Salin Artikel

Meraup Untung dari Barang Antik, Bisnis Menggiurkan Seorang Pamong Desa...

Rumah adat Jawa ini terkesan sangat menonjol karena berada di kawasan kebun jati yang seperti hutan, masih pedesaan, dan banyak ditemui rumah limasan yang lebih kecil, namun sudah berwarna pudar. 

Pendopo itu terbuka dan tidak berdinding. Bangunan dikelilingi halaman luas dengan tanaman rapi pohon keras di sana sini. Beberapa di antaranya pohon majapahit (buah mojo) yang sedang berbuah.

Karena terbuka, tampaklah barang-barang tidak biasa memenuhi ruang dan tiap sudut rumah besar ini. Barang tak biasa juga sampai berjajar di kanan kiri halaman pendopo.

Sebutlah beberapa di antaranya, ada sepeda ontel dengan gerobak samping sebagai boncengan, sepeda anak-anak, radio, televisi tabung, becak beragam bentuk, dokar, beberapa lesung penumbuk padi yang sudah tua dari sekitar tahun 1940-an, stoples jadul yang masih tren di 1970-an, hingga sofa buatan puluhan tahun silam.

"Istilahnya, sebagai galeri barang antik, bahasa kerennya," kata Jumanta ST (36), pemilik joglo dan barang antik tersebut.

Barang antik lain yang terdapat di galerinya yakni peti kayu jati bekas wayang kulit, meja rias yang tren pada tahun 1960-an, meja pedagang dari kayu nangka yang biasa dipakai pedagang angkringan pada masa lalu.

Ini belum termasuk mobil-mobil bekas yang berada di garasi terbuka di samping joglo. Tampak di sana bajaj, bodi dari Mazda Carol yang tren pada tahun 1962-1970, replika truk Ford, hingga motor bekas keluaran tahun lama lain.

Semua tersebar agak kurang tertata, namun membentuk suasana ruang yang penuh barang antik.

Warga mengenal Jumanta sehari-hari bekerja sebagai pamong pada Kantor Desa Tuksono, Kecamatan Sentolo. Pak Jumanto, begitu orang memanggil sang pamong desa ini.

Ia bekerja di kantor desa sejak 2007. Pernah menjabat Kepala Urusan Pemerintahan dan kini Kaur Perencanaan dan Keuangan.

Jumanta menceritakan, awal berkenalan dengan bisnis barang antik ketika masih tinggal di rumah orangtuanya yang terletak jauh di pedalaman dusun.

Pria kelahiran 1982 ini memang menyukai otomotif, apalagi seri lawas, dan suka dengan barang bekas yang berbau "tempo dulu".

"Hobi saya memang barang-barang antik, barang-barang klasik," kata dia.

Ia mengenang masa awal di mana dirinya bisa beli mobil super klasik Fiat Konde seharga Rp 30 juta pada tahun 2009. Tampilan klasik Fiat Konde terkesan mewah pada zamannya.

Jumanta membeli Fiat bukan sekadar untuk bergaya. Ia memanfaatkan mobil itu untuk bisnis dan menghasilkan uang.

Ia membuka sewa dan pengantaran pengantin baik jauh dan dekat, dengan Fiat Konde. Ketika itu, belum ada yang melakukan hal serupa.

Ia bisa "narik" mobil 1-2 kali dalam satu minggu, bahkan sampai ke Jakarta.

"Dulu tidak ada (pesaing). Saya iklankan (bisnis sewa ini) di Toko Bagoes. Untungnya lumayan," kata dia.

Bisnis pengantar dengan mobil jadul pun ditiru dan tumbuhlah pesaing di sana sini di 2013. Bisnis sampingan ini akhirnya surut, mobil pun menganggur lama.

Ia terpaksa menjual Fiat itu dan laku Rp 75 juta. Dengan terpaksa, ia jual mobil dan ganti dengan mobil jadul lain.

Jumanta membeli Vauxhall produksi 1949. Hobi jual beli mobil lawas pun berlanjut.

Ia juga semakin suka dengan barang antik lain. "Saya senang beli, saya bangun dari awal, saya cat, dan jual lagi," kata dia.

Modal perlahan terkumpul. Ia bisa beli tapak tanah seluas 4200 meter persegi.

Lokasinya tak jauh dari jalan masuk dusun Krebet, Tuksono. Ia pun membangun rumah dan pendopo joglo di sana pada tahun 2016.

"Sebelumnya ikut orangtua. Kemudian bangun rumah sendiri di sini," kata dia.

Ia membangun joglo di sana, dan menempatkan semua barang antik miliknya di joglo sekaligus menjadikannya galeri. Lambat laun, jadi penuh barang antik.

"Awalnya memang tidak punya rencana (jual beli barang antik). Perabotan ini awalnya hanyalah untuk properti rumah agar terkesan ada nuansa jadul saja," kata Jumanta.

"Saya bawa lesung antik, luku untuk bajak sawah, saya bawa ke sini," kata dia, mengenang awal ia mengisi galeri.

Jualan di media sosial

Sambil mengisi properti, ia mengunggah foto barang-barang klasiknya ke Instagram dan Facebook. Tak disangka permintaan datang.

Barang antik pun laku keras. Ia pun kini menghabiskan sebagian waktunya untuk berbisnis dengan nilai menggiurkan ini.

Jumanta memanfaatkan sebagian besar waktu selepas kerja untuk berselancar di dunia maya. Ia terus berburu mendapatkan barang antik dari berbagai kota di Indonesia.

Tujuannya, ia jual kembali lewat media sosial baik Facebook dan Instagram.

Pertemanan dengan para penggemar barang jadul dan antik di dunia maya membawa banyak keuntungan.

Mereka ikut membantu membuka pasar jual beli barang antik ini, sebagai pajangan di berbagai tempat, di antaranya ke hotel-hotel dan perkantoran.

"Seperti sepeda (ontel dengan bodi dari bahan kayu) rotan ini. Bisa jalan. Ini titipan teman. Katanya sisa ekspor ke Austria belum lama. Teman minta tolong sepeda (rotan) ini dijualkan," kata Jumanta.

Untungnya luar biasa. Sebutlah puluhan selongsong mortir yang sudah berkarat yang tersimpan di lemari kaca.

Satu selongsong sepanjang satu jengkal orang dewasa bisa dijual antara Rp 800.000-1.000.000. Foto presiden RI ke-2, Soeharto, yang berdampingan dengan Adam Malik, beserta lambang Garuda Pancasila, dijual lebih dari Rp 1.000.000.

Sofa era 60-an, berkaki pendek, dengan sandaran tangan yang kecil dibanderol Rp 4.000.000 bahkan 5.500.000.

Bahkan, ada televisi jadul yang ada handel agar bisa dijinjing satu tangan, dibanderol Rp 500.000 lebih. Luku atau alat bajak sawah yang biasa dikalungkan pada kerbau bisa laku antara Rp 800.000-1.500.000.

Mesin jahit yang diyakini diproduksi sebelum 1930-an lengkap dengan tasnya, ia tawarkan Rp 1 jutaan.

Ada juga bodi Mazda Carol yang bisa laku Rp 26 juta. Itu belum termasuk mobil bekas lain yang terparkir garasi terbuka di samping joglo.

Peminat barang antik, lanjut dia, cukup besar. Tapi bisnis seperti ini memang tidak seperti jualan kacang goreng yang sehari-hari terbeli.

Ada kala sepi. Tapi, dalam jangka waktu tertentu, hasilnya penjualan bisa mencengangkan.

"Hasil jualan tidak tentu. Tapi, pernah sampai bisa Rp 60-an juta dalam 2 minggu," kata Jumanto.

Ia mengaku, keuntungan bersih dari bisnis seperti ini 20 persen. Dia tidak menghabiskan uang itu.

Ia kembali memutar uang untuk membelikan barang antik lain, lalu menjualnya kembali. Kebanyakan pembeli adalah para kolektor barang antik.

Mereka bersepakat via medsos. Barang pun dikirim.

Jumanta mengaku, terus berselancar mencari barang-barang model antik untuk membangun usaha impiannya. Setelah memiliki meja angkringan dari kayu nangka, sendok almunium, piring seng, bahkan teko-teko besi, ia berniat membangun usaha kuliner jadul.

"Kalau di depan sedang mau bikin angkringan jadul," kata Jumanta, menunjuk bangunan bekas kandang sapi usang di halaman muka rumah.

Kandang itu tengah disulap jadi angkringan jadul.

Ia juga berniat membangun usaha sewa tempat pertemuan, homestay jadul, pada kawasan rumahnya di tanah yang masih luas dan belum dimanfaatkan.

Semua bernuansa jadul, termasuk kolam renang yang penuh dengan sesuatu yang klasik.

"Sekarang ini, pemain di bisnis ini belum terlalu banyak, hasiknya lumayan," kata Jumanta.

https://regional.kompas.com/read/2019/02/04/16165791/meraup-untung-dari-barang-antik-bisnis-menggiurkan-seorang-pamong-desa

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke