Salin Artikel

Cerita Suku Togutil Halmahera, Bertahan Hidup di Pedalaman Hutan

Dari lima korban tersebut, tiga di antaranya meninggal dunia, dan dua mengalami luka berat.

Atas kematian mereka, pihak kepolisian Polres Kabupaten Halmahera Timur merilis kematian ketiga warga dilakukan oleh orang tak dikenal (OTK), namun ada juga yang menduga kejadian itu dilakukan oleh suku yang mendiami hutan itu yakni Togutil.

Siapakah Suku Togutil?

Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Maluku Utara melalui rilisnya kepada Kompas.com, Kamis (4/4/2019) menjelaskan jika Tobelo Dalam atau Togutil pada umumnya hidup berkelompok.

Saat ini, kurang lebih terdapat 21 kelompok Suku Togutil yang mendiami pedalaman Hutan Halmahera bagian tengah dan timur.

Pola hidup mereka berbeda-beda. Sebagian telah dirumahkan oleh pemerintah dan sebagian lain masih bertahan dengan tradisi nomaden.

“Pola seperti ini dipengaruhi oleh faktor ketersediaan pangan pada satu tempat,” jelas Ketua AMAN Maluku Utara, Munadi Kilkoda.

Pola hidup juga dipengaruhi faktor internal, ketika terdapat perselisihan antar anggota kelompok. Ketergantungan Suku Togutil pada hutan cukup tinggi, bahkan hutan dalam kosmologi mereka adalah rumah, sehingga mereka melarang penebangan hutan.

Mereka memanfaatkan sumberdaya alam yang tersedia di hutan untuk dapat bertahan hidup, baik dengan meramu sagu, dan berburu berbagai jenis binatang.

Kegiatan subsistem ini masih dipertahankan hingga sekarang. Hutan Halmahera menyimpan sumberdaya alam yang cukup untuk kebutuhan hidup Suku Togutil dalam waktu yang cukup lama.

Namun seiring waktu pembukaan lahan dan hutan untuk kepentingan perusahaan kayu, tambang, dan aktifitas masyarakat pesisir yang merambah ke wilayah mereka, membuat kelompok ini makin terjepit dan tersingkir dari ruang hidup mereka.

Sumber-sumber makanan mereka pun makin sulit di dapat. Beberapa kejadian yang dialami kelompok Akejira, salah satu nama kelompok Suku Togutil, yang menunjukan fakta tersebut benar-benar terjadi.

Sebanyak 11 anggota kelompok Akejira terpaksa harus keluar dari hutan karena kekurangan sumber pangan untuk bertahan hidup.

“Akejira sendiri saat ini berada di wilayah aktivitas perusahan tambang nikel yang menguasai wilayah hidup suku ini. Sementara 2 tahun lalu kelompok Woesopen (nama kelompok suku Togutil) terpaksa harus keluar meminta bantuan beras di perusahan kayu dengan alasan yang sama. Bahkan jika taman nasional memberlakukan aturan hukum secara ketat, dipastikan kelompok ini akan kehilangan akses pada ruang hidup dan sumberdaya alam yang ada di dalam kawasan tersebut,” kata Munadi.

Selain itu, mereka dipaksa harus keluar dari hutan dan berbaur dengan masyarakat desa, namun sisi lain pola pendekatan yang dilakukan pemerintah jauh dari karakter, budaya dan tradisi yang mereka miliki.

Munadi mencontohkan kasus kelompok Waleino yang terpaksa memilih menetap di hutan sekalipun sudah disediakan rumah oleh Dinas Sosial.

“Pemerintah tidak benar-benar serius mendampingi kelompok tersebut. Akses pelayanan pendidikan dan kesehatan serta kebutuhan lainnya tidak dijamin terpenuhi disaat mereka dirumahkan,” ujarnya.

Hal lain yang diabaikan adalah jaminan hak hidup untuk tetap bisa memanfaatkan sumberdaya alam, serta mempertahankan tradisi dan budaya mereka sebagai sebuah identitas yang sah secara konstitusional.

“Ini yang tidak ada. Saya jadi heran, Tobelo Dalam yang hidup di hutan mengeluh kekurangan pangan. Saya menduga hal tersebut terjadi disebabkan beberapa hal,” kata Munadi.

Munadi menjelaskan beberapa faktor yang menyebabkan Suku Togutil kekurangan pangan adalah Hutan Halmahera mulai kehilangan fungsi ekosistem sebagai penyangga kehidupan.

Selain itu perambahan hutan untuk kepentingan pembangunan semakin mengkhawatirkan, sehingga masuk sampai ke kehidupan Suku Togutil.

Perubahan pola konsumsi Suku Togutil dari sagu dan jenis ubi-ubian ke beras serta dipengaruhi interaksi dan open access juga mempengaruhi pola hidup Suku Togutil saat ini.

Penguasaan sumberdaya hutan oleh kelompok masyarakat pesisir semakin luas, sehingga Suku Togutil harus bersaing dengan mereka. Serta berkurangnya kaum lelaki di Suku Togutil karena perang antar mereka dan pihak luar, atau migrasi kaum lelaki meninggalkan kelompok sebelumnya dan membentuk kelompok baru. Padahal selama ini, kaum lelaki di Suku Togutil berperan banyak dalam penyediaan pangan di kelompoknya.

Saat ditanya tentang banyaknya anggapan masyarakat yang mengatakan Suku Togutil itu jahat, Munadi mengaku bahwa itu hanya anggapan yang dialamatkan orang luar kepada kelompok orang yang berbeda cara hidupnya dengan mereka.

“Saya 2 bulan lebih tidur dengan mereka namun tara pernah dorang manakal. Malah sebaliknya dorang layani layaknya keluarga. Kasus pembunuhan di hutan berapa kali itu harus dicari tahu apa motifnya. Sehingga kitong juga jangan terka-terka,” kata Munadi.

https://regional.kompas.com/read/2019/04/05/13325231/cerita-suku-togutil-halmahera-bertahan-hidup-di-pedalaman-hutan

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke