Salin Artikel

5 Fakta Baru Gempa dan Tsunami Sulteng, Kendala Evakuasi hingga Pengejaran Napi yang Kabur

KOMPAS.com - Bantuan bagi para korban bencana gempa Donggala sudah mulai diterima para korban di daerah yang terisolir.

Salah satunya adalah korban di Kecamatan Balaesang Tanjung, Kabupaten Donggala. Bantuan tersebut diangkut melalui kapal dan telah tiba pada hari Senin (8/10/2018).

Berikut deretan fakta terbaru tentang bantuan, evakuasi hingga relokasi korban gempa dan tsunami di Sulawesi Tengah.

Kepala Pusat Data, Informasi dan Hubungan Masyarakat Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Sutopo Purwo Nugroho menjelaskan, bantuan logistik berhasil didistribusikan menembus kecamatan Balaesang Tanjung, salah satu wilayah terisolir di Donggala.

Bantuan tersebut tiba di Balaesang Tanjung, Senin (8/10/2018) dengan menggunakan jalur laut.

Untuk bisa sampai ke wilayah tersebut, kapal pengangkut bantuan harus menunggu selama 10 hari. Hal itu dikarenakan sulitnya akses menuju Balaesang Tanjung akibat jalanan tertutup longsor.

"Bantuan logistik telah tiba di Balaesang Tanjung, daerah terisolir akibat longsor karena gempa. Bantuan dilakukan menggunakan kapal karena jalan tertutup longsor," kata Sutopo di kantor BNPB, Utan Kayu, Jakarta Timur, Selasa (9/10/2018).

Sutopo Purwo Nugroho mengungkap sulitnya proses evakuasi, pencarian, dan penyelamatan korban di wilayah Balaroa, Petobo, dan Jono Oge, Sulawesi Tengah, pascabencana gempa dan tsunami.

Di Petobo, terjadi proses likuefaksi (pencairan tanah) yang mengakibatkan 2.050 unit rumah rusak berat. 7 unit alat berat dilokasi tidak mampu melakukan pembersihan karena hampir seluruh area tertimbun lumpur yang sebagian besar sudah mengering.

"Di Petobo kondisinya berlumpur, lumpur banyak yang kering. Rumah-rumah banyak yang tidak terlihat karena tertutup lumpur, padahal di bawahnya banyak rumah-rumah yang tertimbun," kata Sutopo, Selasa (9/10/2018).

Sementara itu di Balaroa, gempa mengakibatkan 1.471 unit rumah rusak berat. Pada area 47,8 hektar itu, dikerahkan 5 unit alat berat.

"Melihat kondisi di lapangan memang sulit. Yang separuh amblas 3 meter, yang separuh terangkat 2 meter," ujar Sutopo.

Sedangkan di Jono Oge, 4 desa terdampak parah dan 2 desa mengalami pergeseran. Diperkirakan, bangunan yang rusak mencapai 534 unit. Hingga saat ini, area seluas 202 hektar itu kondisinya masih berlumpur.

Dibutuhkan 6 unit ekskavator amfibi untuk melakukan proses evakuasi. Namun demikian, hingga saat ini tim SAR masih kesulitan mencari ekskavator tersebut.

"Kondisi di Desa Jono Oge tanah belum stabil. Sudah mulai ada tanah yang mengering, namun banyak bagian tanah yang masih sangat basah," kata Sutopo.

Pascagempa bermagnitudo 7,4, tanah di daerah tersebut kehilangan kekuatannya sehingga menyebabkan bangunan di atas tanah tidak dapat ditahan oleh lapisan tanah (likuefaksi).

"Mau diambil pun (korban yang tertimbun) berbahaya karena tanahnya labil sekali. Hanya bisa dengan alat berat, tapi kalau alat beratnya tenggelam juga bisa korban lebih banyak lagi," ujar Kalla di Kantor Wakil Presiden, Selasa (9/10/2018).

"Alat berat PMI juga tenggelam di situ. Ketika diangkat keluar, rusak karena batu-baru masuk ke dalam tanah juga," sambung dia.

Oleh karena itu, ia mengatakan, tak bisa lagi masyarakat tinggal di area tersebut. Relokasi warga adalah opsinya. Namun, pemerintah belum menentukan lokasi realokasi warga Belaroa.

"Harus relokasi, harus relokasi. Sedang disiapkan gubernur tempatnya," kata Wapres.

Upaya evakuasi, pencarian, dan penyelamatan korban terdampak gempa dan tsunami di Sulawesi Tengah, akan berakhir 11 Oktober 2018.

Keputusan tersebut diambil setelah rapat koordinasi yang melibatkan Gubernur Sulawesi Tengah, pemda setempat, BNPB, Badan SAR Nasional (Basarnas) dan perwakilan sejumlah kementerian dan lembaga terkait.

"Evakuasi korban yang tertimbun lumpur di Petobo, Jono Oge, dan amblesan Balaroa, juga wilayah lainnya, akan dihentikan secara resmi pada tanggal 11 Oktober 2018. Mengapa? Karena kondisinya jenazah sudah dalam kondisi melepuh, tidak dikenali," kata Kepala Pusat Data, Informasi dan Hubungan Masyarakat Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Sutopo Purwo Nugroho di kantor BNPB, Selasa (9/10/2018).

BNPB mencatat, ada 671 orang hilang yang diperkirakan masih tertimbun reruntuhan bangunan dan lumpur. Selain itu, diperkirakan 5.000 orang di Kelurahan Balaroa, Petobo, dan Jono Oge juga masih belum ditemukan.

Menurut data Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan HAM per Senin (8/10/2018), sebanyak 1.096 tahanan dan warga binaan masih berada di luar tahanan.

Dari total sebanyak 1.460 tahanan yang keluar saat gempa dan tsunami terjadi di Sulawesi Tengah pada 28 September 2018 lalu, baru 364 tahanan yang melaporkan diri ke posko.

Data tersebut diperoleh dari masing-masing UPT, yakni Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Palu, Lapas Perempuan Palu, dan Rumah Tahanan (Rutan) Palu. Kemudian, Rutan Donggala, Rutan Parigi, dan LPKA Palu.

Sementara itu, Kepala Divisi Humas Polri Irjen (Pol) Setyo Wasisto khawatir, para narapidana ikut kabur bersama para pengungsi lainnya keluar dari Sulawesi Tengah.

"Semoga bisa cepat dan tidak keluar dari Sulawesi Tengah. Khawatirnya dia ikut ngungsi-ngungsi, kita enggak tahu nih," ujarnya di Gedung Humas Mabes Polri, Jakarta Selatan, Selasa (9/10/2018).

Oleh sebab itu, pihaknya sedang berkoordinasi dengan Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumkam) soal data para napi untuk segera dilakukan pengejaran.

Untuk melakukan pengejaran, polisi akan menggunakan teknologi facial recognition.

"Yang ada datanya kita akan lakukan pengejaran. Sekarang kita juga punya teknologi yang cukup canggih, dengan melihat fotonya kita juga sudah tahu, dengan facial recognition," ucap dia.

Sumber: KOMPAS.com (Devina Halim, Fitria Chusna Farisa, Yoga Sukmana)

https://regional.kompas.com/read/2018/10/10/09000001/5-fakta-baru-gempa-dan-tsunami-sulteng-kendala-evakuasi-hingga-pengejaran

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke