Salin Artikel

Kisah Pak Guru Arif: Mengajar di Sekolah Rawan Longsor hingga 11 Bulan Tak Terima Gaji

KOMPAS.com - Arif Rahmadi dan sejumlah rekan guru tidak tetap (GTT) yang mengajar sekolah di SDN Darsono 4, Kecamatan Arjasa, Jember, harus menempuh jalan terjal dan curam ke sekolah.

Ya, SDN Darsono 4 letaknya ada di atas bukit. Untuk sampai ke sekolah, Arif harus melalui jalan terjal dan curam. Bahaya semakin mengancam saat musim hujan tiba. Jalan akan sangat licin dan sudah membuat Arif jatuh telah berkali-kali.

Beberapa rekan guru perempuan kadang memilih menitipkan sepeda motor mereka di rumah warga, lalu melanjutkan berjalan kaki sejauh 1,5 kilometer. Tak hanya itu, meski menantang bahaya, Arif mengaku belum mendapat gaji selama 11 bulan.

Berikut ini secara lengkap fakta di balik kisah Arif.

Foto di atas adalah lokasi SDN Darsono 4 di Jember. Letaknya berada di lereng perbukitan curam.

Arif mengatakan, lokasi tersebut juga berada di daerah rawan longsor, terutama setelah hujan lebat.

“Biasanya kalau hujan cukup lebat di pagi hari, anak-anak dipulangkan lebih awal, karena khawatir terjadi longsor,” kata Arif.

Setiap hari, Arif dan beberapa rekan sesama guru GTT di SDN Darsono 4, menempuh jarak kurang lebih 10 kilometer untuk pergi ke sekolah.

Tidak mudah medan yang harus dilalui Arif dan GTT yang lain. Sebab, selain jalannya rusak, jika musim hujan seperti saat ini, kondisi jalan sangat licin.

“Kalau jatuh dari motor saat menuju sekolah, sudah tidak terhitung berapa kali, karena jalannya memang cukup licin, apalagi malam harinya turun hujan, akan lebih hujan,” kata Arif kepada Kompas.com.

Jika kondisi jalan licin, biasanya motor milik guru perempuan dititipkan di depan rumah warga.

“Kalau licin, biasanya motor milik guru terutama yang perempuan dititipkan dibawah. Kemudian jalan sekitar 1,5 kilometer ke sekolah,” lanjutnya.

Setiap bulan, Arif hanya dibayar Rp 350 ribu, itupun sudah 11 bulan gajinya belum dibayarkan.

“Bagi saya, menjadi guru merupakan panggilan jiwa, sebab mendidik seorang anak merupakan sebuah kewajiban untuk menyiapkan generasi penerus bangsa, honor itu bonus. Jadi, dibayar tidak dibayar, saya tetap mengajar,” tegasnya.

Arif menjadi seorang GTT sudah 18 tahun, namun sampai saat ini tidak ada kejelasan terkait pengangkatannya sebagai PNS.

“Saya ini sebenarnya masuk pegawai K2, namun kemarin mau ikut ujian CPNS, akhirnya tidak bisa karena usia saya sudah lebih dari 35 tahun,” tambahnya.

Untuk menutupi kebutuhan hidupnya sehari-hari, Arif mengaku nyambi sebagai fotografer keliling.

“Kalau boleh jujur, gaji segitu tidak cukup, apalagi hampir satu tahun saya belum bayaran. Ya, saya akhirnya nyambi jadi fotografer kayak mantenan, wisuda,” katanya.

Wahyu Kusuma Dewi, rekan Arif sesama guru GTT, sudah mengabdi selama 17 tahun. Salah satu dirinya bertahan menjalani profesi guru adalah tawa ceria anak didiknya.

“Yang membuat saya bertahan dengan kondisi terbatas begini, ketika bertemu dengan anak- anak dengan semangat belajar cukup tinggi, meskipun kondisi sarana dan prasarananya sangat terbatas,” katanya.

SDN Darsono 4 hanya memiliki enam ruangan kelas saja, sehingga, kelas 5 dan 6 digabung dalam satu ruangan.

“Sebenarnya tidak nyaman, karena tidak kondusif. Tapi mau bagaimana lagi, kami tidak boleh mengeluh dengan kondisi tersebut,” tambah Dewi.

Dewi hanya bisa berharap, akan ada kebijakan dari pemerintah pusat, untuk mengangkat dirinya bersama tenaga K2 yang lain sebagai pegawai negeri sipil (PNS).

“Itu harapan besar kami, semoga saja akan ada kebijakan baru terkait perbaikan nasib kami- kami ini,” harapnya.

Kepala SDN Darsono 4, Agus Tedjo Sukmono, mengatakan, tercatat ada lima orang GTT di sekolahnya.

“Kalau soal kesejahteraan, sebenarnya sangat tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari- hari. Mereka hanya mendapatkan gaji Rp 350.000 per bulan, jadi jauh dari angka UMK Jember,” katanya.

Meski terbatas, Agus sangat mengapresiasi kinerja GTT di sekolahnya.
“Alhamdulillah, meskipun gajinya minim, mereka cukup rajin. Karena mereka punya semangat untuk mendidik generasi penerus bangsa,” tambahnya.

Sumber: KOMPAS.com (Ahmad Winarno)

https://regional.kompas.com/read/2018/11/29/18314411/kisah-pak-guru-arif-mengajar-di-sekolah-rawan-longsor-hingga-11-bulan-tak

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke