Salin Artikel

Melihat Arti Tradisi Sedekah Laut, Bentuk Rasa Syukur dalam Kacamata Budaya

Polisi sendiri mengamankan sembilan saksi terkait kasus perusakan properti ini. 

Semua pihak tentunya prihatin dengan perusakan tersebut sebab mencederai budaya dan kearifan lokal yang ada. Di Daerah Istimewa yogyakarta (DIY) sendiri, ditemukan beragam budaya. Mulai dari seni pertunjukan hingga budaya tradisi. 

Yang menjadi pertanyaan adalah, apakah sedekah laut merupakan ritual budaya yang terlarang? Serta sejak kapan tradisi sedekah laut ini berkembang? 

Berikut penuturan Abdi Dalem Kawedanan Hageng Punakawan (KHP) Widyabudaya Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat KRT Rinta Iswara kepada Kompas.com usai mengisi sarasehan budaya dengan tema Hajad Dalem Labuhan di Balai Desa Pleret, Bantul Minggu (14/10/2018). 

"Ditanya sejak kapan, upacara labuhan tidak ada referensi menerangkan sejak kapan," ucapnya.  

Menurut dia, tradisi ini diteruskan oleh Keraton Ngayogyokarto Hadiningrat mengacu pada kerajaan Mataram (Islam) sebelumnya. Sejak 16 Masehi, sebuah kerajaan Mataram sudah ada di tanah Jawa.

Jika merujuk, dari www.kratonjogja.id, kerajaan Mataram awalnya pusat kerajaan berada di wilayah Yogyakarta, tepatnya di wilayah Kota Gede, saat ini. Namun, kemudian Belanda terus melakukan ekspansi sehingga pusat kerajaan Mataram kemudian pindah ke Kerta, Plered, Kartasura dan Surakarta.

Sampai akhirnya munculah perjanjian Giyanti 13 Februari 1755, yang memecah Mataram menjadi dua, yakni Kasunanan Surakarta Hadiningrat dan Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat. 

KRT Rinta menceritakan, sebenarnya budaya yang dilakukan masyarakat Jawa khususnya Yogyakarta, merupakan sarana ucapan rasa syukur, dan tidak jauh berbeda dengan masyarakat lainnya.

Bahkan, masyarakat Jawa yang memeluk Islam, menyelipkan tradisi. Misalnya dalam perayaan agama Islam, masyarakat jawa menggelar sodakohan atau memberikan sedekah.

"Sebagai orang Jawa kita mestinya harus tahu budaya Jawa. Supaya tidak apriori terhadap budaya Jawa kita sendiri. Baik yang berupa seni apapun semi tari, seni suara, seni tradisi, macam-macam. Itu sebetulnya tradisi yang dilaksanakan di Jawa itu adalah menandakan orang Jawa adalah orang yang religius," katanya

Dalam tradisi tersebut diharapkan antara agama dan budaya bisa berjalan beriringan. Misalnya, dalam adab makan dan minum. Dari sisi agama, setiap orang wajib berdoa sebelum makan dan minum. Sementara, dari sisi budaya mengajarkan bagaimana sikap seseorang saat makan minum seperti cara duduk. 

Menurut dia, Sri Sultan Hamengku Buwono IX saat diangkat raja menyebutkan jika adat istiadat keraton yang tidak merugikan masyarakat tetap dilaksanakan. Misalnya tradisi Grebek yang sampai sekarang masih dilakukan.

KRT Rinta menjelaskan, kebudayaan merupakan pilar bangsa. Keberagaman juga tetap harus senantiasa dihormati. Jika tidak menyetujui tidak mengikuti tidak apa-apa, tetapi tidak boleh merusak.

"Kawulo Ngayogyakarta itu harus menjadi kawula yang berbudaya. Sopan santun, unggah-ungguh, toto kromo (tata krama). Terserah mau (perusakan properti Sedekah Bumi) dibilang mencinderai atau apa, tapi itu menyimpang dari pilar kebudayaan," tegasnya.

Memanfaatkan internet

Dia berharap anak muda di Yogyakarta untuk memahami secara utuh makna tradisi budaya masyarakat. Dia mengajak untuk saling menghormati antar masyarakat.

"Kita punya pemeo ajining diri seko lati, ajining rogo seko busono, ajining bangsa seko budoyo (harga diri seseorang dari omongannya, dan harga diri badan dari pakaian. Harga diri bangsa dari budayanya)," ujarnya. 

Untuk itu, Keraton Yogyakarta mulai menggunakan internet sebagai alat untuk memperkenalkan kebudayaan Jawa di Yogyakarta, yakni melalui www.kratonjogja.id. 

Putri Raja Keraton Ngayogyokarto Hadiningrat GKR Hayu mengatakan, pihaknya menyiapkan informasi mengenai tradisi budaya Keraton melalui media sosial hingga laman portal dengan bahasa yang lebih mudah.

Keraton menyiapkan informasi berasal dari sumber sesuai dengan kompetensinya, sehingga informasi bisa diterima utuh dan mudah dipahami.

"Zamannya arus informasi tidak bisa dibendung, dari lokal internasonal semua over load. Tinggal gimana yang budaya jawa informasinya sama dengan budaya luar yang masuk. Kalau dulu yang tentang keraton tidak ada source yang resmi, sehingga narasumbernya wis embuh sopo (entah siapa). Embuh seko endi (entah dari mana)," katanya.

Untuk anak muda pun disiapkan penyampaian yang mudah dan memperbanyak gambar. Meski diakuinya, informasi yang ditampilkan tidak begitu banyak, namun dia meyakini, jika sudah mengetahui akan mencari tahu yang detail.

Saat ini keraton Yogyakarta memiliki beberapa media sosial seperti Twitter @kratonjogja, Instagram @kratonjogja, dan Twitter milik GKR Hayu sendiri. 

https://regional.kompas.com/read/2018/10/15/07280011/melihat-arti-tradisi-sedekah-laut-bentuk-rasa-syukur-dalam-kacamata-budaya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke