Salin Artikel

Weleng Wulang, Tradisi Suku-suku di NTT Sambut Gerhana Bulan yang Mulai Langka

Hingga tahun 1980-an, suku Besi yang memiliki bahasa Manggarai dengan dialek Kolang ini menyebut gerhana bulan dengan sebutan Weleng Wulang. Hingga tahun tersebut, Bahasa Indonesia belum lazim dipakai oleh masyarakat. 

Tradisi Weleng Wulang ini merupakan tradisi masyarakat suku Besi untuk menyambut gerhana bulan dengan penuh kegembiraan. Mereka akan melakukan ritual adat dan melaksanakan tradisi menabuh gendang dan gong di rumah adat kampung setempat. 

Saat menabuh gendang dan gong, semua anggota suku berkumpul dan dimpimpin oleh sang kepala suku. 

Menurut kepercayaan leluhur Suku Besi dan suku-suku lain di kawasan Kolang, “weleng wulang” atau gerhana bulan tidak membawa bahaya bagi warga kampung melainkan memberikan tanda-tanda rezeki dalam kehidupan masyarakat.

Weleng Wulang juga dipercaya membawa tanda-tanda kebaikan dan keberhasilan dalam usaha dan mengolah lahan pertanian.

Wujud dari tanda-tanda alam itu disambut dengan penuh kegembiraan oleh seluruh warga suku di kawasan Kolang dengan melantunkan nyanyian (mbata) sambil menabuh gendang dan memukul gong adat.

“Dulu nenek moyang dan orangtua-orangtua kami menyambut Weleng Wulang dengan penuh kegembiraan dan ceria karena tanda-tanda itu membawa berkah bagi hidup keluarga di masa akan datang,” jelas Theodorus Madur, pensiunan guru SD yang juga pemuka adat di Beo Wajur, kepada Kompas.com, Senin (19/11/2018).

Semakin langka

Theodorus Madur yang didampingi saudaranya, Benediktus Nehe dan Nobertus Manggut menjelaskan, dalam bahasa Manggarai dialek Kolang, Weleng artinya kehilangan arah jalan sedang Wulang artinya bulan.

Jadi Weleng Wulang bisa diartikan secara harafiah dalam bahasa Indonesianya, bulan yang sedang kehilangan arah jalan cahayanya. 

“Leluhur Suku Besi dan orang di kawasan Kolang memiliki kearifan bahasa lokal untuk menyebut hal-hal yang bisa dilihat oleh mata dengan memberikan nama dalam bahasa lokal setempat,” jelas mereka.

Namun kini, karena perkembangan teknologi dan ilmu pengetahuan global memberikan dampak terhadap tradisi-tradisi Suku Besi, khususnya di Ilmu pengetahuan bumi.

“Saat ini kami sebagai orangtua tidak pernah lagi melihat dan merasakan menabuh gendang dan memukul gong saat terjadi “Weleng Wulang” atau gerhana bulan. Dan kami juga tidak pernah melaksanakannya karena terpengaruh dengan perkembangan-perkembangan modern,” jelas Madur.

Tidak hanya di desa Beo Wajur saja kearifan lokal Weleng Wulang mulai punah. Di desa tetangganya, yakni di Kampung Nunur, Desa Mbengan, Kecamatan Kota Komba, Kabupaten Manggarai Timur, tradisi menabuh gong dan gendang saat gerhana bulan juga mulai luntur. 

Warga desa ini memiliki bahasa Paenya untuk suku Rajong Koe. 

“Saat terjadi gerhana bulan, orangtua saya dan warga di Kampung Nunur menabuh gendang dan memukul gong bersama-sama untuk menyambut gerhana bulan. Saat itu mereka sangat gembira dan ceria dengan mengungkapkan dengan lantunan nyanyian dengan memakai bahasa lokal setempat,” jelas mantan Kepala Sekolah SMPK Waemokel, Yoseph Geong kepada Kompas.com, Rabu (21/11/2018).

Geong menjelaskan, saat ini dirinya tidak lagi mendengar dan melihat orangtua dan warga di kampung-kampung menabuh gendang dan memukul gong saat terjadi gerhana bulan beberapa kali terjadi di Indonesia.

Tradisi ini sudah semakin langka dijumpai, kemungkinan karena perkembangan zaman dan ilmu pengetahuan serta teknologi yang terus berkembang pesat. 

https://regional.kompas.com/read/2018/11/23/12231181/weleng-wulang-tradisi-suku-suku-di-ntt-sambut-gerhana-bulan-yang-mulai

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke