Salin Artikel

Ngrapyak Sendang, Hati yang Bersyukur dengan Merawat Mata Air Kehidupan

Bakul panganan itu mengepung beberapa batu yang terus mengeluarkan air bening nan sejuk.

Ada nasi tumpeng dengan lombok merah tertancap di pucuknya. Ada nasi kepal yang dinamai Golong oleh warga. Juga ada ingkug ayam yang dimasak bacem.

Ada pula rujak, lauk pauk, mie ataulah bihun goreng, kentang masak pedas, bacem tempe maupun tahu, peyek hingga kerupuk warna warni. Juga ada bubur warna warni hingga jajanan pasar.

Puluhan kepala keluarga membawa bakul panganan itu sejak pagi, meletakkannya rapi di dekat mata air di bawah tudung pohon-pohon besar.

Warga yang lain berkerumun di lingkar luar mata air. Sebagian mereka menggunakan busana Jawa, yakni para pria dalam balutan surjan, jarit, menyelipkan keris pada pinggang, menggunakan sandal selop, dan memakai blangkon.

Para wanita menggunakan kebaya.

Inilah secuil aktivitas dalam tradisi warga Gondangan dalam melaksanakan Upacara Ngrapyak Sendang di lokasi yang warga namai sebagai Tuk Songo (9 mata air), Jumat (1/3/2019).

Upacara ini berasal dari kata "krapyak" yang artinya pagar. Sendang sendiri berarti mata air. Warga mengartikan Ngrapyak Sendang sebagai kegiatan menjaga mata air kehidupan.

Tuk Songo sudah ada sejak lama. Warga meyakini, lestarinya alam dusun membuat sendang itu masih bertahan kini.

Di tengah gempuran pembukaan lahan di banyak daerah di Bukit Menoreh, wilayah Gondangan ini membuktikan diri masih banyak pohon-pohon bak hutan bertahan di sana.

"Khususnya Dusun Gondangan ini memang untuk lingkungan masih terjaga dan bagus, tanaman pohon besar masih banyak. Bahkan ada pohon besar seperti beringin. Bahkan masih ada pohon yang kalau dirangkul sampai harus 3 orang," kata Kabul, Kepala Desa Sidomulyo, lewat pesan singkat, Sabtu (2/3/2019).

Akibatnya, mata air Tuk Songo masih mengalir. Musim kemarau tak menghalangi Tuk Songo memproduksi air. Warga pun tak merasa kekurangan.

Warga menyambut sukacita atas sumber air ini lewat tradisi Ngrapyak Sendang. Tradisi ini sudah berlangsung turun temurun.

"Warga menaikkan doa dan mengucap syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas keberadaan sendang di sini sehingga tetap bisa mencukupi kebutuhan air seluruh penduduk Gondangan," kata Kabul.

Dusun ini berada di pegunungan terdalam dengan tanjakan ekstrem. Jalan menuju dusun memang terletak di tebing pegunungan di mana di sampingnya terdapat jurang yang cukup dalam.

Warga dusun tidak banyak, kurang dari 200 kepala keluarga. Mayoritas mengandalkan hidup dari kegiatan bertani di gunung.

Warga sangat menghargai air. Tampak bagaimana mereka memanfaatkan air bahkan untuk konsumsi, seperti memasak dan minum.

"Warga memanfaatkannya dengan cara diambil langsung pakai ember, klenting dan lain-lain," kata Kabul.

Upacara Ngrapyak Sendang pun dilakukan sebagai bentuk penghargaan pada karunia akan air ini. Warga membersihkan sendang dan memagari sendang sebagai pengingat agar mata air ini dijaga.

Seluruh penduduk dusun mengikuti prosesi upacara. Para orang tua membawa bakulan berisi panganan untuk dipersembahkan di sendang itu.

Mereka membawa bakul itu ke dalam pagar dan mengepung sendang. Seluruh warga bersama-sama melaksanakan kenduri atau mendoakan secara bersama akan keselamatan desa dan kesejahteraan warga. Rois memimpin kenduri ini.

Tak lama, warga membagikan panganan itu ke seluruh warga untuk dimakan bersama. Sebagian warga ada yang membawa pulang panganan itu.

"Hikmah dengan adanya Tuk Songo adalah keberadaannya sangat membantu warga masyarakat Gondangan, terutama di musim kemarau," katanya.

Semua potensi dusun ikut memeriahkan Ngrapyak Sendang ini. Kelompok kesenian jathilan atau jaran kepang, juga kasang dan tayuban, turun ke sana.

https://regional.kompas.com/read/2019/03/03/08000081/ngrapyak-sendang-hati-yang-bersyukur-dengan-merawat-mata-air-kehidupan

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke