Salin Artikel

Ironi Minimnya Buku di Tengah Tingginya Minat Baca Anak-anak Perbatasan

Handoko Widagdo, Manajer Provinsi INOVASI Kalimantan Utara (Kaltara) mengatakan, angka tersebut berbanding terbalik dengan hasil Survei Inovasi Pendidikan dan Pembelajaran Indonesia (SIPPI) tahun 2017 dimana minat baca siswa kelas awal di Kabupaten Bulungan dan Malinau telah mencapai 85 persen.

Menurutnya, hal tersebut disebabkan minimnya ketersediaan buku non pembelajaran yang ada di sekolah.

“Dari 4.055 judul buku yang ada di perpustakaan sekolah, hanya 393 judul yang sesuai dengan kelas awal,” ujarnya, Senin (12/11/2018).

INOVASI merupakan Program kemitraan Pemerintah Australia dan Indonesia dalam rangka memahami cara-cara untuk meningkatkan hasil pembelajaran siswa di sekolah-sekolah yang ada di berbagai kabupaten di Indonesia, terutama dalam hal kemampuan literasi dan numerasi (calistung).

Bekerja sama dengan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI, INOVASI menjalin kemitraan dengan 17 kabupaten yang tersebar di Provinsi Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Kalimantan Utara, dan Jawa Timur.

Sarinah, Ketua Gerakan One Person One Book, atau gerakan menyumbang satu buku untuk siswa sekolah dasar di Kabupaten Bulungan mengaku miris dengan kenyataan betapa minimnya ketersediaan buku di sekolah dasar di wilayah perbatasan Kalimantan Utara.

Saking minimnya ketersediaan buku, buku paket pelajaran yang seharusnya wajib dimiliki oleh siswa juga menjadi barang langka di sekolah.

“Realitanya anak-anak sekolah ini suka membaca. Bisa membaca buku paket pelajaran saja mereka sudah senang sekali, karena ternyata buku itu satu-satunya buku cetak yang ada di sekolah mereka. Dan itu dipegang oleh guru,” katanya.

Selama 3 tahun terakhir, melalui gerakan one person one book Sarinah mengaku telah menerima lebih dari 3.500 judul buku sumbangan dari warga yang telah disalurkan ke 5 perpustakaan di sekolah dasar di pelosok wilayah perbatasan yang menjadi mitra mereka.

Sayangnya, hanya sekitar 30 persen buku sumbangan tersebut yang sesuai untuk usia anak sekolah. “Bahkan sumbangan buku LKS bekas sangat berarti bagi anak-anak di perbatasan karena kebanyakan buku sumbangan itu berupa majalah dan buku umum,” imbuhnya.


Terganjal aturan 


Sofie Dewayani dari Yayasan Litara, salah satu yayasan yang memelopori lahirnya buku bacaan yang sesuai untuk anak-anak mengatakan, di tengah minimnya ketersediaan buku bacaan untuk anak, ada kecenderungan dari orangtua saat membeli buku memilih buku yang tingkat kesulitannya setingkat di atas kemampuan anak membaca.

Alasannya buku tersebut akan lebih lama dibaca. Padahal anak-anak usia 4 sampai 9 tahun lebih cenderung menyukai buku yang lebih banyak gambarnya ketimbang buku yang banyak tulisannya untuk dipahami. 

"Untuk menikmati bacaan tidak hanya cerita, tapi juga menikmati gambar. Kami sedang kampanyekan itu,” ucapnya.

Sejak berdiri tahun 2014, Litara telah menelurkan 25 judul buku yang sesuai dengan kebutuhan buku anak-anak.

Litara juga menggandeng penulis dan illustrator yang memahami kebutuhan anak dari sebuah buku yang mereka baca.

Sayangnya upaya menggandeng penerbit pata tahun 2015 untuk menerbitkan 15 judul buku anak anak karya mereka mengalami kendala terkait harga buku. Litara ingin buku anak anak memiliki kualitas bagus dengan harga murah.

“Harga buku jatuhnya kemahalan, kita belum menghitung distribusi yang mencapai 60 persen . Akhirnya kita membuat yayasan sendiri yang menerbitkan dan mendistribusikan buku anak-anak,” jelasnya.

Sejumlah buku anak anak yang diterbitkan Litara bisa dikategorikan mengambil tema yang tidak komersil menurut penerbit, karena menghadirkan kisah dengan ilustrasi oriental klasik khas Indonesia seperti kisah anak-anak pedalaman suku Dayak di Kalimantan.

Upaya Litara dengan menerbitkan buku yang sesuai dengan kebutuhan anak dengan mengesampingkan nilai komersil akhirnya membuahkan hasil, dimana buku yang mereka terbitkan memiliki pangsa pasar tersendiri.

“Padahal pasar perlu diedukasi terkait buku anak. Penerbit komersil tidak berani mengambil risiko dengan menerbitkan buku dengan ilustrasi oriental klasik Indonesia, kita berani mengambil risiko itu,” ujar Sofie.

Buku terbitan Litara bahkan sempat mejeng di ajang pameran buku bergengsi sedunia Frankfurt Book Fair 2018 di Jerman. Hasilnya, sejumlah Negara kepincut dengan tampilan buku yang diterbitkan Litara karena ilustrasi dalam buku berhasil menyampaikan pesan kepada anak anak di negara lain meski cerita yang disampaikan berasal dari Indonesia.

“5 buku akhir bulan ini akan launching di Thailan untuk even pameran buku anak. Singapura juga meminta contoh PDF buku dari Litara untuk dikaji,” kata Sofie.

Sayangnya upaya mendapatkan penilaian dari Pusat Kurikulum dan Perbukuaan (Puskurbuk) Kemendikbud masih terganjal sejumlah instrumen penilaian yang masih mencantumkan buku anak-anak sama dengan buku pelajaran.

Meski demikian melalui pendekatan yang dilakukan program INOVASI dengan menjembatani penulis dan penerbit buku anak seperti Litara dengan Kemendikbud akan melaksanakan workshop pada awal Bulan Desember 2018 mendatang.

Melalui workshop tersebut Kemendikbud akan segera menambah daftar judul buku yang dibutuhkan siswa kelas awal untuk meningkatkan minat dan ketrampilan membaca siswa.


https://regional.kompas.com/read/2018/11/12/10462881/ironi-minimnya-buku-di-tengah-tingginya-minat-baca-anak-anak-perbatasan

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke