Salin Artikel

17 Agustus: Kisah Penari Kepercayaan Bung Karno, Tetap Menari di Usia Senja

Mat Kanon atau Rahmat Basroil saat masih muda sering ikut lawatan Bung Karno keluar negeri untuk membawa misi kebudayaan.

Dia dan kawan-kawannya menari Jawa Klasik hingga Wayang Orang.

Kepada Kompas.com, Jumat (21/9/2019), Mat Kanon mengaku mengingat pesan yang disampaikan langsung oleh Presiden pertama RI, Soekarno, kepadanya sekitar tahun 1964 silam.

Pesan tersebut adalah "Kuncaraning bangsa dumunung haneng luhuring budaya."

Ungkapan bahasa Jawa itu kurang lebih bermakna "tingginya derajat bangsa terletak pada budayanya".

Belajar tari sejak SR dan kaki terkena granat

Mat Kanon menggeluti seni tari sejak Sekolah Rakyat (SR) setara SD.

Kala itu, dia sering melihat pertunjukan wayang orang di kampung-kampung. Ia kemudian belajar sendiri hingga bertemu dengan guru tari dan ikut menari dari kampung ke kampung.

Namun, kemauan Mat Kanon untuk menari ditentang keras oleh kakeknya yang religius. Sang kakek ingin cucunya belajar agama ke pesantren.

Ia menolak dan tetap menekuni seni tari. Ia memilih meninggalkan rumah untuk belajar tari.

"Saya minggat (kabur) dari rumah. Pergi ke Gunung Kidul, hidup seadanya di gunung, tapi tetap menari. Sampai suatu hari ikut lomba di Semarang dan menang juara 1. Setelah menang itu saya ketemu guru tari lagi dan diajari," katanya.

Setelah dari Semarang, dia pergi ke Purwokerto bersama guru tari barunya. Di sana dia kemudian dipercaya untuk menari di hadapan Presiden Soekarno saat upacara kenegaraan di Purwokerto.

Sejak saat itu, dia diajakk Bung Karno untuk menari di hadapan tamu-tamu negara keluar negeri seperti Malaysia, Singapura dan beberapa negara lainnya.

Setelah mengabdi pada Bung Karno, Mat Kanon memilih untuk mengajar tari dan sempat mengajar tari di Jerman walau sebentar.

Nama Mat Kanon disematkan padanya karena ada bekas luka di kaki karena terkena granat (canon) penjajah saat dia masih kecil.

Pada tahun 2018, Mat Kanon masih melatih anak-anak muda menari Jawa Klasik dan Wayang Orang di sekitar tempat tinggalnya di Dusun Bulu, Desa Podosoko, Kecamatan Sawangan, Kabupaten Magelang.

Mereka juga berlatih di sanggar milik milik seorang pecinta seni budaya, Tri Yudho Purwoko (Pur)

Kakek 13 cucu tersebut mengaku bertahan dengan tarian tersebut agar pakem tari Jawa Klasik tidak punah.

"Saya bersyukur ada Pak Pur yang peduli dengan seni dan budaya. Selama ini saya jarang dibayar, tapi di sini saya mendapat upah tiap bulan," ungkap Mat Kanon, yang sehari-sehari juga bekerja sebagai petani.

Upah dari latihan tari di sanggar, ia kumpulkan untuk membangun pendopo di depan rumahnya.

Di pendopo itu lah ia melatih menari anak-anak di sekitarnya. Ia juga mendapat bantuan dari sukarelawan yang peduli dengan kelestarian Tari Jawa Klasik.

Tri Yudho Purwoko tidak hanya menyediakan tempat untuk menari, namun dia juga menyediakan studio musik yang lengkap dengan alat musik hingga galeri seni rupa.

Ia mengaku mengapresiasi Mat Kanon yang masih bersedia menggeluti tari jawa tradisional meski di usia senja.

"Siapapun boleh berlatih menari di sini, gratis, saya sediakan ruangan di rumah saya," jelas Pur.

SUMBER: KOMPAS.com (Ika Fitriana)

https://regional.kompas.com/read/2019/08/17/11030041/17-agustus--kisah-penari-kepercayaan-bung-karno-tetap-menari-di-usia-senja

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke