kesehatan masyarakat.

Ia mengatakan yang dibutuhkan bukan pemekaran wilayah, tapi manajemen dana otonomi khusus yang lebih baik agar kualitas perekonomian, pendidikan, hingga kesehatan di suatu wilayah dapat membaik.

"Saya lebih setuju kalau yang dibuat bukan pemekaran, tapi basis pendidikan di masing-masing daerah di Papua. Misalnya di Papua ada tujuh wilayah adat, kalau bisa di setiap wilayah adat dibangun universitas," kata Diego.

"Itu lebih urgent dari pembagian wilayah administrasi yang sebenarnya tidak dirasakan (manfaatnya) oleh masyarakat."

Sementara itu, tokoh pemuda Papua George Saa menilai untuk menyelesaikan konflik yang terjadi di Papua, pemerintah perlu menyelesaikan empat akar permasalahan di Papua, seperti yang disebut Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, yakni terkait: sejarah dan status politik,
pelanggaran HAM dan kekerasan negara, kegagalan pembangunan; diskriminasi dan rasisme.

"Satu atau dua saja diselesaikan. Beliau (Presiden Jokowi) kan sudah dua periode menjabat," ujarnya.

Namun, saat ini Nduga adalah wilayah termiskin di Papua.

Saleh mengatakan yakin bahwa apa yang terjadi di Nduga tidak akan terjadi di Papua Selatan.

Selain infrastruktur yang sudah lebih siap dibadingkan dengan Nduga, kata Saleh, Papua Selatan memiliki sumber-sumber perekonomian, seperti pertanian, perikanan, hingga tambang emas.

Kementerian Dalam negeri masih mengkaji hal tersebut.

Direktur Jenderal Otonomi Daerah, Akmal Malik, mengatakan kementerian akan mengevaluasi pemekaran wilayah sebelumnya yang belum berhasil, seperti yang terjadi di Nduga, sebagai bahan pertimbangan melakukan pemekaran wilayah ke depannya.

"Yang dipelajari, daerah-daerah itu tidak (boleh) memiliki sengketa batas, harus memiliki kapasitas fiskal, memenuhi persyaratan jumlah daerah otonom yang sudah berdiri selama lima tahun, dan kapasitas sumber daya manusianya," ujarnya.

https://regional.kompas.com/read/2019/11/01/09190001/rencana-pemekaran-wilayah-papua-selatan-aspirasi-siapa-

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke