Salin Artikel

Potre Koning, Seni Lingkungan, dan Tiga Seniman

Seperti kata Beuys, ia akan menjadi energi baik bagi sekitarnya, menjadi organisme sosial dengan medium seni tak hanya soal pangan, namun memberi seni pada hidup.

Alkisah, Profesor Achmad Subagio, Guru Besar Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Jember (Unej), gelisah dengan program-program Kuliah Kerja Nyata (KKN) mahasiswanya.

Sebab, ia ingin melakukan terobosan-terobosan aktivitas yang membeda di institusi yang dipimpinnya di Lembaga Pengabdian dan Penelitian kepada Masyarakat (LP2M) Universitas Jember.

Farhan yang diakui sebagai seniman yang piawai menggunakan seni bercorak stensil bersama-sama penulis dan seorang seniman lain, perupa dan penata artistik Aidil Usman, bersepakat membuat kerja-seni berbasis lingkungan hidup.

Karya ini menyatu dengan bukit-bukit gersang namun indah di kawasan Bondowoso, Jawa Timur, pada 6-9 Oktober 2019.

Mereka bersama-sama menggagas dan mendiskusikan ulang apa sebenarnya peran dan fungsi seni. Konsep ala seniman Jerman, Joseph Beuys, kembali diundang dalam ingatan.

Beuys menjadi garda terdepan seniman yang menguarkan bahwa seni bukan semata-mata yang materiil, namun imaterial.

Legenda Potre Koneng

Perbincangan antara seniman dan ilmuwan, serta penulis sendiri, yang kemudian berkolaborasi membuat karya mengental dengan upaya memberi makna dan narasi di tempat yang disepakati untuk berkolaborasi.

Potre Koning, legenda lama tentang seorang putri di abad ke-14, keturunan raja-raja Sumenep di Pulau Madura tiba-tiba hadir di perbukitan di Bondowoso, dan menjadi perbincangan seniman-seniman itu.

Arah jalan beraspal mengelilingi bukit-bukit, jalan utama lalu lintas menuju wilayah yang dinamai Arak-Arak, mendaki dan berkelok dengan akses menuju kota Situbondo, di desa Sumber Canting, Kecamatan Wringin, Jawa Timur menjadi pusat perhatian.

Lokasi yang lumayan kering dengan tetumbuhan pohon sengon, ladang-ladang tembakau milik penduduk lokal, disamping beberapa ekor kera yang sesekali memperlihatkan diri, membuat penulis pada waktu mengobservasi lokasi memberi impresi tersendiri.

Tentu saja, para pengunjung jika ingin menuruni bukit, merasakan sejuknya mata air, mesti berhati-hati, jurang menanti di sisi kiri.

Dongeng setempat, secara unik mempertemukan akulturasi corak etnik Jawa-Madura membawa cerita tentang Gua Mustajab, yang membawa keberkahan tertentu jika para pengunjung merajut harap, keberuntungan atas rezeki atau permintaan akan jodoh.

Tradisi lisan kemudian menjadi penting. Ujaran-ujaran yang khas etnik Madura menjadi narasi utama, bagaimana seni memberi penanda di sana dalam memori kolektif.

Seniman cum ilmuwan memulai dengan pertanyaan-pertanyaan. Apakah legenda, sebuah kejadian yang benar-benar nyata, di masa lalu, yang kemudian dibumbui ulang beragam kisah, seterusnya bertransformasi menjadi mitos berperan dalam konteks seni lingkungan?

Semua itu kemudian membentuk segugus bidang- bidang imajinasi dan riil berupa ruang yang spesifik dan goresan-goresan cat seniman berbahan air dengan mal, konstruksi bambu seterusnya menjadi panggung terbuka, menjadi ruang yang kompleks dimaknai dan diisi dengan karya seni.

Proyek seni lingkungan ini dimulai, mempertemukan materi berbahan alami, bambu-bambu yang dipotong dan bendera bersimbol tertentu atau lilitan tali-temali yang kemudian mentrasfer harapan-harapan.

Transfer harapan berupa sejumlah pengunjung bertandang ke gua memberi berkah riil: menghidupi manusia, dari mereka yang menjadikan lokasinya destinasi wisata dan yang bekerja di industri di dalamnya.

Orang-orang sederhana yang menggantungkan nafkahnya di lingkungan hutan itu, kampung-kampung bersahaja, menjadikan estetika dan nilai-nilai yang disandangnya yang dikatakan ini seni dan itu bukan seni menjadi kian terpiuh dan menegangkan untuk dicengkeram dalam kuasa estetika dan paradigma tertentu.

Ruang dan simbol tiga seniman

Profesor Subagio, sebagai inisiator yang berpikiran lateral dengan wawasan yang unik, membebaskan para seniman merespons apa pun, yang ada di lokasi.

Demikian halnya, seorang penduduk, seorang wakil sesepuh desa bernama Sugiono mengerahkan pemuda setempat, yang memiliki talenta artistik.

Beberapa pemuda itu, yang kemudian diketahui punya pengalaman berkesenian tradisi dan pembuat ukiran-kerajinan, mereka berkumpul bersama, berdiskusi mendalam dengan mahasiswa-mahasiswa Unej yang direkrut untuk ikut terlibat bersama-sama para seniman.

Farhan Siki membawa perlambang bendera-bendera segitiga, hitam, merah, dan putih membaca gugusan batang-batang pohon, mencoret-coret bentuk-bentuk seperti ranting atau rumput-rumput, batu dan menggambar daun, pohon yang patah, profil orang-orang menanam bibit, lingkaran-lingkaran serta bentuk-bentuk abstraktif yang lain.

Tampak kemudian mengerucut di pusat: konstruksi bambu yang menengadah ke langit, menandai yang dikatakannya sebagai mahkota Potre Koning.

Keduanya bertemu, selain seniman ketiga: ilmuwan teknologi pangan itu, yang terus saja mengamati, memberi respons komentar-komentar dan berpartisipasi menjajal torehan-torehan stensil.

Lalu mereka bersentuhan serta bergumul tentang dialektika lokasi, dongeng, penduduk dan mungkin seni yang tertanam dalam jarak ingatan, berdialog dalam diamnya alam, di benak pun impuls-impuls purba mereka tentang sebuah lokasi.

Tak lagi pada belenggu-belenggu yang dianggap tersakral atau yang paling profan, seperti apa yang sering dicatat sebagai seni partisipatoris atau seni yang berelasi secara estetis dengan orang-orang, megintimi kehidupan di luar seni sebagai hanya objek.

Farhan, dengan membawa makna partisipatoris itu, dengan cara menyodorkan kertas-kertas putih yang diisi masyarakat setempat di lokasi Potre Koning, harapan-harapan keras di bukit itu.

Farhan membawa teks-teks itu ke Jember, seterusnya, dipancangkan dengan bambu-bambu layaknya sebentuk gunung yang ujungnya lancip merah dan tersaput putihnya kain, yang diimbuhi torehan kata-kata berwarna-warni di awal ruas utama jalan menuju kampus Unej, sebagai semacam doa-doa yang dibawa dari perbukitan Bondowoso ke tengah-tengah kaum intelektual: Kampus Universitas.

Karyanya, kemudian menyalak dengan tajuk The Monument of Hope.

Yang jelas, warga diuntungkan tempat ini, Potre Koning, legenda yang hari ini berparas Desa Wisata Alam dan Seni di Bondowoso, Jawa Timur, yang bagi seniman dan penulis, masih banyak kerja artistik yang menanti di sana sedang mengeliat pasti.

Seni yang mampu membongkar efek represif dari sistem sosial dan kultural yang telah uzur; atau bahkan terlampau mapan mulai ditebarkan di mana-mana, bahkan jauh dari pusat-pusat seni di Pulau Jawa.

Seperti Beuys dengan pernyataanya “seni mampu membangun kesadaran ulang lewat lingkungan dan menjadi sebuah organisme sosial”. Semoga. (Bambang Asrini Widjanarko, Kurator Seni)

 

https://regional.kompas.com/read/2019/10/19/11372841/potre-koning-seni-lingkungan-dan-tiga-seniman

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke