Salin Artikel

Kisah Heera, Pengusaha Perempuan Indonesia Hadapi Diskriminasi di Dunia Kerja

Pemimpin empat perusahaan tersebut kemudian menceritakan pengalamannya di Hawaii 2018 lalu, saat mewakili Indonesia dalam The Canging Faces Women’s Leadership Seminar 2018.

Di acara tersebut terdapat 16 perempuan dari 13 negara, di antaranya China, Srilanka, Mongolia, Nepal, Tibet, Singapura, Thailand, Jepang, New Zealand, Amerika Serikat, dan Indonesia.

Heera mengaku, dalam pertemuan tersebut ia banyak belajar dan melihat perjuangan para perempuan di negara lain, terutama Srilanka.

“Perempuan Indonesia beruntung bebas berkarya. Di sana (Srilanka) masih memperjuangkan hak perempuan, seperti di masa Kartini. Kita dah lewatin masa itu, tinggal nikmati,” tuturnya.

Di sebuah desa di Srilanka, sambung Heera, diskriminasi masih tinggi. Perempuan sulit untuk mengenyam pendidikan tinggi. Mereka hanya diperbolehkan sekolah hingga SD, setelah itu menikah.

Sejumlah perempuan Srilanka yang perduli terhadap itu, akhirnya membuat suatu gerakan. Mereka aktif mengedukasi agar anak perempuan bisa berkarya dan sekolah lebih tinggi.

Berbeda dengan Srilanka, perempuan Indonesia sudah masuk ke ranah politik, bisnis, dan mereka bebas berkarya.

“Tantangan terbesar (perempuan Indonesia) adalah diri sendiri,” ucapnya.

Sebab, perempuan kerap merasa bersalah ketika bekerja dan meninggalkan anak di rumah. Padahal dari faktor eksternal sudah sangat mendukung.

Hal tersebut, pernah dialaminya. Sebagai orangtua tunggal yang mengurus banyak perusahaan, perasaan bersalah terhadap anak pernah menghinggapinya.

Namun kemudian ia berhasil menyeimbangkan antara pekerjaan dan anak-anak. Kalaupun ia membutuhkan waktu lama untuk bepergian, sang anak akan tinggal bersama ayahnya.

Kelihaiannya membagi waktu ini pula yang menjadi salah satu aspek penting dirinya bisa mengembangkan bisnisnya dengan cepat.

Misal, untuk perusahaan Bursa Sajadah-PT Aarti Jaya. Pusat oleh-oleh haji dan umrah ini pada 2009 baru memiliki 4 cabang, meningkat menjadi 12 cabang di 9 daerah di Indonesia.

Bahkan, perusahaan yang awalnya hanya menjual dan memproduksi sajadah, kini menjual sekitar 2.000 produk oleh-oleh haji dan umrah.

Menginjak 2015, perusahaannya sudah mengadopsi digital marketing. Namun, penjualan secara online masih di bawah 10 persen.

Hal itulah yang kini menjadi salah satu pekerjaan rumah dirinya dan perusahaannya kini.

“Saya juga me-manage tiga generasi (karyawan), dan itu perlakuannya tentu saja berbeda. Dibutuhkan kejelian dalam bersikap,” ucapnya.

Lulusan Curtin University of Technology Australia ini mengatakan, tantangan lainnya yang dihadapi perempuan adalah pola pikir.

Perempuan kerap merasa tidak percaya diri dan pasrah ketika mendapat penghasilan lebih kecil dari laki-laki.

Misal, saat laki-laki mendapat upah 1 dollar, maka perempuan menerima saja gaji 0,8 dollar. Padahal beban kerja mereka sama.

“Perempuan itu tidak sepercaya diri laki-laki. Kalo kita (perempuan) ngaca, aduh ini kerutan. Kita fokus pada kekurangan kita,” ungkapnya.

Berbeda dengan laki-laki. Kaum adam, segendut apapun mereka, akan tetap merasa gagah. Pola pikir tersebut berpengaruh terhadap keputusan yang diambil.

“Akhirnya perempuan menerima tawaran (pekerjaan) apapun meski dengan gaji lebih rendah dibanding laki-laki,” katanya.

Begitupun dengan stigma di masyarakat. Selama ini,menurut Heera, jika ada anak perempuan yang mengatur, kerap dianggap bossy. Namun jika anak laki-laki yang mengatur, dianggap good leader.

https://regional.kompas.com/read/2019/04/22/10463471/kisah-heera-pengusaha-perempuan-indonesia-hadapi-diskriminasi-di-dunia-kerja

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke