Salin Artikel

Tradisi Keriang-keriut dan Perang Petasan, Rayakan Ramadhan di Pinggir Sungai Arut Pangkalan Bun

PANGKALAN BUN, KOMPAS.com - Orang Pangkalan Bun menyebutnya Keriang-keriut. Inilah tradisi yang dimulai saat bulan Ramadhan memasuki malam ke-21.

Saat ini tiba, warga di tepian Sungai Arut, yang melintasi Pangkalan Bun, Kalimantan Tengah, mulai menyalakan lampu minyak yang ditaruh di atas tempurung kelapa yang ditopang sebilah bambu.

Nyala api itu kemudian tampak berjejer di sepanjang tepi sungai tempat warga bermukim.

Kehadiran lampu minyak itu mengundang tonggeret, serangga yang berbunyi nyaring, yang oleh masyarakat Pangkalan Bun disebut keriangan.

 Suara serangga dari lengkingan panjang hingga akhirnya berhenti, itulah muasal istilah keriang-keriut untuk menyebut tradisi ini.

"Itu nyanyinya saja," kata Hadri, pria setengah baya asal Kelurahan Raja Seberang, Pangkalan Bun, itu pada Kompas.com, Kamis (30/5/2019) malam.

Tradisi keriang-keriut seperti itu eksis lebih dari tiga dekade lalu. Saat perkampungan di seberang Kota Pangkalan Bun belum teraliri listrik.

"Tahun 1990-an sudah hilang. Jadi ketika kita sudah ada lampu di jalan, hilang sudah (tradisi itu)," jelas Syahrani, juga warga Raja Seberang.

Namun, sejak Minggu (26/5/2019) malam, keriang-keriut dihadirkan lagi dalam sebuah festival yang disponsori pemerintah daerah.

Kelurahan Raja Seberang, bersama empat kelurahan lain, Mendawai Seberang, Mendawai, Kelurahan Raja, dan Kelurahan Baru yang berada di bantaran Sungai Arut terlibat dalam hajatan ini.

Bantaran Sungai Arut kini kembali ditaburi lampu minyak di dua sisinya. Tahun lalu, Keriang-keriut hanya digeber oleh Kelurahan Mendawai.

Improvisasi keriang-keriut

Festival Keriang-keriut memang dikemas lebih apik oleh Pemkab Kotawaringin Barat tahun ini.

Dalam acara pembukaan, Bupati Kotawaringin Barat Nurhidayah menuturkan, event ini juga dibuat agar seni-budaya lokal tidak tergerus oleh zaman.

Ia pun yakin tradisi ini bisa menjadi aset budaya dan pariwisata yang menarik pengunjung untuk datang ke Pangkalan Bun.

Malahan, beberapa komunitas masyarakat yang terlibat dalam event ini berani melakukan banyak improvisasi. Di beberapa jalan jembatan titian tepi sungai, yang tampak bukan lampu canting, melainkan lampu hias kelap-kelip aneka warna yang bersumber dari listrik.

Kelurahan Raja, misalnya, memanfaatkan hajatan ini dengan menampilkan perahu hias lampu, untuk mengantar pengunjung susur sungai.

"Kampung Raja lagi uji coba getek hias. Kalau banyak peminat, ditambah lagi unitnya," ujar Rangga Lesmana, Lurah Raja, Rabu (30/5/2019) malam.

Di Kelurahan Raja Seberang, warga menggelar kegiatan tambahan, yaitu pentas seni budaya, pada Selasa (29/5/2019) malam.

Tiga sanggar seni tradisional yakni Sahaluan, Tunas Anum, dan Barota berkolaborasi menampilkan tarian tradisi pesisir dan Dayak di Kotawaringin Barat.

Ada pula sesi berbalas pantun. Hadri mengenang sebait pantun yang biasa dilontarkan warga di malam-malam keriang-keriut tempo dulu.

"Keriang keriut.. Orang Seberang sakit perut. Apa obatnya, limau purut," kata dia, sambil tersenyum. 

Laduman dan petasan

Laduman, atau bunyi-bunyian dari meriam bambu, yang secara tradisional menyertai musim keriang-keriut, pun kembali ramai dimainkan anak-anak dan remaja bantaran Sungai Arut.

Benny Fattah (40) salah seorang warga Kelurahan Raja pun bernostalgia dengan mainan masa kecilnya ini.

"Ternyata mengulang masa lalu itu membuat kita canggung, dan sedikit mengelilu (lupa diri)," tutur dia, usai mencoba menyulut api saat meledakan laduman.

Namun, bunyi-bunyian tak hanya bersumber dari laduman. Kembang api pun mewarnai malam di Bantaran Arut.

Di malam terakhir keriang-keriut ini, Rabu (30/5/2019) malam, perang petasan mewarnai langit Pangkalan Bun. Saling lempar petasan kembang api di kedua sisi sungai, dari Kelurahan Raja dan Raja Seberang berlangsung seru.

Warga Bantaran Arut tampak bahagia dengan event ini. Awing Andika, anggota Karang Taruna setempat menyebut, pendapatan tukang perahu getek melonjak drastis saat keriang-keriut digeber.

"Dari yang rata-rata dapat lima puluh ribu, tujuh puluh ribu sehari, ini sampai lebih dua ratus ribu," ujar dia.

Ia dan kawan-kawannya pun menyambut pengunjung yang datang ke kampungnya dengan gembira. Sajian khas, coto menggala, singkong rebus dan singkong goreng yang disertai ikan asin dan sambal terasi, secara cuma-cuma mereka suguhkan.

https://regional.kompas.com/read/2019/05/31/12083001/tradisi-keriang-keriut-dan-perang-petasan-rayakan-ramadhan-di-pinggir-sungai

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke