Salin Artikel

Mimpi Anak Danau Toba di Langkah Kaki Togu dan Biston, Misi Cicit Raja Sisingamangaraja XII untuk Dunia Pendidikan di Tanah Batak (4)

HUMBAHAS, KOMPAS.com - Hamparan pepohonan hijau menjadikan pemandangan elok yang terlihat di samping perbukitan lembah Bakkara, Sumatera Utara.

Cuaca sejuk diiringi suara merdu sahut-sahutan burung alam, menemani Togu Simorangkir dan Biston Manihuruk di hari keenam aksi jalan kaki 305,65 kilometer mengelilingi Danau Toba, Sabtu (24/11/2018).

Bincang hangat Togu dan Biston sembari menikmati perjalanan, menjadikan hari yang lelah seakan tak terasa untuk mereka.

Siang menjelang, tim Literasi Nusantara dan Kompas.com yang ikut dalam perjalanan itu memutuskan untuk berhenti sejenak menikmati keindahan alam.

Dari mobil, Ima, salah satu relawan Yayasan Alusi Tao Toba turun menenteng dandang almunium berisi nasi goreng yang telah dimasak. Pagi menjelang siang memang sudah membuat perut Togu dan Biston keroncongan karena belum sarapan.

Satu persatu piring dan sendok dikeluarkan dari motor roda tiga pengangkut barang yang dikemudikan Andar. Begitu juga dengan cangkir seng sebagai tempat minum.

Agar peralatan tak pecah maupun rusak, jauh hari sebelum berangkat peralatan dapur yang dibawa berbahan plastik hingga seng.

Di pondok samping jalan, Togu dan Biston menikmati hangatnya nasi goreng yang diracik Ima. 

Ima memang telah jadi juru masak sejak hari keberangkatan untuk menjalankan misi. Perpaduan ulekan sambal khas batak dan sambal teri begitu membuat lidah seakan tak berhenti untuk menikmati nasi goreng.

Ditambah lagi dengan rebusan telur bebek dari hasil peternakan unggas yang dikelola Togu di rumahnya menjadikan sarapan di pagi itu begitu lengkap.

Sembari makan, pemandangan elok lembah Bakkara menjadi perhatian untuk menikmati indahnya ciptaan tuhan.

"Bagaimana tanggapannya tentang lembah Bakkara? Cantik bukan,” sapa Togu dengan mengangkat piring berisi nasi goreng.

Seakan tak bisa berkata, seluruh tim terus mengambil momen keindahan alam sembari memegangi kamera dan menenteng nasi goreng buatan Ima.

“Ini lebih cantik dari Lembah Baliem, itu lihat ada air terjunnya,”ujar Boby, driver mobil pembawa peralatan yang juga relawan Alusi Tao Toba.

Selain menjadi tempat pemandangan indah, Lembah Bakkara juga ternyata merupakan tempat asal muasal pahlawan nasional dari tanah Batak yakni Raja Sisingamangaraja. Di sini menjadi pusat pemerintahan sang Raja.

Siapa sangka, sosok Togu Simorangkir yang menjadi pendiri Yayasan Alusi Tao Toba untuk rumah belajar di pesisir Danau Toba adalah cicit dari Raja Sisingamangaraja XII.

Opung (nenek) Togu bernama Purnama Rea Sinambela adalah putri dari Raja Sisingamangaraja XII.

“Opungku berusia 13 tahun saat Sisingamangaraja XII dibunuh,” kata Togu mengenang cerita sang nenek.

Suasana terik matahari yang mulai terlihat, harus membuat tim kembali bergegas melanjutkan perjalanan.

Begitu juga dengan Togu dan Biston, dua pria bertubuh gempal ini langsung mengikat tali sepatu untuk menyelesaikan misi.

“Kami duluan ya,” kata Biston sembari berjalan.

Tim pengiring pun membersihkan seluruh tempat makan agar kebersihan alam lembah Bakkara tetap terjaga. Satu mobil lagi bertugas mengikuti Togu dan Biston dari belakang.

Sepanjang jalan, tak henti-hentinya kami kagum akan keindahan pusat pemerintahan Raja Sisingamangaraja XII itu. Ditambah lagi pepohanan pinus dipinggir jalan seakan menjadi “surganya" tanah Batak.

Beberapa jam berjalan, Togu dan Biston telah memasuki Dusun Lumban Raja, Desa Simamora, Kecamatan Bakti Raja, Sumatera Utara. 


 

Terlihat gerbang tinggi nan cantik dengan corak khas Batak bewarna merah hitam perpaduan putih berdiri kokoh meski telah berusia ribuan tahun.

Ya, gerbang itu adalah jalan menuju istana kebesaran Raja Sisingamangaraja yang merupakan nenek moyang Togu.

Tak ingin melupakan garis keturunan, Togu menyempatkan diri untuk singgah melihat ke dalam dan menunjukkan kepada seluruh tim seperti apa bangunan yang ada didalam.

Tangga gerbang begitu tinggi. Betis Togu yang masih kencang seperti tak ia hiraukan. Langkah kecil kakinya terus menapak hingga masuk ke dalam. Di samping kiri pondok, ia lebih dulu melepaskan sepatu.

Tradisi masuk tanpa alas kaki sudah lama diterapkan sebelum masuk istana raja. Hal itu tak lain untuk menjaga kebersihan serta kesucian dalam istana.

Papan peringataan bertuliskan “Alas kaki harap dilepas”pun terpampang dipasang dibawah pohon untuk memperingatkan agar pengunjung tak melanggar aturan.

Bangunan persegi empat menjadi sorotan mata di awal masuk gerbang. Lambang bendera perang bewarna merah dan bergambar dua pedang kembar (Piso Gaja Dompak)  terukir ditengah bangunan itu.

Di sekeliling pun terdapat makam Sisingamangaraja. Togu berdiri di depan bangunan itu untuk mendoakan buyutnya.

“Inilah istana Raja Sisingamangaraja,” senyum Togu seakan pulang ke kampung halaman nenek moyang.

Ada empat bangunan rumah nan megah di dalam istana,rumah Bolon adalah tempat menerima tamu. Sopo Godang tempat kegiatan seni budaya. Sopo Bolon Lumbung padi dan rumah Persaktian tempat tinggal raja dan keluarga.

Suara lantunan musik pun terdengar d isamping bangunan istana, ternyata ada warga yang sedang berpesta pernikahan.


 

Seakan tak ingin ketinggalan, Togu dan seluruh tim menyempatkan untuk menari Tor-tor khas tanah batak ketika berada di depan istana.

“Kapan lagi dapat musik gratis,” canda Togu sembari menari bersama tim.

Usai melihat keindahan istana, Togu mengenalkan Markoni Sinambela yang kini berusia 50 tahun. Pria itu adalah generasi ke 15 Raja Sisingamangaraja XII yang menjaga istana.

“Kenalkan ini tulang (paman) Markoni Sinambela,” ucap Togu mengenalkan keluarganya.

Kompas.com sempat berbincang sedikit untuk mengetahui isi yang ada di dalam istana kepada Markoni. Ia pun menjelaskan satu persatu bagian yang ada di dalam bangunan.

Rumah ini, menurut Markoni, telah tiga kali mengalami renovasi. Bangunan yang terbuat dari kayu berusia ribuan tahun telah dimakan usia.

“Terakhir 2017 direnovasi lagi, tapi tak menghilangkan bangunan asli,” kata Markoni.

Dinding di empat bangunan istana juga terlihat ukiran empat payudara dan dua cicak yang saling berhadapan. Menurut Markoni, ukiran itu melambangkan saling mengasihi dan kesempurnaan.

“Semuanya harus empat ukiran  (payudara) itu melambangkan saling mengasihi dan cicak melambangkan kemakmuran,”ujarnya.

 Puas melihat isi istana Raja Sisingamangaraja, perjalanan kembali dilanjutkan.

Misi literasi dunia pendidikan sembari jalan kaki tak hanya menjadi tujuan utama, Togu pun ingin memperlihatkan kepada seluruh nusantara akan keindahan alam dan tempat bersejarah di pesisir Danau Toba.

Hari keenam sekan menjadi “bonus” seluruh tim yang bisa menyaksikan keindahan alam Danau Toba. Lagi-lagi Togu juga mengajak untuk melihat tempat budidaya ikan Ihan yang merupakan asli Danau Toba.

Ikan Ihan telah nyaris punah karena populasinya yang kian menurun. Swarna Lumban Gaol adalah peternak ikan Ihan, kecintaannya terhadap hewan air tawar Danau Toba itu membuatnya ingin tetap melestarikan.


Sudah ada 700 bibit ikan Ihan ditebar didalam kolam keluarganya itu. Semuanya tak ingin dijual Swarna karena niatnya menjaga keutuhan habitat asli Danau Toba meskipun hampir tiap minggu dia harus mengeluarkan dana pakan ikan, seperti pelet dan dedak.

“Dari kecil saya suka ikan, jadi ingin tetap ikan Ihan tetap ada dan jangan sampai punah karena sekarang populasinya selalu menurun,” ujar Swarna kepada Kompas.com.

Bahkan, ikan Ihan sering dikirim ke Malaysia dan Singapura dengan harga yang fantastis karena hasil penelitian menyebutkan, Ihan memiliki kandungan untuk awet muda.

“Jika di pasaran ikan ini tak boleh ditawar harganya. Sebab khasiatnya akan hilang. Karena banyak keyakinan itulah Ihan semakin menurun,” ungkap mantan dosen di Aceh tersebut.

Meski keturunan bangsawan serta telah menempuh pendidikan S2 di Oxford Brookes University di Inggris tak menghilangkan sosok Togu yang humoris serta jiwa sosialnya yang ingin selalu berbagi.

Togu pun hanya menjadi petani biasa di tanah kelahirannya setelah pulang kampung. Di rumah, ia menjadi seorang petani padi, sapi, unggas dan peternak ikan lele.

Sembari menghidupkan 8 rumah belajar untuk anak pesisir Danau Toba bernama Yayasan Alusi Tao Toba.

Semua itu ia lakukan agar keinginan anak mendapatkan buku berkualitas meskipun di daerah terpencil bisa terpenuhi. Tak sepeser biaya pun dikenakan bagi para anak yang ingin belajar.

Niat tulus Togu pun beberapa kali “mengancam”jiwanya untuk penggalangan dana.

Aksi “gila” seperti berenang mengitari Danau Toba, berkeliling mengendarai sepeda motor dan terakhir berjalan kaki 305,65 kilometer ia lakukan untuk mencari donasi secara independen.

Idealias dalam diri Togu ia tanamkan agar tak sedikit pun ada campur tangan kepentingan sekelompok orang di yayasan Alusi Tao Toba, sepeti tokoh politik atau semacamnya, agar misi menghadirkan pendidikan literasi membaca untuk anak Danau Toba selalu terjaga.

Lambat laun, hari demi hari, banyak relawan yang berdatangan untuk membantu Togu. Seperti halnya Biston, ia rela mengabdikan diri sebagai kapten kapal membawa buku pelajaran anak disekitar Danau Toba.

Bukan hal mudah menjadi seorang kapten kapal, Biston pun berjibaku dengan keselamatan jiwa.

Beberapa kali kapal yang dibawa Biston hampir terbalik di Danau Toba akibat gelombang air yang tak menentu.

Namun halangan itu tak membuat nyali Biston ciut. Sampai sekarang, ia masih menjadi sosok kapten kapal yang humoris dan berbagi untuk anak pesisir Danau Toba.

Begitu juga dengan beberapa tim lain, Andar pembawa kereta baca, Ima , Eka dan Andi Gultom serta Boby Rajaguguk yang tergabung di Yayasan Alusi Tao Toba.

Mereka mengabdikan diri demi pendidikan anak tetap membaca bisa berlangsung hingga misi kemanusiaan dunia pendidikan tercapai.

https://regional.kompas.com/read/2018/11/30/17105171/mimpi-anak-danau-toba-di-langkah-kaki-togu-dan-biston-misi-cicit-raja

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke