Salin Artikel

Kisah Para Ibu dengan Anak Penyintas Leukemia, Dampingi dan Saling Berbagi

BANYUWANGI,KOMPAS.com - Mata Eko Darwati (48) terlihat berkaca-kaca saat menceritakan perjuangannya mendampingi Yusuf Muhammad, anak bungsunya yang divonis menderita leukemia pada tahun 2012 lalu.

Saat itu, Yusuf yang masih berusia 7 tahun sering sakit-sakitan dan suhu badannya selalu di atas normal. Selain itu, bahu anaknya bengkak dan banyak benjolan kecil di bagian kepala.

"Saya pikir habis jatuh tapi saat di-rontgen enggak apa-apa. Biasanya kalau sakit ya saya bawa ke bidan. Sembuh tapi sakit lagi sampai akhirnya saya bawa ke puskesmas dan langsung disuruh cek darah di rumah sakit Blambangan,"cerita Eko kepada Kompas.com, Sabtu (23/2/2019).

Saat dokter menjelaskan jika anaknya terkena leukemia, Eko mengaku kaget dan tidak tahu apa yang harus dilakukan.

Dia hanya merasakan takut kehilangan anaknya apalagi saat dia tahu  leukemia adalah salah satu jenis kanker.

"Dokter bilang saya harus sabar dan kuat karena pengobatannya lama dan tidak bisa di Banyuwangi harus di Surabaya, tidak bisa di Banyuwangi. Saat itu mikir uang dari mana karena kami bukan orang yang banyak uang," jelasnya.

Eko dan suaminya lalu mengurusi Surat Pernyataan Miskin (SPM) untuk keringanan biaya bagi Yusuf yang dirujuk ke Surabaya. Eko pun harus izin dari pekerjaannya sebagai tukang parkir untuk mendampingi anaknya di Surabaya selama 4 bulan.

Dia dan Yusuf tinggal di salah satu yayasan, sehingga tidak perlu pergi pulang Banyuwangi-Surabaya yang membutuhkan waktu sekitar 7 jam perjalanan menggunakan jalur darat.

Selama pengobatan, Eko mengandalkan SPM sehingga pelayanan kesehatan dapat dia akses dengan gratis.

"Saya tidak punya uang banyak jadi ya hanya pake SPM. Saya mengikuti semua prosedur, hanya saya sempat drop saat Yusuf kemoterapi ke-8 hingga ke-12. Dia muntah, panas, persendiannya nyeri dan tidak bisa jalan. Apalagi satu persatu temannya yang satu angkatan saat dirawat di sana meninggal. Saya hanya pegang omongan dokter, pengobatan lama Bu, harus sabar. Pokoknya anak saya sembuh. Saya bilang ke Yusuf, ayo le kita lawan bareng-bareng," katanya.


Yusuf menjalani kemoterapi selama 12 kali dan dia juga sempat menerima transfusi darah yang tidak cocok sehingga menyebabkan gatal di sekujur tubuh, bahkan sebelum transfusi darah selesai.

Eko juga mengaku melihat detail darah yang akan dimasukkan ke dalam tubuh anaknya karena hampir saja anaknya mendapatkan donor darah untuk thalasemia bukan leukemia.

"Saat saya cek, lho kok thalasemia. Akhirnya saya tukar. Setiap penjelasan dokter selalu saya ingat-ingat jadi lama-lama hapal istilah-istilah buat leukemia," ungkap Eko sambil tersenyum.

Hampir 4 tahun, Eko mendampingi Yusuf melawan kanker leukemia hingga akhinya pada tahun 2015, Yusuf sudah lepas dari obat namun dia tetap mengawasi aktivitas anaknya agar kesehatannya tetap stabil.

Yusuf juga harus menunda sekolahnya setahun saat masuk SD, sehingga saat rekan seusianya sudah duduk di bangku SMP, Yusuf masih kelas 6 SD.

Selain itu Eko juga mengabulkan keinginan anaknya untuk dikhitan setelah dinyatakan sembuh.

Saat itu, HB Yusuf dalam kondisi bagus, namun, pascakhitan, Yusuf mengalami pendarahan hebat sehingga diminta untuk di rujuk ke Surabaya.

"Saat itu saya berdoa dan seperti mukjizat, Pagi dikhitan lalu pendarahan hebat. siang hari pendarahan berhenti sehingga tidak perlu di bawa ke Surabaya," jelasnya.

Selain itu, Yusuf juga pernah mimisan saat ikut bela diri sehingga Eko sempat melarang anaknya untuk berolahraga berat.

"Sekarang dia kelas 6 SD dan bilang ingin jadi dokter anak khusus kanker. Saya mengaminkan. Sepertinya nggak mungkin karena kami bukan orang kaya. Tapi namanya keajaiban. Siapa yang tahu. Melihat anak saya sekarang sudah sehat kadang saya tidak percaya," jelasnya.

Sambil menunjukkan foto anaknya, Eko menceritakan jika tubuh Yusuf tinggi dan hampir sama seperti dirinya.

"Sekarang dia sekolah dan langsung les. Aktivitasnya sama dengan teman-temannya hanya jangan sampai kecapaian," jelasnya.

Saling menguatkan

Selain Eko Darwati yang berjuang mendampingi anaknya penyintas leukemia, ada juga Nurul Qomariah (40).

Sejak tahun 2006, Nurul mendampingi anaknya Muhammad Maulana Hazrat Mohani yang divonis leukemia di usia 4 tahun.


Kepada Kompas.com, Nurul berkisah, saat itu hampir 4 bulan ia menginap di salah satu rumah sakit di Surabaya dan menghabiskan uang lebih dari Rp 60 juta yang mengakibatkan dia harus berhutang dan menjual beberapa barang pribadinya untuk biaya pengobatan anaknya.

Mohani menjalani kemoterapi selama 3 tahun dan pada tahun 2012 sudah lepas obat dan dinyatakan sehat.

Pengalamannya memiliki anak menderita leukemia, membuat Nurul memilih menjadi relawan untuk mendampingi keluarga yang anaknya menderita kanker, terutama yang menjadi suspect kelainan darah.

"Pengalaman selama menemani anak sendiri ingin saya bagikan kepada orang lain, terutama membantu mereka yang sebagian besar berasal dari kalangan menengang ke bawah seperti mengurus surat keterangan miskin karena terkadang administrasi yang sedikit ribet," jelasnya.

Perempuan yang menjadi Ketua Paguyuban Kanker Anak Jawa Timur Cabang Banyuwangi ini mengaku ada beberapa pasien dampingannya yang telat ditangani karena kesulitan saat mengurusi adminitrasi terutama saat mengurus surat keterangan miskin.

Selain itu, Nurul juga menjelaskan sepengetahuannya, sejak tahun 2006 hanya ada dua orang penyitas anak kanker leukemia yaitu anaknya dan Yusuf yang berhasil lepas obat dan hidup sehat seperti anak pada umumnya.

Total, ada sekitar 30-an lebih pasien yang dia dampingi mulai dari berusia 3 tahun sampai 14 tahun. Nurul juga mencatat detail setiap pasien yang dia dampingi di buku besar miliknya.

"Walaupun tidak semuanya sehat seperti Mohan dan Yusuf, bahkan ada yang meninggal tapi paling tidak saya sudah melakukan sesuatu untuk mereka," jelasnya.

Eko Darwati sendiri mengaku sangat terbantu dengan kehadiran Nurul yang terus mendampingi selama anaknya di rawat.

Bahkan melalui telepon, Nurul juga mengarahkan ruangan-ruangan yang harus didatangi di Surabaya saat menemani anaknya berorabat pertama kali.

"Sesama perempuan yang memiliki anak yang menderita kanker ya harus saling berbagi. Saling menguatkan. Saya juga melakukan hal yang sama kepada keluarga yang anaknya kena kanker. Yang penting usaha dan jangan patah semangat. Keajaiban itu selalu ada," ujarnya. 

https://regional.kompas.com/read/2019/02/24/11101951/kisah-para-ibu-dengan-anak-penyintas-leukemia-dampingi-dan-saling-berbagi

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke