Salin Artikel

Air Mata Oma Hanna dan Persaudaraan yang Tulus Saat Konflik Ambon


AMBON,KOMPAS.com — Konflik bernuansa SARA di Kota Ambon, Maluku, tahun 1999 menjadi sebuah tragedi paling berdarah yang tak akan pernah dilupakan seluruh masyarakat di bumi para raja, julukan bagi tanah Maluku.

Kala itu, ribuan nyawa melayang, rumah-rumah warga hangus dibakar.

Namun, di balik cerita kelam konflik Ambon, ada sepenggal kisah mengharukan bagaimana persaudaraan dan cinta tetap tumbuh untuk merawat nilai kemanusiaan.

Hanna Mairissa tak mampu menahan tangis dan kesedihannya tatkala ia mengenang kembali masa-masa sulit yang dihadapi keluarganya saat konflik Ambon pecah 18 tahun silam.

Dengan berurai air, mata nenek berusia 68 tahun ini menceritakan pengalaman konflik yang dirasakan hingga perlakuan tetangganya yang berbeda iman dengannya semasa konflik berlangsung.

Hanna dan keluarganya tinggal di kawasan Lorong Permi, Kelurahan Waihaong, Kecamatan Nusaniwe, yang merupakan perkampungan dengan penduduk mayoritas Muslim.

Saat pecah konflik Ambon, Hanna dan keluarganya memilih tetap bertahan hidup di rumah mereka meski bunyi dentuman bom dan rentetan senjata serta pembakaran rumah-rumah warga terus terjadi di mana-mana.

“Saat konflik 1999 kami sekeluarga tetap berada di sini, kami tidak takut, kami percaya kepada Tuhan, dan kami percaya tetangga disini semua menyayangi kami,” kata Hanna kepada Kompas.com saat ditemui di rumahnya, Jumat (30/11/2018).

Hanna meceritakan, sempat ada rasa kekhawatiran yang sangat mendalam atas keselamatan keluarganya karena memilih tetap menetap di perkampungan Muslim di masa konflik sedang panas-panasnya saat itu.

Namun, kepercayaan keluarganya terhadap para tetangga mereka membuat perasaan cemas itu perlahan hilang.

Keluarga Hanna sangat yakin tidak akan diganggu saat itu karena para pemuda dan warga di kawasan tempat tinggalnya terus menjaga rumah mereka.

Bahkan, saat malam hari tiba, para pemuda yang selalu berjaga malam di kampung itu kerap mendatangi depan rumah untuk berjaga-jaga jangan sampai terjadi sesuatu.



“Waktu itu warga di sini tiap malam menjaga rumah kami, mereka memantau dan terus melindungi kami. Saya juga sering memberi kacang hijau bagi mereka yang berjaga-jaga,” kisah Hanna yang juga pensiunan pegawai pendidikan dan kebudayaan ini.

Hanna sendiri saat itu tinggal bersama kedua orangtuanya dan juga seorang kakaknya.

Namun, kini kedua orang tuanya telah meninggal dunia termasuk juga kakaknya. Sementara suami Hanna telah meninggal dunia sebelum kerusuhan pecah.

Hanna mengungkapkan, selama konflik berlangsung tetangganya begitu memperhatikan dan melindungi keluarganya, bahkan banyak tetangga yang memberikan bantuan bahan makanan untuk kebutuhan sehari-hari keluarganya di masa konflik.

“Ada yang membawa beras, kacang hijau dan makanan untuk kami, jadi kami sangat merasa di lindungi,”akunya.

Keluar dari rumah

Situasi konflik yang terus mencekam dan memakan korban jiwa yang sangat banyak membuat Hanna dan keluarganya terpksa harus rela meninggalkan rumah mereka dan berpisah dengan para tetangganya yang sudah dianggap lebih dari saudara itu.

Hanna dan keluarganya sendiri bertahan di rumah mereka selama kurang lebih 20 hari lamanya. Mereka terpaksa meninggalkan rumah dan tetangganya karena banyak korban kerusuhan yang rumahnya terbakar mulai mengungsi tak jauh dari tempat tinggalnya.

Menurut Hanna, sebelum keluarganya pergi meninggalkan rumah, sejumlah warga sempat mendatangi keluarganya dan meminta secara baik-baik agar mereka pergi.

Warga terpaksa meminta Hanna dan keluarganya mengungsi karena takut dengan keselamatan mereka.

“Waktu itu dengan menangis, istri Ustaz Leisouw dan anaknya mendatangi rumah dan memberitahukan secara baik-baik sebaiknya kami mengungsi dulu. Keluarga Leisouw saat ini sudah berada di kampung halamannya,”kisahnya.

Situasi konflik yang terus memanas dan meluas membuat Hanna dan kelarganya sadar, meski tetangganya terus melindungi keselamatan mereka, kapan saja situasi terburuk bisa dapat terjadi.

Karenanya, mereka sangat menghargai dan menerima dengan lapang dada saat ada warga yang datang meminta Hanna dan keluarganya untuk pergi.


Menurut Hanna, banyak tetangganya yang saat itu menangis saat melepas kepergian keluarganya untuk mengungsi di Taman Makmur, Kecamatan Nusaniwe.

Bahkan, Hanna mengaku masih ingat betul banyak di antara warga yang tidak rela melepas kepergian mereka.

“Kami keluar dari rumah saat situasi konfik tidak dengan lemparan batu dan caci maki seperti di tempat lain, tapi dengan hujan air mata. Itu yang saya ingat sampai mati, tetangga melepas kami dengan menangis,” ucap Hanna dengan berderai air mata.

Hanna bercerita, saat akan pergi, kepada para tetangga, keluarganya menitipkan agar rumah mereka dijaga dengan baik. Hanna dan keluarganya juga tak lupa berpesan agar tetangganya tidak melupakan mereka meski harus dipisahkan oleh situasi yang sulit saat itu.

Menurut Hanna, kunci dari kehidupan adalah ketulusan dan berbuat baik terhadap sesama, prinsip itulah yang selalu ditanamkan ayahnya kepada keluarganya.

Tak mengherankan, banyak warga sangat merasa sedih saat harus berpisah dengan Hanna dan keluarganya.

“Hidup ini anugerah Tuhan, harus menjalaninya dengan tulus, dan penuh kebaikan. Mari kita terus saling menjaga, jujur saya mengganggap tetangga saya di sini lebih dari saudara,” ungkapnya.

Rasa rindu terobati

Rasa rindu terhadap para tetangga yang sudah dianggap sebagai saudara kerap datang bertubi-tubi saat berada di lokasi pengungsian. Hanna mengaku rasa kangen untuk bertemu dengan para tetangganya yang telah berpisah dengannya kerap membuatnya menangis tatkala ia mengingat masa lalunya bersama mereka.

Namun, situasi yang sangat rawan saat itu membuat dirinya tidak dapat berbuat apa-apa dan hanya mampu berbagi dengan orangtuanya serta keluarganya di lokasi pengungsian.

“Kalau saya rindu saya selalu menangis. Saya ingat kebaikan mereka dan itu saya ceritakan semua kepada oorang-orang di lokasi pengungsian,”ujarnya.


Hanna bercerita, kerinduannya terhadap orang-orang yang disayanginya di Lorong Permi ternyata juga dirasakan oleh mereka.

Buktinya, meski saat itu situasi tidak memungkinkan karena konflik, tapi ada salah satu tetangganya yang rela mengunjunginya di lokasi pengungsian.

Hanna mengaku sangat kaget ketika dia melihat sosok yang dikunjunginya itu adalah tetangganya di Lorong Permi yang beragama muslim. Dia tidak menyangka kalau tetangganya itu rela datang sambil dikawal aparat keamanan hanya untuk melepas rindu dengannya.

“Dia datang dengan memakai jilbab sambil dikawal beberapa anggota TNI. Saat itu kami langsung berpelukan dan menangis bersama,”sebutnya.

Hanna mengaku kebaikan para tetangganya yang muslim terhadap keluarganya itu tidak pernah akan dilupakannya.

”Saya tidak akan melupakan semuanya. Dulu waktu lebaran mereka juga membawa kue kepada kami padahal situasi kota Ambon masih memanas,” ujarnya.

Setelah konflik berangsur pulih, Hanna dan keluarganya kembali pulang ke Lorong Permi pada tahun 2006.

Hanna mengaku bahagia karena bisa kembali berkumpul dengan orang-orang yang dianggap sebagai keluarganya sendiri.

Hanna menceritakan, tidak ada perasaan canggung atau khawatir setelah ia kembali ke lagi rumahnya. Bahkan, dia kerap terlibat membantu acara-acara keagamaan seperti tahlilan di masjid dan juga kerap membantu warga saat acara kaul dan acara sosial lainnya.

“Saya beberapa kali terlibat membantu acara tahlilan di masjid, juga acara kaul di rumah warga. Dulu waktu kakak saya meninggal warga di sini juga membantu dan memberikan bantuan, saya juga sering menyumbang di kotak masjid, itulah hidup bermasyarakat harus saling menghargai,” ungkapnya.

Dia pun berharap warga Maluku dapat hidup secara berdampingan untuk selamanya dan tidak lagi terlibat pertikaian yang hanya akan membuat sengsara anak cucu.

“Harapan saya jangan lagi terulang seperti itu, hidup penuh damai dalam kebersamaan jauh lebih indah, dan semua agama mengajarkan tentang itu,” ujarnya.

Keluarga yang baik

Kebaikan akan dibalas dengan kebaikan pula, begitulah hukum kehidupan yang berlaku. Kebaikan warga Lorong Permi terhadap Hana dan keluarganya di masa konflik ternyata tidak terjadi tanpa alasan. Sejumlah warga Lorong Permi mengaku, Hanna dan keluarganya merupakan keluarga yang sangat baik dan menghormati tetangga.


Menurut warga, keluarga Hanna merupakan keluarga Kristen yang sangat taat dan selalu berbuat baik terhadap sesama. Sikap mereka itulah yang membuat warga berusaha melindungi keluarga tersebut saat konflik berkecamuk.

“Ayah ibu Hanna itu seorang pendeta yang taat. Mereka itu keluarga baik dan sangat menghormati tetangga disini,” kata Jasia, salah satu warga, kepada Kompas.com.

Menurut ibu paruh baya ini, sebelum konflik terjadi, Hanna dan keluarganya kerap terlibat dalam berbagai kegiatan bersama warga di Lorong Permi. Begitu pun sebaliknya, saat konflik selesai dan Hana kembali ke rumahnya, dia tetap berbaur dengan warga.

“Itu yang membuat warga senang. Jadi apa yang diceritakan ibu Hanna itu semuanya benar, dia itu orangnya sangat baik sama seperti orang tuanya,”ujarnya.

Muhamad, salah satu warga lainnya menuturkan, selain sangat baik hati, Hanna dan keluarganya terbuka dengan masyarakat sekitar. Hal itulah yang membuat tidak ada batas antara Hanna dan warga di kampung tersebut.

“Orangnya sangat baik, itu rumah yang berdiri di sebelah rumah ibu Hanna itu dikasih oleh ibu Hanna kepada keluarga itu untuk dibangun,” ujarnya.

Muhamad mengaku warga juga tidak mau membeda-bedakan perbedaan agama yang dianut oleh Hanna, sebab bagi warga Lorong Permi, Hanna telah menjadi saudara mereka sendiri.

”Itu tidak penting lagi, kita orang Maluku harus berfikir maju, harus saling menopang untuk Maluku yang lebih damai,” pungkasnya.

Narasi perdamaian

Ketua I Majelis Ulama Indonesia (MUI) Provinsi Maluku Abidin Wakano mengatakan, kisah persaudaraan yang dibangun atas dasar saling percaya antarsesama umat beragama saat konflik Ambon harus dapat menjadi pembelajaran bahwa banyak nilai-nilai luhur yang terkandung dalam relasi sosial orang bersaudara harus tetap dijaga.

“Saya tahu cerita itu. Menurut saya itu adalah bagian dari story telling, bagian dari narasi kecil perdamaian bahwa banyak pembelajaran yang didapat dari interaksi informal. Bahwasanya banyak nilai-nilai luhur yang terkandung dalam relasi sosial hidup orang basudara di Maluku,”ungkapnya.


Abidin menjelaskan kisah Hanna dan keluarganya merupakan modal sosial sekaligus kultural yang lahir dari relasi hidup orang bersaudara yang memiliki tanggung jawab untuk saling menjaga dan melindungi satu sama lain.

Menurutnya, saat konflik Maluku pecah, ada banyak pengalaman kemanusiaan yang terjadi karena ada orang Muslim yang melindungi saudaranya yang beragama Kristen, begitu pun sebaliknya ada orang Kristen yang melindungi saudaranya yang Muslim.

“Itu yang disebut dengan narasi-narasi kecil perdamaian. Ada semacam negasi bahwa orang Kristen dan Islam sudah saling benci luar biasa padahal ada narasi kecil perdamaian, ada cerita saling melindungi, misalnya di Batu Merah ada orang muslim yang melindungi saudaranya yang Kristen begitupun sebaliknya ada orang Kristen di Passo yang melindungi saudaranya yang muslim,” jelasnya.

Dia mengatakan keikhlasan orang muslim untuk melindungi saudaranya yang Kristen begitupun sebaliknya tidaklah tanpa alasan namun karena ada relasi yang kuat seperti karena sesama tetangga atau kenalan ada berbasis hubungan pela dan gandong ada juga karena kemanusiaan.

“Ke depan model cerita seperi ini harus dikembangkan agar generasi muda bisa belajar untuk saling menghargai, saat konflik banyak narasai-narasi keceil yang tidak dibicarakan dan itu harus diwarisi, itu harus diceritakan sebagai sukses story, bagi generasi muda kedepan, dan MUI sangat mendukung itu,”ungkapnya.

Sekretaris Umum Sinode Gereja Protestan Maluku (GPM) Elifas Maspaitella mengungkapkan sebenarnya ada banyak sekali narasi perdamaian yang tidak terungkap saat konflik berkecamuk di Maluku dan salah satu kisah tentang keluarga Hanna Mairissa menjadi bukti bahwa relasi sosial kemanusiaan begitu kuat di Maluku.

“Sesungguhnya itu juga yang menjadi dasar kita bikin buku cerita orang basudara itu, ada realitas perdamaian yang tidak terungkap sehingga dia tidak menjadi narasi, yang ada hanya tentang perang, pengungsi padahal ada banyak narasi perdamaian,”ungkapnya.

Maspaitella menjelaskan, berbagai realitas dan relasi sosial kemanusiaan dan keagamaan yang terbangun saat konflik hingga orang Kristen mau melindungi saudaranya yang muslim dan sebaliknya orang muslim mau melindungi saudaranya yang Kristen menjadi bukti bahwa konflik Ambon bukanlah konflik agama.

“Jadi saya kira realitas seperti itu yang saya kira menjadi cerminan sekaligus bukti bahwa tesis konflik Maluku sebagai konflik agama itu sesuatu yang lemah atau bahkan bisa dibantah,”ujarnya.


Dia mengatakan, perilaku umat bergama di Maluku itu bukan kekerasan tapi cinta perdamaian, apakah itu dibangun dari pondasi pela dan gandong atau relasi sosial lainnya.

“Tapi sebenarnya menurut saya itu lebih banyak dibangun dari pembinaan keagamaan yang dilakukan oleh para imam, pendeta, ustadz jauh sebelum konflik dan dia menjadi karakter dasar kehidupan bergama di Maluku itu adalah karakter beragama yang sama sekali tidak dikotori oleh intrik politik apapun,”jelasnya.

Dia mencontohkan, sebelum konflik, kehidupan orang bersaudara di Maluku tidak pernah dilihat dari latar belakang agama. Bahkan, kehidpan orang Maluku sangat harmonis sehingga orang Kristen dan orang muslim yang hidup bertetangga tidak hanya hidup dengan saling menyapa akan tetapi saling membutuhkan dalam berbagai hal.

“Dulu kami hidup berdampingan Islam Kristen bukan cuma kami saling menyapa satu dengan yang lain tiap hari. Bahkan, kami bisa minta air panas minta makanan kalau pulang sekolah mama belum masak, dan itu menunjukan karakter asli orang beragama di Maluku seperti itu,”ungkapnya.

Tingkatkan persaudaraan

Gubernur Maluku Said Assagaff mengungkapkan, seluruh warga di Maluku tetap dapat menjaga keutuhan dan persaudaraan untuk membangun Maluku yang lebih baik.

Bagi Said, untuk memajukan provinsi Maluku semua masyarakat harus dapat bersatu dan saling percaya.

“Intinya warga Maluku harus saling menghormati dan menghargai, harus saling menjaga, dan melindungi,” kata Said.

Dia menjelaskan, pascakonflik, Maluku terus berbenah diri untuk menjadi provinsi yang lebih baik dan lebih maju. Karenanya, kondisi Maluku yang sudah sangat kondusif harus dapat dipelihara secara terus menerus.



Pemerintah provinsi Maluku sendiri terus mendorong agar kehidupan kerukunan umat beragama di Maluku terus tumbuh dan berkembang. Salah satu yang dilakukan untuk mewujudkan hal tersebut yakni dengan membangun pusat-pusat kegiatan keagamaan di Maluku seperti Islamic Centre, Kristiani Centre, Katolik Centre, Hindu Centre dan Budha Centre.

“Itu semua untuk membangun Maluku yang rukun dan damai, terlepas dari berbagai usaha yang selama ini kita lakukan bersama untuk merawat perdamaian di Maluku,”katanya.

Menurutnya, upaya menjadikan Maluku sebagai laboratorium perdamaian di Indonesia merupakan cara orang Maluku untuk menunjukan kepada seluruh bangsa Indonesia dan dunia luar bahwa Maluku merupakan daerah paling rukun di Indonesia.

“Dan itu sudah dibuktikan dengan ditetapkannnya Maluku sebagai daerah paling rukun di Indonesia, jadi kita sudah bangkit dan tidak ingin lagi kembali ke masa lalu,”ujarnya. 

https://regional.kompas.com/read/2018/12/02/08045831/air-mata-oma-hanna-dan-persaudaraan-yang-tulus-saat-konflik-ambon

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke