Salin Artikel

Ceng Beng, Tradisi Ziarah Kubur dan Reuni Warga Tionghoa

Sejumlah warga keturunan Tionghoa berkumpul dan menggelar tradisi tahunan, yang dikenal Ceng Beng.

Beberapa warga tampak berpakaian khusus. Satu orang berjubah besar warna merah marun dan bertopi seperti mahkota, lima orang lainnya berjubah kuning, dan warga lainnya menggunakan pakaian biasa.

“Yang berpakaian merah marun adalah Vajra Charya dari Jakarta. Sedangkan lima lainya adalah perwakilan pengurus dari sejumlah Vihara Cirebon; Dewi Welas Asih, Budha Sasana, Maitreya, Zeng Fo Zong, dan Makin (Majelis Agama Konghucu),” kata Halim Eka Wardana, kepada Kompas.com, di lokasi.

Pria yang menjadi juru bicara acara tersebut mengatakan, tradisi yang sedang berlangsung, dalam bahasa Hokian disebut Ceng Beng, dan atau Qing Ming dalam bahasa lain. Kedua istilah terminologi tersebut memiliki tujuan sama yakni tradisi ziarah kubur untuk menghormati para leluhur.

Ceng Beng digelar pada 5 April setiap tahunnya. Lima hari sebelumnya, warga Tionghoa membersihkan dan merapihkan area makam bersama-sama, dan beribadah pada 5 April atau lima hari setelahnya.

Dalam tradisi itu, saat itu mereka tiba sejak pagi dan langsung menyediakan berbagai macam makanan-minuman.

Mereka kemudian menggelar ritual dan mendoakan para orangtua dan leluhur, baik yang dimakamkan di area setempat, maupun tempat lain. Prosesi Ceng Beng berlangsung sekitar 60 menit.

Usai berdoa, tiap warga menziarahi makam orangtua, sanak keluarga, serta leluhur masing-masing. Mereka merapihkan dan memperindah makam lalu mendoakan para leluhur dengan harapan Tuhan memberikan tempat terbaik.

“Bagi orang Tionghoa, ziarah ini wujud dari penghormatan kami kepada leluhur. Dalam posisi apapun di manapun berada, kami akan selalu kembali mengenang jasa-jasa leluhur dengan membersihkan, menabur bunga, dan lainnya. Ini juga upaya reuni antar keluarga dan warga Tionghoa,” terang Halim.

Usai ziarah, para warga Tionghoa berbagi suka dan bahagia dengan memberikan paket sembako kepada warga sekitar. Tahun ini, panitia menyediakan sekitar 200 paket untuk para warga sekitar makam Kutiong.

Pria yang juga menjabat Humas Paguyuban Sosial Marga Tionghoa Cirebon berharap, pemerintah Kota Cirebon dapat memberikan banyak perhatian terhadap makam Kutiong.

Makam Kutiong, kata Halim, adalah makam tertua dan pertama yang ada di sekitar Cirebon, yang sudah ada sejak sekitar abad 18.

Makam Kutiong memiliki banyak masalah, salah satunya soal pembongkaran, dan minimnya perawatan.

“Makam nenek, ibunya nenek, kedua orang adiknya nenek saya, dibongkar. Motivasinya ekonomi, apalagi di pinggir jalan, untuk usaha. Kalau makam yang di dalam, dibuat rumah,” keluh Halim.

Menurutnya, perawatan makam Kutiong masih sangat minim. Dia berharap, kejadian serupa tidak lagi terjadi menimpa banyak makam lainnya.

Apalagi, makam Kutiong juga memiliki ukuran yang tak kecil. Halim lupa luas detail makam tersebut.

Edi Bagja, Kepala Dinas Kepemudaan Olahraga Kebudayaan Dan Pariwisata Kota Cirebon, mengapresiasi tradisi tersebut. Cirebon, menurutnya, sangat kaya akan sejarah dan budaya.

Semua warisan sejarah perlu dan harus dihormati serta dilestarikan.

“Ini adalah salah satu bentuk yang harus kita dukung, karena kegiatan seperti ini sangat menarik dari sisi budaya. Berbagai agama yang ada di sini, kita harus membangun kerukunan agama dengan kreasi dan cara masing-masing,” kata Edi.

Menurut Edi, tradisi Ceng Beng dapat mendatangkan wisatawan. Alasanya, para peserta yang datang tidak hanya dari Cirebon, melainkan dari berbagai wilayah lain.

Terkait keluhan sejumlah warga Tionghoa, Edi menyebut, wilayah Makam Kutiong merupakan lahan Ruang Terbuka Hijau sesuai perda tentang RTH Tahun 2012. Edi mengajak agar seluruh pihak bersama-sama menjaga serta melestarikan.

“Perda itu harus dilaksanakan, minimal sama-sama mengawasi. Harus komitmen,” kata Edi.

Meily (63) dan Henni (57), warga Tionghoa Cirebon yang sedang menziarahi makam kedua orangtuanya menyampaikan hal serupa. Keduanya berharap agar makam kedua orangtuanya serta banyak makam lainnya dilestarikan dan dijaga.

Keduanya mengaku setiap tahun ke lokasi setempat. Mereka berharap agar tradisi Ceng Beng juga dapat berlangsung tenang tanpa ada gangguan.

https://regional.kompas.com/read/2019/04/08/19093581/ceng-beng-tradisi-ziarah-kubur-dan-reuni-warga-tionghoa

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke